sumber gambar : https://www.freepik.com/photos/medical
Oleh : Alfiyah Kharomah
Praktisi Kesehatan, Anggota HELP-S
(Lanjutan dari bagian 1)
Setidaknya ada pertanyaan kritis yang akan menjawab ada apa dibalik vaksin Gratis. Pertama, Kebijakan yang dilakukan pemerintah terkesan tergesa-gesa memesan vaksin sebelum tahu keamanan dan keefektifannya. Salah satu dalih yang dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam rencana vaksinasi besar-besaran ini adalah telah disetujuinya vaksin-vaksin dari Cina ini untuk penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari pemerintah Cina dan beberapa negara lain. Di Cina, calon vaksin ini disuntikan pada tentara dan petugas kesehatan untuk penggunaan darurat.
Ada yang perlu dikiritisi dari kebijakan EUA ini, sebelumnya telah muncul kritikan terkait kontroversi gagalnya obat Hidroksiklorokuin yang diberikan status EUA. Setelah pengujian dengan obat itu, ternyata dampak pada pasien tidak seperti yang digarapkan. Harusnya ini menjadi pelajaran.
EUA yang dirilis negara lain seharusnya hanya dijadikan pertimbangan, bukan sebagai legitimasi mutlak untuk menyetujui dan mengikuti segala yang tertulis di dalamnya. Jika pengambilan kebijakan vaksinasi besar-besaran di Indonesia hanya berdasarkan klaim sepihak dari Cina, selaku negara pemasok Sinovac, tanpa ada klarifikasi dan transparansi data yang jelas, kebijakan pemerintah ini hanya akan mengulang blunder penanganan COVID-19 di Indonesia.
Kedua, mengapa empat vaksin itu yang terpilih? Sejak awal, para ahli melihat kebijakan terkait vaksin ini berat sebelah kepada Cina. Ini terlihat dari langkah-langkah yang dilakukan seperti kerja sama Biofarma dengan Sinovac untuk mendatangkan vaksin dan bahan baku vaksin dari Sinovac lalu uji klinis yang dilakukan Unpad dan Biofarm.
Namun kemudian, Menkes Budi mengadakan pers rilis dan mengkonfirmasi vaksin mana saja yang akan digunakan dan berapa jumlah dosis yang akan dipesan. Ternyata tak hanya Sinovac, pemerintah juga meneken kontrak dengan perusahaan vaksin yang lain. Sebelumnya publik dibuat fokus kepada pro dan kontra vaksin Sinovac.
Ketiga, Apakah vaksin satu-satunya solusi untuk memutus mata rantai pandemi corona? Bisa dikatakan kebijakan yang dilakukan pemerintah ini melompat kepada vaksinasi yang notabene harus dilihat kembali keefektifan dan keamanan apabila digunakan di Indonesia.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo sudah menyatakan, ditemukannya vaksin belum tentu jadi solusi utama menyelesaikan pandemi Covid-19. Pasalnya, vaksin di beberapa negara termasuk Indonesia masih berproses dan belum ada yang terbukti bisa menghentikan pandemi secara total untuk kembali ke kehidupan normal.
Ikatan Dokter Indonesia dalam sebuah surat yang ditandatangani Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih dan diunggah di akun twitter resmi pada 22 Oktober lalu menyebutkan program vaksinasi tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Salah satu elemen penting dalam pembuatan vaksin adalah seberapa aman sebuah vaksin dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu seberapa lama dampak imunitas dari vaksin bisa bertahan.
Kalau, misalnya, vaksin tersebut sudah siap tapi tingkat daya lindungnya rendah akan membutuhkan lebih banyak dosis vaksin dan tentu saja banyak biaya. Itu artinya para pengguna vaksin bisa terjebak dalam rasa aman palsu dan ini justru berbahaya karena berpotensi menyebarkan virus corona lebih luas. Dengan kasus COVID-19 yang kini mencapai 700.000 lebih kasus, kematian lebih dari 21.000, adanya vaksin memang salah satu harapan untuk mengakhiri wabah dahsyat ini. Tapi menggunakan vaksin yang belum lolos uji tahap akhir sama saja sedang menyiapkan masalah baru di masyarakat.
Keempat, Berapakah perhitungan alokasi dana yang dibutuhkan pemerintah untuk kebijakan vaksin gratis ini?
Jika pemerintah akan mengambil vaksin Sinovac sejumlah 125 juta dosis, maka estimasi biaya pembelian vaksin Sinovac jika harga vaksin berkisar antara Rp 200.000 – Rp. 400.000 adalah Rp. 25 T – Rp. 50 T
Novavax sejumlah 130 juta dosis, maka estimasi biaya pembelian vaksin jika harga vaksin 16 US$ atau Rp. 226.000 adalah 29,38 T.
Astrazeneca sejumlah 100 juta dosis, maka estimasi biaya pembelian vaksin jika harga vaksin 4US$ atau Rp. 47.000 adalah 4,7 T.
Pfizer BioNTech sejumlah 50 Juta dosis, maka estimasi biaya pembelian vaksin jika harga vaksin 20US$ atau Rp. 283.000 adalah 14,15 T
Jika dijumlah semua, maka total dana yang harus dirogoh oleh pemerintah Indonesia untuk vaksin saja adalah 73,23 T – 98,23 T. Angka ini masih vaksinnya saja, belum logistik, penyimpanan, distribusi dan tenaga yang akan dikerahkan selama vaksin berlangsung, maka beban anggaran dana akan semakin bertambah.
Sedangkan pemerintah sudah menyiapkan dana dari beberapa pos:
- Pos APBN 2021 anggaran pembelian vaksin sebesar Rp. 18 triliun
- Dari anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasioal (PEN) tahun 2020 untuk fungsi kesehatan sebesar Rp. 99,5 triliun. Diambil sisa anggaran yang belum dipergunakan mencapai Rp 36,4 triliun.
Sehingga total ada anggaran cadangan Rp. 54, 4 triliun. Tentu saja, anggaran ini tidak akan cukup mengkover anggaran pembelian vaksin saja. Lalu bagaimana pemerintah akan menutupnya, jika Jokowi bersih kukuh menggratiskan vaksin?
Coba dibandingkan ketika Indonesia lockdown di epicentrum wabah, sejak wabah terkonfirmasi. Untuk 9,6 juta penduduk Jakarta saja, menghitung kebutuhan makan, listrik dan air, dengan total lockdown 14 hari maka akan didapatkan jumlah pembiayaan sebesar Rp 4 T, jika diperpanjang menjadi 28 hari maka menjadi Rp 8 T. angka ini sangat jauh lebih kecil dibandingkan kebijakan vaksinasi massal yang menelan biaya tidak sedikit.
Gencarnya pemerintah Indonesia dalam upaya vaksinasi menimbulkan tanda tanya tersendiri. Strategi penanganan pandemi yang langsung melonjak ke langkah vaksinasi tidaklah lazim. Seharusnya penanganan pandemi menitikberatkan pada langkah-langkah preventif dan mitigasi yang relatif lebih murah dan tidak membebani angaran pemerintah. Sangat nampak betapa terburu-burunya pemerintah melakukan vaksinasi dengan menyebutnya sebagai langkah luar biasa padahal di sisi lain pemerintah justru mengabaikan langkah-langkah penting seperti protokol kesehatan 3 M, karantina wilayah, dan 3T (Test, Trace dan Treat) di awal wabah.
Diplomasi Vaksin Bilateral Bukanlah Tanpa Syarat
Di saat sejumlah negara kaya berebut membeli persediaan vaksin virus yang sangat terbatas jumlahnya, China tak mau ketinggalan langkah, pihaknya menawarkan suntikan lokal mereka ke negara-negara miskin dan berkembang. Bisa dipahami, China adalah negara pertama yang menyebarkan virus Corona. Melalui diplomasi vaksin, sedapat mungkin mengalihkan kemarahan dan kritik atas China karena pandemi tersebut. Ia dapat memperkuat serta memperluas pengaruh di Asia dan sekitarnya. Diplomasi ini juga telah menjadi alat untuk meningkatkan pengaruh global China dan mengatasi masalah geopolitik.
Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani perjanjian untuk memasok 150 juta dosis vaksin dari China. Salah satu makalah dari Yusuf Ishak Institute yang berbasis di Singapura, dengan gamblang menyatakan bahwa Beijing dapat menggunakan sumbangan vaksinnya untuk memajukan agenda regionalnya, terutama pada masalah sensitif seperti klaimnya di Laut China Selatan. China mampu meraih 15 persen saja pasar di negara-negara berkembang itu akan menghasilkan penjualan sekitar 2,8 miliar dolar AS, menurut perkiraan Essence Securities, sebuah perusahaan pialang yang berbasis di Hongkong.
Pemerintah Indonesia, awalnya cenderung kepada China untuk memasok Sinovac sebagai vaksin utama yang akan digunakan oleh Indonesia. Namun perlu disadari bahwa Indonesia adalah negara pengekor di antara negara berkekuatan besar yang ingin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, meski Indonesia terlihat condong ke China, ada WHO yang masih memiliki pengaruh besar dalam dunia kesehatan. Salah satunya yang memiliki ‘rekomendasi’ terhadap kebijakan vaksin di Indonesia melalui SAGE. Inilah kemungkinan besar mengapa menkes yang baru dilantik ini melakukan manuver-manuver politik yang diindikasikan tidak hanya akan mengimpor vaksin dari China. Namun, juga ke beberapa perusahaan farmasi lainnya.
Amerika Serikat memandang Indonesia sebagai mitra strategis utama untuk melawan pengaruh China yang kian membesar dan kontroversial di Laut China Selatan, tidak akan semudah itu melepaskan pengaruhnya dari negeri yang kaya akan sumber daya alam ini.
Dari sini, Indonesia terlihat memainkan keseimbangan politik yang cukup cerdik untuk menghindari identifikasi berat sebelah. Marcus mietzer, Profesor di Australian National University inipun mengakui bahwa Indonesia melakukan balancing pengaruh AS terhadap pengaruh China. Secara Ideologis, kedua negara besar tersebut sedang memainkan peran ideologis terhadap Indonesia yakni memastikan kepentingan masing-masing untuk berjaya di Asia Pasifik.
Dari diplomasi vaksin ini saja, meski dikatakan cerdik, nampak bahwa Indonesia tak memiliki daulat atas negerinya. Padahal negara ini memiliki perusahaan farmasi besar Biofarma yang profilnya senantiasa memasok vaksin dan obat ke beberapa negara.
Watak Kapitalisme di Balik Vaksin Gratis
Wacana pemerintah menggratiskan vaksin untuk rakyat harus diwaspadai. Karena wacana itu datang dari pemerintah yang masih mengusung sistem demokrasi kapitalisme. Sudah menjadi asas di alam kapitalisme kebijakan yang datang dari pemerintah semuanya tak lain dan tak bukan adalah karena hitung-hitungan ekonomi. Alih-alih, vaksin gratis untuk kesehatan dan nyawa rakyat. Itu hanya racun berbalut madu agar rakyat Indonesia segera divaksin. Sehingga dapat memberi jaminan terhadap investasi dan target memulihkan ekonomi semakin cepat.
Maka, jangan sampai terlena dengan kata-kata vaksin gratis. Apalagi faktanya, belum terjamin keamanan dan keefektifan vaksin melawan virus tersebut. Bila mindset kebijakan pemerintah adalah untuk keselamatan dan nyawa rakyat. Maka sejak awal pemerintah seharusnya sudah lockdown, melakukan 3 T dan 3 M dengan ketat. Kebutuhan yang dibayarkan juga akan lebih ringan. Pandemipun segera teratasi dengan mudah.
Bahayanya, dengan digratiskannya vaksinasi ini, masyarakat menjadi lengah karena dibuai vaksin gratis ‘palsu’ dan rasa aman palsu, sehingga tak memunculkan kritik terhadap kebijakan vaksin yang terkesan dipaksakan ini. Karena dibalik vaksin gratis jebakan hutang menanti Indonesia. Masyarakat harus kritis dan mengingatkan pemerintah terhadap kemungkinan jebakan hutang ini.
Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis. Vaksin gratis memungkinkan munculnya utang yang mengandung riba. Utang tersebut memiliki potensi bahaya politis atas negeri karena menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Konsekuensi politis utang ini pun kentara dalam banyak kebijakan dan produk perundang-undangan. Selain itu, terus menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang tinggi akan menjerumuskan negeri dalam jebakan utang riba (debt trap). Kedaulatan negarapun terancam.
Hal ini diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim.
Firman Allah SWT,“…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa: 141)
Semestinya para petinggi negeri memahami peringatan Allah SWT tersebut. Tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya. Karena berbagai jeratan siap mengintai negeri ini lewat utang luar negeri.
Bahaya ideologis dan politis di balik jeratan utang luar negeri yang ditumbuhsuburkan kapitalisme harus dihindari. Ini menjadi bukti pada kita betapa buruknya kapitalisme yang terus mengambil keuntungan di tengah penderitaan umat manusia.
Maka sudah seharusnya kita campakkan kapitalisme dari kehidupan umat, digantikan dengan Islam lewat tegaknya institusi politik Islam yaitu Khilafah. Karena hanyalah Khilafah yang memiliki visi dan strategi politik yang jelas. Tidak akan mau bekerja sama dengan negara kufur yang hanya memanfaatkan negara lain untuk kepentingan politiknya, selain menguras habis kekayaan dan potensi negara tersebut. Khalifah memiliki jawaban tunggal atas segala kerjasama yang ditawarkan oleh pemimpin-pemimpin negara kufur. Tolak! Hanya itu jawabannya!
Selain itu Khilafah sendirilah yang akan menjamin ketersediaan vaksin yang benar-benar gratis dengan mendorong dan memfasilitasi para ilmuwan untuk membuat vaksin yang bermutu tinggi, aman dan efektif. Khilafah sejak awal sudah menerapkan standar penanganan wabah yang telah digariskan oleh syara’.
Wallahu’alam Bisshawab
Catatan kaki:
Michael Mallory L. et all. Vaccination Induced Herd Immunity: Successes and Chalenges. Chapel Hill, NC. 2018
Paul Fine, Kean Eanes, and David L Heymann. “Herd Immunity”: A Rough Guide. Oxford University Presss on Behalf of The Infections Diseases Society of America. 2011
https://dunia.rmol.id/read/2020/12/10/465244/china-vaksin-dan-diplomasi
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55329630
https://republika.co.id/berita/qloo7i409/anggaran-awal-vaksin-gratis-di-kantong-pemerintah-rp-544-t
https://www.muslimahnews.com/2020/09/29/bisnis-vaksin-permainan-kapitalis-di-tengah-pandemi/
https://www.halodoc.com/artikel/penjelasan-tentang-perbedaan-hasil-vaksin-sinovac
Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) On Immunization Working Group on COVID-19 Vaccines. mRNA vaccines againts COVID-19: Pfizer-BioNTech COVID-19 vaccine BNT162b2. 22 Desember 2020. World Health Organization 2020
https://www.who.int/workforcealliance/members_partners/member_list/gavi/en/
https://www.merdeka.com/peristiwa/doni-monardo-siapa-bisa-menjamin-adanya-vaksin-covid-akan-berakhir.html
(https://news.detik.com/berita/d-5223685/idi-surati-menkes-terawan-minta-vaksinasi-corona-tak-dilakukan-tergesa-gesa)