Rapuhnya Layanan Primer Kesehatan Anak di Indonesia (bagian 2)

0
61

sumber gambar : https://infopublik.id/galeri/foto/detail/130323

Oleh: dr. Yanuar Ariefudin, Sp.A

Problem Kedua: Obesitas

Obesitas atau kelebihan berat badan didefinisikan sebagai indeks masa tubuh terhadap usia > +3 SD pada kurva WHO 2006 (anak usia di bawah 5 tahun) dan > P95 pada kurva CDC 2000 (anak usia 5-18 tahun). Obesitas dapat terjadi pada usia berapa saja. Obesitas dapat terjadi karena asupan yang diberikan lebih banyak dibandingkan kebutuhan, atau dapat terjadi pula karena aktifitas fisik yang kurang, dan sekitar 10% terjadi karena kelainan hormon, sindrom atau kerusakan gen.

Obesitas saat ini banyak ditemukan tidak saja di daerah perkotaan dengan sosial ekonomi yang tinggi, tetapi ditemukan pula di daerah pedesaan dengan sosial ekonomi menengah ke bawah. Di Indonesia, prevalensi obesitas pada anak usia sekolah (5–12 tahun) meningkat dari 8% pada tahun 2013 menjadi 9,2% pada tahun 2018. Peningkatan kejadian obesitas disertai pula dengan peningkatan komorbiditas yang berpotensi menjadi penyakit degeneratif di kemudian hari seperti diabetus mellitus tipe 2, penyakit kardiovascular, hipertensi, perlemakan hati dan lain-lain. Dampak buruk dari obesitas pada anak selain penyakit fisik dan organ, dapat berdampak pula pada psikososial. Anak menjadi minder, depresi karena berbeda dari teman sebayanya, gerak yang kurang lincah, dan berisiko mendapat perlakuan bully baik verbal maupun fisik di sekolah.

Anak dengan obesitas akan menimbulkan berbagai kerugian jangka panjang bagi ketahanan kesehatan anak di Indonesia. WHO telah melaporkan bahwa obesitas baik pada anak maupun pada dewasa telah diidentifikasi sebagai penyebab utama kecacatan dan kematian dini. Obesitas menurut WHO diperkirakan menyumbang 2% – 7% dari total biaya perawatan kesehatan. Ada pula biaya lain yaitu penurunan kualitas hidup dan hilangnya produktifitas saat anak menjadi dewasa.

Kebijakan Kesehatan Korporatokrasi

Korporatokrasi atau singkatnya disebut sebagai pemerintahan perusahaan. Istilah korporatokrasi mengacu pada bentuk pemerintahan dimana kewenangan telah didominasi atau beralih dari negara kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga petinggi pemerintah dipimpin secara sistem afiliasi korporasi (perusahaan).

Untuk mengatasi problem malnutrisi, dibutuhkan anggaran yang sangat besar. Problem malnutrisi bukan saja mengatasi yang saat ini dihadapi, tetapi harus membayar harga yang tidak sedikit akibat yang ditimbulkan dari malnutrisi berupa kerugian negara karena terjadinya penurunan produktifitas generasi penerus bangsa. Semakin tingginya anggaran negara yang dikeluarkan, semakin tinggi pula peluang terjadinya penyimpangan anggaran.

Ketika negara tidak berdasarkan syariat Islam, maka yang terjadi ialah kapitalisasi di bidang kesehatan. Dalam kapitalisme, fungsi negara hanya sebatas regulator. Alhasil, susu tinggi kalori untuk mengentaskan kejadian stunting sangat mahal. Susu khusus bantuan dari pemerintah masih belum mampu mencukupi kebutuhan harian anak-anak potensial stunting, bahkan yang sudah stunting. Akhirnya beberapa LSM, relawan bahkan individu ikut membantu membeli susu tersebut. Lalu di mana peran negara? Benarkah angka stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022? Akankah problematika kesehatan anak Indonesia dapat diatasi dengan sistem kesehatan kapitalistik semacam ini?

LEAVE A REPLY