Keadilan untuk dr. Sunardi Akibat Unlawful Killing

Share

sumber gambar : https://media.suara.com/pictures/653×366/2022/03/13/38376-dokter-sunardi.jpg & https://www.pexels.com/photo/judges-desk-with-gavel-and-scales-5669619/

Oleh: Imanda Amalia
(Dosen, Founder @RumahSyariahInstitute)

Tragedi kedzaliman terjadi kembali, kali ini menimpa dr Sunardi. Setelah sebelumnya kasus yang sama menimpa Siyono warga Klaten, Qidam Alfarizki warga Poso. Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia menyesalkan terjadinya penembakan terhadap Dr Sunardi, seorang dokter yang juga aktivis kemanusiaan serta pendiri Lembaga Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). Sebagaimana diketahui, Dr Sunardi ditembak mati oleh Tim Detasemen Khusus 88 (Densus 88) atas dugaan terorisme, Rabu (9/3).

Dokter Sunardi merupakan seorang difabel sehingga terpaksa menggunakan alat bantu untuk berjalan, akibat misi kemanusiaan gempa Jogja pada 2006. Saat menjadi relawan beliau mengalami kecelakaan yang membuat kakinya cedera sehingga harus menggunakan alat bantu berjalan seumur hidupnya.

Kedzaliman yang mengakibatkan terbunuhnya dr Sunardi, seharusnya tidak terjadi. Hak dr Sunardi seharusnya bisa didapatkan dengan memberikan surat panggilan dari penyidik Polri.
Apabila dr Sunardi sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka apabila tersangka tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, penyidik wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka.

Unlawfull Killing dr Sunardi

Dikutip dari Amnesty USA, Unlawful killing adalah tindakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah atau pihak berkuasa lain.

Unlawfull Killing adalah saudara kembar dari penyiksaan. Secara khusus, yang paling disayangkan adalah unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang bermotif politik. Dalam jurnal hukum tertulis, pembunuhan jenis ini banyak terjadi karena berkaitan dengan motif politik.

Banyak tokoh politik terkemuka, serikat buruh, tokoh pembangkang, tokoh agama, hingga tokoh sosial yang terkadang menjadi target dan akan ditandai untuk dibunuh.

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menduga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan memanggil Densus 88 Antiteror Polri untuk menguji apakah penembakan terhadap Dr. Sunardi tergolong sebagai lawful killing atau unlawful killing. Jika disimpulkan sebagai unlawful killing, maka boleh jadi akan ada proses hukum seperti pada kasus KM 50.

Pasalnya, secara kepemilikan senjata, kepolisian pun lebih siap. Penggunaan senjata api juga semestinya memerhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas.

Pada UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh

Benar atau tidaknya dr Sunardi bagian dari jaringan terorisme, tidak ada mekanisme untuk mengujinya. Sebab yang bersangkutan sudah tewas ditembak Tim Densus 88 Antireror Polri dengan alasan dokter Sunardi memberikan perlawanan pada saat hendak ditangkap. Namun, Sebenarnya ada mekanisme untuk mengujinya yaitu melalui posthumous trial.

Andai kita mengenal posthumous trial, persidangan bagi terdakwa yang sudah meninggal, maka diharapkan akan ada kepastian status para terduga teroris di mata hukum

Posthumous trial perlu diadakan sebagai bentuk penguatan terhadap operasi pemberantasan terorisme. Apalagi ketika operasi Densus 88 menjatuhkan korban jiwa, kerap muncul kontroversi. Maka demikian juga untuk mengatasinya, penting bagi Polri untuk melengkapi para personel Densus 88 dengan body camera. Teknologi ini akan bermanfaat untuk kepentingan pemeriksaan jika nantinya muncul tudingan bahwa Densus 88 telah melakukan aksi brutal terhadap terduga teroris.

Body camera, dalam berbagai studi, juga ampuh mencegah aparat menggunakan kekerasan secara berlebihan. Tapi masalah ini tidak hanya sebatas menyangkut hidup matinya Dr. Sunardi dan benar tidaknya statusnya sebagai anggota jaringan terorisme.

Guru Besar dan juga Dekan Fakultas Hukum Unsri, Prof Amzulian Rifai, mengatakan, bila tidak mengetahui akar permasalahannya. maka teroris tetap ada. Memahami akar masalah dipandang lebih ampuh mencegah praktik terorisme ketimbang menerapkan hukuman dan tindakan tegas, bahkan pembunuhan terhadap pelaku aksi teror tersebut.

Diskriminasi Peradilan Indonesia

Kesamaan di muka hukum (equality before the law) menjadi prinsip yang sangat penting. Ini adalah asas yang harus ditaati oleh setiap orang pada hukum peradilan yang sama. Prinsip penting inilah, bersama dengan kesetaraan dan kewajaran hukum, dipercaya akan membawa masyarakat pada keadilan hukum.

Prinsip ini telah dikenal luas. Bukan hanya diantara para ahli atau praktisi hukum, tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Dalam sejarahnya, prinsip ini juga disebut dalam Pasal 7 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.”

Konstitusi Indonesia dengan tegas juga memberikan jaminan adanya persamaan kedudukan di muka hukum. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Jelas, berdasar prinsip-prinsip tadi, setiap orang harus diperlakukan sama di bawah hukum tanpa memandang ras, gender, kebangsaan, warna kulit, etnis, agama, difabel, atau karakteristik lain. Semua harus diperlakukan sama tanpa hak istimewa, diskriminasi, atau bias. Dengan demikian, bila terdapat diskriminasi dalam hukum maka secara nyata telah melanggar prinsip ini.

Di Indonesia, mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Diskriminasi cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau oleh kelompok yang tengah berkuasa kepada mereka yang dikuasai. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama, dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain, maka itulah diskriminasi.

Diskriminasi hukum sangat nyata terjadi saat ini. Apa yang dialami oleh dr Sunardi boleh disebut sebagai puncak dari diskriminasi, bahkan kriminalisasi hukum. Bila diskriminasi saja tidak boleh, apalagi kriminalisasi. Kriminalisasi adalah memperlakukan sesorang yang senyatanya bukan kriminal seolah melakukan tidak kriminal.

Seharusnya agar negara tidak menjadi menafsir tunggal dari terorisme. Ulama harus dilibatkan dalam merumuskan pengertian terorisme. Ini penting agar para ulama tidak menjadi perpanjangan tangan penguasa sebagai penafsir tunggal definisi terorisme. Akibatnya, Banyak kasus, misalnya dr Sunardi ditembak mati ketika pulang dari tempat praktiknya hanya karena dia terduga teroris. Padahal, terduga koruptor saja tidak sampai diperlakukan demikian.

Sejatinya antara Islam dan terorisme sesungguhnya tidak ada kaitan ataupun hubungan apa pun. Di banyak media, baik cetak maupun elektronik, kerap disuguhkan aksi-aksi teror yang diimbuhi dengan aroma keislaman. Sejumlah ajaran dalam Islam yang kerap disalahpahami oleh kelompok teroris (seperti jihad, mati syahid, fa’ dll) dijadikan sebagai “mata rantai” dalam menghubung-hubungkan antara Islam dengan terorisme.

Ada banyak kejanggalan terkait permasalahan terorisme. Artinya bisa saja terorisme menjadi komoditas politik untuk menyudutkan umat Islam. Bahkan secara eksplisit diduga ada semacam strategi Amerika seperti infiltrasi, radikalisasi, provokasi lalu stigmatisasi seperti Islam adalah teroris, pesantren Indonesia adalah sarang teroris dan hal-hal lain yang serupa

Perlu diklarifikasi apa yang dimaksud dengan terorisme di sini. Sebab sampai sekarang tidak ada definisi tunggal tentang terorisme. Apalagi saat ini ada kecenderungan terorisme menjadi suatu komoditas politik dan digunakan untuk latar belakang politik. Contoh, dalam mendefinisikan terorisme sebagai kegiatan yang digunakan siapa saja, baik perorangan, kelompok atau negara, untuk meraih tujuan dengan menggunakan kekerasan, tapi pada kenyataannya tidak sesedarhana demikian pendefinisiannya.

Dalam daftar FTO (Foreign Terorist Organisation) yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), lebih dari 90% organisasi yang disebut teroris berasal dari Islam. Salah satunya disebutkan Hamas (faksi politik di Palestina) termasuk juga Syaikh Ahmad Yasin (tokoh spiritual Hamas). Jika kita analisis, bagaimana mungkin Hamas dan Syaikh Ahmad Yasin disebut sebagai teroris? Mereka memang memerangi Israel namun dalam rangka merebut kembali hak-hak mereka. Jadi bagaimana mungkin orang yang sedang berjuang merebut haknya disebut dengan teroris.

Sementara Israel, dengan tokoh-tokohnya seperti Sharon, yang jelas-jelas merebut hak orang lain tidak dianggap sebagai teroris. Begitu juga dengan negara, jika dikatakan bahwa siapa saja yang menggunakan kekerasan untuk meraih tujuan disebut teroris, kenapa ketika negara menggunakan kekerasan tidak disebut teroris?

Sekarang apabila kita jujur, siapa yang paling banyak menggunakan kekerasan, pasti jawabannya adalah Amerika Serikat (AS). Tapi kenapa AS tidak pernah disebut sebagai teroris. Lalu presidennya yang kerap memerintahkan perang di mana-mana juga tidak dianggap sebagai teroris. Perang-perang yang dilakukan Amerika semuanya tidak bisa diterima, tidak ada alasan yang bisa diterima jangankan oleh hukum, rasionalitas saja menolak alasan-alasan tersebut.

Islam Melarang Membunuh Tanpa Alasan Sesuai Syariat

Syariat Islam secara tegas melarang membunuh siapa pun tanpa alasan yang disyahkan oleh syariat. Setidaknya ada empat kriteria yang ditetapkan syariat terkait dengan siapa yang boleh dibunuh; yaitu dalam konteks penegakan hukum (qisosh), zina muhson, bughot (pemberontakan) dan orang yang diputuskan dihukum mati. Jadi apabila ada kelompok yang membunuh orang tanpa haq. Apalagi menimbulkan kerusakan pada milik pribadi atau umum lalu memicu ketakutan yang meluas. Hal semacam itu tidak ada dalam syari’at Islam.

Oleh karena itu, Harus ada suatu pemahaman yang benar. Jadi harus ditumbuhkan suatu pemahaman tauhid yang benar dan kemudian harus diikuti dengan pemahaman syariat yang benar, khususnya mengenai perjuangan. Bagaimana sebenarnya perjuangan harus dilakukan? Tentu saja dengan mencontoh dakwah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Ketika di Madinah tujuan dakwah Rasulullah adalah tegaknya syari’at Islam dalam kehidupan Islam. Di Mekkah ada dua fase; pertama, fase pembinaan dan pengkaderan. Kedua, fase berkomunikasi dengan masyarakat. Di Mekkah semuanya tidak ada yang menggunakan kekerasan. Begitu di Madinah, setelah memiliki daulah Islam, Nabi sebagai pemimpin negara melakukan jihad

Kemudian, umat harus diberi pemahaman tentang jihad. Karena jihad bagaimanapun tidak bisa dihapus. Oleh karenaya kita juga tidak setuju pada usaha yang mencoba menyimpangkan makna jihad. Pengertian syar’i (baca: menurut syariat) jihad adalah qithal. Kalau mengutip Syeikh Yusuf Qordhowi; “jihad adalah memerangi orang-orang kafir di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah”. Definisi ini tidak bisa diubah karena itu adalah pengertian jihad menurut syar’I (syariat).

Oleh karenanya perlu dijelaskan pada umat tentang fikih jihad. Tadi disebutkan bahwa jihad adalah qithal kepada orang kafir. Kafir di sini bukan sembarang kafir tetapi kafir harbi (perang). Jihad itu sendiri ada dua, jihad difa’i (defensif) dan jihad hujumi (ofensif). Yang pertama adalah jihad mempertahankan diri. Sedangkan makna jihad yang kedua adalah bersifat ofensif. Kasus-kasus seperti di Afganistan, Irak dan Ambon adalah jihad difa’i. Jadi ada tempat-tempat yang memang butuh berjihad seperti di Palestina, tetapi bukan di Indonesia

Keadilan Penegakan Hukum Dalam Islam

Dalam pandangan Islam, yang memiliki hak dan otoritas dalam membuat hukum hanya Allah SWT. Dalam surat al-An’am ayat 57 ditegaskan: In al-hukmu illâ lilLâh. Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah SWT. Dialah Yang berhak menetapkan halal dan haram.

Oleh karena itu, hukum yang wajib diterapkan adalah yang bersumber dari wahyu, yakni dari al-Quran dan as-Sunnah; serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Dari situlah semua hukum syariah berasal dan diambil.

Peradilan Islam sungguh sangat indah, berkeadilan dan berkemanusiaan. Secara realitas, ketika syariah Islam dalam peradilan diterapkan akan memberi keadilan bagi siapa saja.

Keadilan yang lain dari Peradilan Islam adalah tetap menganggap bebas pihak terdakwa sampai terbukti dakwaannya. Sebelum terbukti bersalah maka dia tidak boleh dikriminalisasi atau bahkan dicap bersalah seperti pesakitan. Apalagi sampai memberikan keputusan hukum sebelum proses peradilan, Persis seperti kasus dr Sunardi. Proses eksekusi mati sudah dilakukan sebelum ada proses peradilan. Padahal belum pernah ada pembuktian hukum atas kesalahan dr Sunardi. Jelas ini melanggar prinsip peradilan dalam Islam, yakni tetap menganggap bebas pihak terdakwa sampai terbukti dakwaannya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar:

Kami berangkat bersama rombongan kendaraan. Ketika kami sampai di Dzu Al-Marwah, koper kami dicuri dan bersama kami ada seorang laki-laki dari suku Dzu Al-Marwah. Beberapa temanku berkata kepada dia, “Hai Fulan, kembalikanlah kopernya.”
“Saya tidak mengambilnya,” jawabnya.

Kemudian saya menemui Umar bin al-Khaththab dan menceritakan kisah ini kepada dia. Umar bertanya, “Siapa kalian?”

Kemudian saya menerangkan jumlah mereka. “Saya kira dia adalah temannya yang dituduh mencuri.”

Saya berkata kepada dia, “Amirul Mukminin, saya berniat untuk mendatangkan kepadamu dengan keadaan terbelenggu.”

“Apakah kamu akan mendatangkan dia kepadaku dalam keadaan terbelenggu, sedangkan dia belum terbukti bersalah?” jawab Khalifah.

Keadilan Peradilan Islam selanjutnya adalah tunduk pada keputusan pengadilan. Walaupun Umar al-Faruq menjabat sebagai kepala negara (Khalifah). Hal ini tidak menghalangi dia untuk tunduk pada keputusan pengadilan. Dia menerima keputusan pengadilan dengan sepenuh hati. Tiada terbersit sekalipun upaya untuk mengintervensi masalah hukumnya agar dia dimenangkan dalam peradilan. Ini adalah bentuk pribadi yang luar biasa. Tidak menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Dia merasa sangat senang jika mendapatkan suatu masalah menimpa dirinya. Dia tetap memuji hakim walaupun keputusan pengadilannya mengalahkan dirinya.

Diceritakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah mau membeli kuda kepada seorang badui dan menawarnya. Umar kemudian menaiki untuk mencobanya, tetapi kemudian kudanya terluka. Orang badui berkata kepada Umar, “Kuda ini sudah menjadi milikmu.”

“Belum,” jawab Umar.

Umar berkata lagi, “Angkatlah seseorang untuk menjadi hakim antara diriku dan dirimu.”

Orang Baduy tersebut berkata, “Saya menginginkan Syuraih.”

Keduanya kemudian menyerahkan urusan mereka kepada Syuraih. Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ambillah kuda yang sudah engkau beli atau kembalikan kuda tersebut sebagaimana engkau mengambilnya.”

Umar berkata, “Ini adalah pengadilan yang sebenarnya.”

Setelah itu dia mengutus Syuraih untuk menjadi hakim di Kuffah.

Fragmen di atas menunjukkan bahwa peradilan Islam menutup kemungkinan adanya intervensi pejabat, penguasa atau yang punya uang untuk memuluskan perkaranya diperadilan. Peradilan Islam memberi jaminan kesamaan hukum dalam peradilan bagi siapapun, termasuk rakyat kecil sekalipun ketika berperkara dengan pejabat sekalipun. Berbeda dengan sekarang. Jika ada rakyat yang berpekara dengan pejabat maka akan seperti menabrak tombak besar lagi kuat. Hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Jauh panggang dengan syariah Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Read more

Local News