Israel Menyasar Rumah Sakit (Lagi) : Mungkinkah Diadili?

0
396

Dunia kembali digemparkan dengan berita penyerangan terhadap Rumah Sakit Al-Ahli Arab di Gaza yang menewaskan sekitar 500 korban[1]. Hal ini menambah daftar memilukan korban jiwa dari konflik Israel – Palestina yang kembali memanas semenjak awal bulan Oktober. Militer Israel dituduh bertanggung jawab atas penyerangan ini. Adapun Israel sendiri justru balik menuduh Hamas dibalik serangan tersebut.[2]

Beberapa jurnalis dan pengamat mempertanyakan kredibilitas pernyataan dari pemerintah Israel. Mengingat beberapa kali pemerintahan Israel terang-terangan berbohong tentang serangan yang dilakukannya[3] . Dalam serangan terakhir di RS Al-Ahli Arab, ditemukan adanya unggahan ajudan Perdana Menteri Israel yang menyatakan bahwa angkatan udara Israel telah menyerang markas teroris yang berada di sebuah rumah sakit di Gaza. Menariknya, unggahan ini langsung dihapus tak lama setelah dirilis sehingga menunjukkan kecurigaan di kalangan jurnalis, bahwa kenyataan ini berniat untuk disembunyikan[4].

Lagipula, riwayat Israel dalam menyerang institusi dan tenaga medis bukanlah hal yang baru. Sebelumnya Rumah Sakit Indonesia diserang beberapa kali oleh militer Israel. Yang paling baru terjadi di tanggal 7 Oktober 2023 mengakibatkan 1 orang tewas, 1 ambulans hancur serta korban luka-luka dan kerusakan sarana medis[5]. Sebelumnya penyerangan terjadi sebanyak berapa kali di tahun 2021[6] dan 2018[7].  Sebelumnya juga pernah terjadi tragedi penyerangan kapal Mavi Marmara yang membawa 600 relawan medis dan kemanusiaan serta jurnalis, dilakukan oleh armada laut Israel yang menewaskan 9 orang, melukai 50 orang beserta penangkapan dan penyiksaan[8],[9]

Serangan Israel Terhadap Tenaga / Institusi Medis : Kejahatan Perang yang Terabaikan

Komite Palang Merah Internasional (The International Committee of the Red Cross, ICRC) dengan berlandaskan Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang hukum internasional terkait korban perang, menyatakan bahwa perlindungan terhadap tenaga medis dalam medan perang adalah suatu hal yang mutlak[10]. Pelanggaran dari Konvensi Jenewa ini termasuk dalam pelanggaran hukum internasional, bersama dengan kejahatan perang dan serangan rakyat sipil lainnya yang dapat membawa Israel ke meja pengadilan hukum internasional (International Crime Court, ICC).

Menariknya, sejak berdirinya ICC tahun 1994 bersamaan dengan Statuta Roma, Israel belum pernah diadili di ICC. Sejak awal, Israel tidak mau menandatangani statute Roma, dan tidak menganggap otoritas Palestina sebagai negara sehingga menafikan adanya penjajahan. Israel juga memberikan tekanan politik pada otoritas Palestina agar tidak melayangkan gugatan kejahatan perang ke ICC[11].

Tidak berhenti sampai disitu. Salah satu organisasi HAM yang vocal menyuarakan isu Palestina, Al-Haq, mengumpulkan berbagai data dan bukti kejahatan perang Israel terhadap Palestina untuk diadili ke ICC. Walaupun sudah memberikan tekanan yang intens, sampai sekarang masih belum membuahkan hasil.[12]

Posisi Israel yang bak kebal hukum ternyata bukan tak ada alasannya. Amerika Serikat sebagai ‘polisi dunia’ selalu berpihak kepadanya. Selama lima decade, tercatat sebanyak 53 kali AS menggunakan hak veto untuk melindungi Israel dari keputusan dan tuntutan PBB terkait serangan Israel kepada Palestina[13]. Bahkan bantuan militer AS selalu tercurah besar-besaran kepada Israel bak anak kesayangannya.

Tercatat hampir sebesar 4 miliar US$ dana bantuan militer yang tercurah untuk Israel per tahunnya. Israel merupakan penerima bantuan dana militer terbesar dari AS, dimana peringkat kedua adalah Mesir yang menerima sebesar 1,3 miliar US$. Menariknya, bantuan militer AS kepada Mesir ini merupakan kelanjutan dari perjanjian Camp David yang juga tercipta untuk membantu posisi Israel[14].

Hal ini menunjukkan bahwa upaya menjatuhkan sanksi keras terhadap Israel tampak amat suram. Upaya yang dilakukan dunia dan pembela-pembela HAM hanya menjadi macan ompong di hadapan Israel-AS. Tenaga medis yang terjun ke medan perang bagaikan terjun bebas ke lubang buaya tanpa ada perlindungan. Korban-korban berjatuhan akan terus bertambah. Harapan dan peluang tenaga medis untuk saving life semakin mengecil.

Kebutuhan utama pelayanan medis dalam zona perang adalah keamanan[15]. Keamanan dalam transfer pasien, keamanan dalam memberikan pelayanan medis, keamanan dari serangan militer. Beberapa penelitian menunjukkan kekerasan menimpa tenaga kesehatan di wilayah perang di sekitar tahun 2019, diantaranya adalah pemukulan dan penembakan, penangkapan, intimidasi dan ancaman, dihalangi / dihambat ketika memberikan pelayanan medis, serta diganggu karena dianggap memihak salah satu pihak[16].

Salah satu studi kasus mengungkapkan bahwa aplikasi hukum internasional tentang perlindungan tenaga medis di wilayah perang senantiasa terjadi misinterpretasi, dan bisa jadi berbeda dengan hukum yang diadopsi oleh negara bersangkutan. Hal ini rawan menimbulkan alasan “salah serang” ketika terjadi serangan militer pada rumah sakit / tenaga kesehatan. Jika sudah terjadi seperti ini, biasa terjadi saling tuduh antara kedua pihak yang berperang. Akhirnya, pasien dan tenaga medis yang menjadi korban, tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab[17].

Masihkah kita mengharapkan keadilan untuk tanah Palestina melalui pengadilan hukum internasional, atau PBB yang tidak punya gigi di hadapan Amerika Serikat? Belumkah saatnya bagi negeri-negeri muslim menyatukan kekuatan dalam satu naungan Aqidah Islam, supaya dapat menjadi kekuatan yang setara untuk bersikap tegas terhadap Israel dan Amerika Serikat? Selama hal itu belum terjadi, maka teruslah kita mengirim tenaga medis kita ke lubang buaya. Teruslah kita memperbanyak pasien korban kezaliman kejahatan perang Israel.

Sudah saatnya umat Islam, penguasa negeri-negeri muslim, bersatu dalam bendera Aqidah Islam untuk membela Palestina.


[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20231018145034-4-481624/500-tewas-apakah-menyerang-rs-kejahatan-perang

[2] https://www.cnbcindonesia.com/news/20231019051434-4-481767/terungkap-bukti-bukti-dalang-di-balik-ledakan-rudal-rs-gaza

[3] Idem

[4] https://www.aljazeera.com/news/2023/10/18/what-is-israels-narrative-on-the-gaza-hospital-explosion

[5] https://disway.id/read/731383/rumah-sakit-indonesia-di-palestina-diserang-israel-relawan-ini-pelanggaran-internasional

[6] https://www.liputan6.com/global/read/4560189/rs-indonesia-di-gaza-rusak-akibat-serangan-israel?page=2

[7] https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46001539

[8] https://www.aljazeera.com/features/2020/5/30/a-decade-has-passed-but-the-mavi-marmara-killings-i-saw-still-shape-me

[9] https://www.mavimarmara.org/en/article/the-mavi-marmara-incident-in-its-10th-anniversary-and-the-situation-of-palestine#:~:text=Mavi%20Marmara%2C%20with%20nine%20martyrs,psychological%20torture%20by%20Israeli%20soldiers.

[10] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9005878/

[11] https://arabcenterdc.org/resource/the-international-criminal-courts-failure-to-hold-israel-accountable/

[12] idem

[13] https://www.aljazeera.com/news/2021/5/19/a-history-of-the-us-blocking-un-resolutions-against-israel

[14] https://arabcenterdc.org/resource/ending-military-aid-to-israel-the-death-of-a-taboo/

[15] https://www.cmaj.ca/content/194/22/e781

[16] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9005878/

[17] Bouchet-Saulnier, F., & Whittall, J. (2019). An environment conducive to mistakes? Lessons learnt from the attack on the Médecins Sans Frontières hospital in Kunduz, Afghanistan. International Review of the Red Cross, 1–36.

LEAVE A REPLY