Mungkinkah Mengakhiri Pandemi dengan Vaksin? Ilusi Negeri Sekuler Vs Program Vaksinasi Era Khilafah

0
1637

sumber gambar :  Live5news.com

Oleh: dr. Toreni Yurista
Bersamaan dengan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Presiden Joko Widodo ternyata juga menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020. Perpres yang mengatur pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ini diterbitkan pada 5 Oktober 2020 dan diundangkan sehari setelahnya (1).
Percepatan pengadaan vaksin covid-19 dan proses vaksinasinya dianggap memerlukan langkah luar biasa (extraordinary) sehingga memerlukan pengaturan khusus. Sebagaimana yang disebutkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, total jumlah penduduk Indonesia yang akan disuntik vaksin covid-19 sekitar 160 juta orang. Dari jumlah ini, dibutuhkan sekitar 320 juta dosis sampai 370 juta dosis vaksin sampai akhir tahun 2021 (2).
Ada 6 kelompok sasaran penerima vaksin covid-19 yakni 1) tenaga medis, TNI/Polri, aparat hukum, dan pelayanan publik sebanyak 3,4 juta orang, 2) tokoh agama/masyarakat, perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW) sebanyak 5,6 juta orang, 3) seluruh tokoh/tenaga pendidik mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, sampai sederajat perguruan tinggi, sebanyak 4,3 juta orang, 4) aparatur pemerintah (pusat, daerah, dan legislatif) sebanyak 2,3 juta penerima vaksin, 5) Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan sebanyak 86 juta orang, dan 6) masyarakat usia 19 hingga 59 tahun, sebesar 57 juta orang (3).
Sebagai langkah awal, pemerintah sudah memesan dari Tiongkok tiga jenis vaksin, yaitu Sinovac, G42/Sinopharm, dan CanSino Biologics (4). Menteri kesehatan Terawan Agus Putranto juga telah menunjuk dua puskesmas yang akan dijadikan lokasi simulasi vaksinasi. Kedua puskesmas tersebut ialah Puskesmas Abiansemal-Denpasar dan Puskesmas Tanah Sereal-Kota Bogor(5).
Vaksinasi Adalah Solusi?
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo sudah menyatakan, ditemukannya vaksin belum tentu jadi solusi utama menyelesaikan pandemi Covid-19. Pasalnya, vaksin di beberapa negara termasuk Indonesia masih berproses dan belum ada yang terbukti bisa menghentikan pandemi secara total untuk kembali ke kehidupan normal (6).
Ikatan Dokter Indonesia dalam sebuah surat yang ditandatangani Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih dan diunggah di akun twitter resmi pada 22 Oktober lalu menyebutkan program vaksinasi tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemilihan jenis vaksin yang akan disediakan. Syarat itu meliputi vaksin sudah terbukti efektivitas, imunogenitas, serta keamanannya dengan dibuktikan hasil yang baik melalui uji klinik fase ketiga yang sudah dipublikasikan (7).
Peringatan keras seputar isu keamanan vaksin juga datang dari berbagai elemen. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) Tulus Abadi mengingatkan penggunaan vaksin Covid-19 harus berhati-hati karena menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen (8). Ketua Pokja Bidang Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan juga telah melayangkan surat yang menegaskan bahwa vaksin covid-19 tidak bisa disuntikkan ke sembarang orang (9). Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan MUI baru akan menguji kehalalan vaksin setelah kualitas, keamanan, dan efikasi dari vaksin covid-19 telah diuji oleh BPOM (10).
Kekhawatiran banyak pihak ini bukan tanpa alasan. Dari sekitar delapan kandidat vaksin yang memasuki uji klinik tahap tiga, hasilnya paling cepat baru diketahui pada Desember atau awal tahun depan. Itu pun baru laporan awal apakah apakah vaksin aman dan ampuh atau tidak (4). Ditambah lagi, beberapa kandidat vaksin diberitakan telah menimbulkan kejadian ikutan yang tidak menyenangkan, seperti kemungkinan timbulnya transversal myelitis dari vaksin buatan Astra-Zeneca (16).
Gencarnya pemerintah Indonesia dalam upaya vaksinasi menimbulkan tanda tanya tersendiri. Strategi penanganan pandemi yang langsung melompat ke langkah vaksinasi tidaklah lumrah. Selain uji klinisnya yang membutuhkan waktu lama, efektivitas vaksin belum tentu sesuai harapan. Proses pemberian vaksinnya sendiri juga akan memakan biaya dan energi yang sangat besar. Dibutuhkan rantai pasokan yang disebut cold-chain, sarana dan prasarana yang memadai, plus tenaga ahli yang tidak sedikit untuk bisa mengejar ketercapaian program vaksinasi dari Sabang sampai Merauke hanya dalam waktu satu tahun.
Seharusnya penanganan pandemi menitikberatkan pada langkah-langkah containment (pembendungan) dan mitigasi yang relatif lebih murah dan tidak membebani anggaran pemerintah. Sangat nampak betapa terburu-burunya pemerintah melakukan vaksinasi dengan menyebutnya sebagai langkah extraordinary padahal di sisi lain pemerintah justru mengabaikan langkah-langkah penting seperti protokol kesehatan, karantina wilayah, testing, tracing, maupun treating.
Penanganan Pandemi Dalam Islam
Ujug-ujug vaksin. Begitulah gambaran dari proses penanganan pandemi di Indonesia. Tidak sedikit pun negeri sekuler ini melirik peran Islam dalam mengatasi pandemi. Padahal Islam sebagai agama yang syumulan dan kamilan telah memberikan contoh strategi penanganan wabah.
Wabah bukanlah hal baru dalam khazanah Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat wabah Shirawayh. Wabah pertama pada awal sejarah Islam ini terjadi di Al-Mada’in (Ctesiphon), pusat pemerintahan Persia, pada 627–628 M. Wabah ini menjadi salah satu sumber kemunculan riwayat-hadits mengenai wabah pada era kenabian khususnya saat di Kota Madinah, saat Nabi sedang hijrah pada tahun 622 M (11).
Wabah berikutnya adalah Amwas. Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam Plague in Early Islamic History menjelaskan, wabah ini dinamai demikian karena menyerang tentara Arab di Amwas, Emmaus, sebuah wilayah di Jerusalem. Peristiwa ini terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khathab tahun 638/639. Wabah Amwas menelan korban jiwa 25.000 tentara muslim dan meluas ke seluruh Suriah, Irak, dan Mesir. Dua gubernurnya, yaitu Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabbal wafat secara berturutan. Kemudian Amr bin Ash dipanggil untuk memimpin penanganan wabah tersebut hingga akhirnya wabah dapat berhenti (19).
Nah, bagaimana sebenarnya cara Islam mengakhiri wabah?
Pertama, sejak awal pemimpin dalam sistem Islam Khilafah akan memisahkan orang sehat dari orang sakit. Tes massal dapat dilakukan secara gratis bagi warganya untuk mengetahui siapa yang terinfeksi dan siapa yang sehat. Bagi mereka yang terinfeksi, negara melacak siapa saja yang telah berdekatan dengannya, kemudian mengurus pengobatan mereka hingga sembuh.
Kedua, Khalifah berupaya maksimal menutup wilayah sumber penyakit, sehingga penyakit tidak meluas. Sementara itu, daerah yang tidak terinfeksi dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi mereka secara normal tanpa takut tertular.
Ketiga, bagi masyarakat di daerah wabah, Khalifah akan menjamin seluruh kebutuhan pokok mereka. Hal ini karena masyarakat di daerah wabah tidak mampu menjalankan roda ekonomi sehingga pemenuhan kebutuhannya harus diberikan oleh negara.
Keempat, Khalifah menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang cukup dan memadai bagi rakyat, tanpa menzalimi tenaga medis/instansi kesehatan.
Kelima, Khalifah mendukung penuh dengan menyediakan dana yang cukup untuk melakukan riset terhadap vaksin agar segera dapat ditemukan (12).
Supremasi khilafah, dengan kestabilan sistem pemerintahan, ekonomi, peradilan dan suprasistem lainnya, mampu memastikan kelima solusi di atas berjalan bukan sekedar di atas kertas. Masyarakat pun bisa beraktivitas dengan perasaan tenang walau dalam kondisi wabah. Sebagaimana tersirat dalam disertasi Nukhet Varlik yang berjudul Disease and Empire: A History of Plague Epidemics in the Early Modern Ottoman Empire (1453-1600), kesultanan Utsmaniyah selama 64 tahun terus diterjang epidemi secara berkala. Dengan jumlah korban jiwa dan kesedihan yang tak sedikit, tiap peristiwa wabah ternyata mampu memantik solidaritas bersama seluruh rakyat dan penguasa (15).
Utsmaniyah mengembangkan pusat-pusat karantina untuk memisahkan yang sakit dari yang sehat. Tempat tersebut diberi nama tahaffuzhanes. Mulanya, bangunan ini didirikan di Tuzla dan Urla. Seiring waktu, khususnya sejak abad ke-18 konstruksi serupa juga diadakan di banyak wilayah, termasuk sekitaran Istanbul, Edirne, dan kawasan pesisir Laut Hitam. Sesuai namanya, tahaffuzhanes berfungsi sebagai tempat sementara untuk mengisolasi orang-orang yang diduga terpapar wabah. Bila memerlukan pertolongan medis, mereka dapat dilarikan ke rumah sakit terdekat (15).
Khalifah memastikan ada penutupan area wabah. Pulau Chios di Laut Aegea, lepas pantai Yunani, pernah dijadikan sebagai lokasi karantina warga, pelancong, dan/atau pedagang pada abad ke-16. Siapapun yang terbukti baru saja datang dari kawasan yang terjangkit wabah mesti dikarantina di sana. Pulau Adalar dekat pantai Istanbul juga menjadi tempat karantina, khususnya bagi para tamu raja. Duta besar Habsburg untuk Utsmaniyah, Ogier Ghiselin de Busbecq (1554-1562), pernah menetap tiga bulan lamanya di sana demi menghindari wabah (15).
Para penguasa Utsmaniyah terus menggiatkan pembangunan rumah-rumah sakit, setidaknya sejak seabad pasca-penaklukan Konstantinopel (Istanbul). Oleh karena itu, mereka cenderung siap saat menghadapi fenomena wabah. Sedikitnya, terdapat enam unit rumah sakit di ibu kota Istanbul. Tata kota itu menunjukkan, tiap rumah sakit berlokasi di pinggiran kota. Hal ini sebagai langkah antisipasi agar jangan sampai penyakit yang sedang diidap para pasien menulari kebanyakan warga yang sehat (15).
Khalifah memimpin langsung penanganan epidemi dengan memanfaatkan birokrasi yang efisien. Salah satu bukti efektivitas sistem penanganan ini dapat dilihat ketika wabah berkecamuk di Mesir pada 1579. Begitu mendapatkan kabar itu, Istanbul pun memerintahkan gubernur Mesir di Iskandariah untuk segera mengambil langkah antisipasi. Lalu-lintas transportasi rute Mesir-Istanbul langsung ditutup sementara (15).
Sistem peradilan yang tegas dan tidak tebang pilih, memungkinkan Khalifah menindak langsung bawahannya yang melanggar aturan. Misalnya, pada 1568 seorang qadi Istanbul dihukum karena membiarkan para pengemis berkeliaran di jalan saat wabah terjadi. Ketentuan yang berlaku saat itu, tidak boleh ada kerumunan di daerah wabah. Bagi mereka yang fakir-miskin, otoritas setempat segera mendatanya untuk kemudian bantuan negara disalurkan (15).
Apakah pada saat itu Khalifah sudah mampu melakukan vaksinasi? Ya, vaksinasi dilakukan setelah melaksanakan serangkaian strategi mitigasi. Vaksinasi bukan hal yang tabu dalam peradaban Islam. Kekhilafahan Turki Usmani adalah promotor vaksinasi. Dalam buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World disebutkan “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older Turkic tribes” (Turki Utsmaniyah Anatolia mengetahui metode vaksinasi. Mereka menyebutnya Ashi atau engrafting, dan mereka mewarisinya dari suku Turki yang lebih tua) (13).
Pada saat itu, di Eropa belum dikenal metode ini. Lady Mary Wortley Montague (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki, melihat efektivitas vaksin di Turki dan membawa ilmu ini ke Inggris untuk mengatasi wabah cacar (smallpox). Upaya wanita tersebut sayangnya tidak berjalan lancar karena terbentur peradaban Eropa yang masih anti terhadap ilmu pengetahuan (13).
Tarikh Ad-Daulah Al-Utsmaniyah karya Yilmaz Oztuna menyebutkan, pada tahun 1695 Utsmaniyah sudah menerapkan vaksinasi smallpox untuk rakyatnya. Sementara itu, Eropa justru masih menentang vaksinasi secara terus menerus. Raja Prancis Louis XV, yang menolak divaksin karena takut stigma dari gereja, terjangkit cacar dan meninggal pada Mei 1774. Baru setelahnya, Eropa mulai mengembangkan vaksin (17).
Lima Hukum Seputar Vaksinasi
Kaum muslim tidak anti terhadap vaksinasi karena hukum vaksinasi secara syara’ adalah sunah (mandub, mustahab) sesuai dengan hukum asal berobat. Namun demikian, terkait dengan vaksinasi yang saat ini akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia, menurut KH. Shiddiq Al Jawi, ada 5 hukum turunan yang perlu dijabarkan, yaitu:
Pertama, hukum asal vaksin. Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin (bakteri/virus yang telah dilemahkan) ke dalam tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan kekebalan (imunitas). Hukum asalnya mandub. Namun hal ini harus memenuhi dua syarat, yaitu bahan vaksinnya tidak mengandung zat najis dan tidak menggunakan bahan yang menimbulkan mudarat (18).
Hukum berobat yang asalnya sunah ini bisa berubah menjadi wajib jika seseorang yang memilih tidak berobat dapat terancam jiwanya. Hal itu karena memilih tidak berobat ini dapat digolongkan bunuh diri yang telah diharamkan (QS An Nisaa` : 29) (18).
Kedua, hukum terkait uji klinis yang menjadikan manusia sebagai bahan uji coba. Uji klinis (clinical test) adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang. Hukum uji klinis sendiri adalah mubah (dibolehkan syara’), berdasarkan dalil syara’ yang membolehkan pembuatan obat. Namun uji klinis itu diharamkan secara kasuistik bagi individu-individu tertentu yang berpotensi mendapatkan bahaya berat akibat uji klinis (18).
Ketiga, hukum seputar politik kesehatan Islam. Menurut KH Shiddiq Al Jawi, ada tiga macam kebutuhan umat Islam yang harus dijamin secara gratis oleh negara, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Untuk perihal kesehatan, haram hukumnya negara menetapkan harga. Berdasarkan politik kesehatan dalam syariah Islam ini, maka rencana pemerintah untuk menjual vaksin kepada masyarakat jelas-jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam (18).
Keempat, hukum syariat seputar pengadaan vaksin dari luar negeri yang dibeli dari Cina, maka harus dipahami fakta bahwa Republik Rakyat Cina adalah negara kafir harbi secara de facto (muharriban fi’lan). RRC terbukti menyiksa dan membunuh umat Islam etnis Uighur di provinsi Xin Jiang. Karena itu, diharamkan umat Islam untuk bermuamalah dengan negara kafir harbi fi’lan. Jika pun untuk urusan vaksin memang hendak impor, maka harus dilihat dulu negara mana selaku produsen yang diajak bermuamalah (18).
Kelima, hukum syara’ vaksinasi paksa dengan denda. Memang, hukum mentaati kebijakan penguasa (ulil amri), dalam ajaran Islam adalah wajib, sesuai firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa’ 59. Hanya saja, pemimpin yang wajib ditaati adalah yang beragama Islam (muslim) dan menerapkan Syariah Islam secara komprehensif (kaffah) dalam segala bidang kehidupan, bukan hanya menerapkan Syariah Islam secara parsial. Maka dari itu, mentaati penguasa sekarang tidaklah wajib hukumnya bagi Umat Islam, karena mereka tidak memenuhi definisi “Ulil Amri” yang wajib ditaati sesuai QS An Nisaa` : 59 (18).
Maka jika penguasa memaksa vaksinasi Covid-19 kepada rakyat yang muslim, tidak ada kewajiban bagi Umat Islam untuk mentaatinya. Adapun denda yang akan dikenakan penguasa bagi yang tidak mau divaksin, maka denda itu hukumnya haram karena 2 (dua) alasan, yakni penguasa yang ada sekarang bukanlah “Ulil Amri” yang wajib ditaati menurut Syariah Islam dan umat tidak akan ridho membayar denda tersebut sehingga harta itu akan menjadi harta haram bagi penguasa yang akan menjadi bekal mereka menuju neraka (18). Sabda Rasulullah SAW :
“Ingatlah, janganlah kamu berlaku zalim. Ingatlah, tidak halal harta dari seseorang, kecuali yang dia diberikan atas dasar kerelaan hati darinya.” (HR Ibnu Hajar Al Asqalani, hadits hasan).

Wallahu a’lam bi as shawab

(1) https://news.detik.com/berita/d-5203418/jokowi-teken-perpres-pengadaan-vaksin-covid-19
(2) https://nasional.kompas.com/read/2020/10/13/09204051/airlangga-160-juta-orang-akan-disuntik-vaksin-covid-19-di-indonesia
(3) https://kesehatan.kontan.co.id/news/6-kelompok-sasaran-penerima-vaksin-covid-19
(4) https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01865913/peneliti-pemerintah-buru-buru-impor-vaksin-covid-19-padahal-belum-ada-yang-aman-dan-ampuh
(5) https://metro.tempo.co/read/1392485/puskesmas-tanah-sareal-bogor-jadi-tempat-simulasi-vaksin-covid-19
(6) https://www.merdeka.com/peristiwa/doni-monardo-siapa-bisa-menjamin-adanya-vaksin-covid-akan-berakhir.html
(7) (https://news.detik.com/berita/d-5223685/idi-surati-menkes-terawan-minta-vaksinasi-corona-tak-dilakukan-tergesa-gesa)
(8) https://www.beritasatu.com/bernadus-wijayaka/kesehatan/672061/ylki-obat-dan-vaksin-covid19-harus-berstandar-who
(9) https://banten.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/dokter-paru-minta-kemenkes-umumkan-syarat-syarat-penerima-vaksin-regional-banten/4
(10) https://lifestyle.bisnis.com/read/20201031/106/1311765/lpp
om-mui-vaksin-virus-corona-harus-diuji-keamanannya-sebelum-digunakan)
(11) Kaadan, Abdul Nasser & Mahmud Angrini. Was the Plague Disease a Motivating or an Inhibiting Factor in the Early Muslim Community? Journal of International Society of Islamic Medicine. https://www.ishim.net/Articles/Was%20the%20Plague%20Disease%20a%20motivating%20or%20an%20inhibiting%20Factor%20in%20the%20Early%20Muslim%20Community.pdf, diakses November 2020
(12) https://www.muslimahnews.com/2020/10/08/menyolusi-covid-19-bukan-melompat-ke-vaksin-begini-tanggung-jawab-negara/
(13) Al Hassani, Salim & Elizabeth Woodcock & Rabah Saoud. 1001 Inventions, Muslim Heritage in Our World. Foundation for Science Technology and Civilisation, 2007
(15) Varlik, Nukhet. A History of Plague Epidemics in the Early Modern Ottoman Empire (1453-1600). University of Chicago, Department of Near Eastern Languages and Civilizations, 2008.
(16) https://www.cnbc.com/2020/10/20/astrazenecas-us-coronavirus-vaccine-trial-may-resume-as-soon-as-this-week-sources-say.html
(17) https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2020/06/23/186686/daulah-utsmaniyah-pelopori-gerakan-vaksinasi.html
(18) Al-Jawi, Shiddiq. 2020. Hukum Syara’ Seputar Vaksin Covid-19. Institut Muamalah Indonesia
(19) Dolls, Michael Walter. Plague in Early Islamic History. Journal of the American Oriental Society Vol. 94, No. 3 (Jul. – Sep., 1974), pp. 371-383 . https://www.jstor.org/stable/600071?seq=1#metadata_info_tab_contents

LEAVE A REPLY