Dokter, Da’i dan Zaman Persekusi

Share

Oleh : dr. Fauzan Muttaqien (Sekjend HELP-S)

Saya beruntung, berteman dengan bang Felix Siauw jauh sebelum dia setenar sekarang. Persis seperti kata dia, orang-orang yang memiliki interest yang sama suatu saat akan dipertemukan. Kalau dia sedang ada jadwal ‘manggung’ di kota saya, biasanya saya sempatkan untuk menyambangi. Atau, kalau saya kebetulan lagi di Jakarta, saya usahakan mampir ke rumahnya sekedar untuk ngobrol.

Kami memiliki beberapa persamaan, di samping banyak hal juga yang kami tidak sependapat. Saya dan bang Felix sama-sama memelihara rambut plontos, sama-sama tak sanggup menumbuhkan janggut. Bedanya dia plontos kuning, saya plontos coklat.. hehehe… Kami sama-sama suka sejarah, dan suka menuangkan ide lewat tulisan. Bedanya tulisan dia jauh lebih laris. Saya dan bang Felix sama-sama pencinta komik. Bahkan, komik favorit kami sama: Kenji! (tahu komik itu? yang seangkatan dengan kami mestinya tahu lah…). Namun, sekali lagi bang Felix kembali melebihi saya. Kalau kecintaan saya pada kisah Kenji hanya sampai tingkat mendownload komiknya lengkap serta berulang-ulang membacanya. Kalau bang Felix sudah sampai mendatangi tempat-tempat bersejarah yang pernah didatangi oleh Kenji di negara aslinya. Kami sama-sama hobi bermimpi besar. Dan biasanya kalau ketemu, kita ngobrol panjang lebar tentang mimpi-mimpi besar kami berdua, sungguh menyenangkan.

Satu lagi kesamaan kami. Yaitu dalam hal persekusi. Saya dan bang Felix sama-sama pernah dipersekusi. Bedanya dia lebih sering, dan persekusinya kayanya sudah melegenda tingkat nasional, hehehe… Saya mah masih tingkat lokal. Dulu, ketika dia batal ‘manggung’ di Semarang karena penolakan sejumlah oknum yang mengklaim dirinya paling toleran dan paling pancasila, saya mengirim pesan bernada kekecewaan, dia hanya menanggapi dengan mengirim emoticon senyum lebar. Nah sekarang, ketika kemarin dia ramai dipersekusi di Bangil, sekali lagi saya haturkan do’a semoga Bang Felix tetap istiqamah.

Saya juga pernah dipersekusi, dan serius, rasanya itu perih! Saat itu saya dipercaya sebagai tim medis untuk sebuah perhelatan pengajian. Tiba-tiba saja ratusan, kalau tidak ribuan ‘preman’ dari organisasi yang kurang lebih sama dengan yang membubarkan acara bang Felix datang menggeruduk ujug-ujug membubarkan acara pengajian yang kami laksanakan. Miris, melihat tindakan kriminal yang mereka lakukan: menurunkan spanduk dan atribut-atribut dengan kasar, lalu mengumpat sumpah serapah kepada para ulama, serta melecehkan ajaran Islam. Saya menyaksikan dengan jelas para ustadz digelandang dan diteriaki oleh mereka laksana penjahat. Ustadz saya sampai ditarik-tarik janggutnya, yang lain sampai dipukul. Saya sendiri akhirnya, harus turut juga diteriak-teriaki dan digelandang menggunakan mobil barracuda ke kantor polisi.

Meski saya dan panitia lain berusaha ikhlas, tapi tetap saja sakit hati saya baru sembuh keesokan harinya.

Jadi ketika hari ini saya mendengar Bang Felix kembali dipersekusi, saya bisa merasakan bagaimana rasanya.

 

Persekusi Zaman Now

Persekusi tak hanya menimpa kalangan ulama dan aktivis. Profesi macam tenaga kesehatan pun turut jadi tumbal.

Tahun ini saja sudah bejibun kasus persekusi terhadap tenaga kesehatan. Terakhir, kita mendengar kasus penjambakan kerudung dokter UGD Sampang oleh seorang oknum kepala desa. Lalu, kasus seorang dokter Puskesmas di Halmahera yang diamuk oleh bendahara Puskesmas bersangkutan dikarenakan kasus korupsi sang bendahara diungkap.

Islam mengajar kita bagaimana memberikan penghormatan kepada dua profesi mulia ini. Ulama sekaliber imam Syafi’I pernah berkata seperti ini: “Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga daripada ilmu kedokteran”.  Dalam kesempatan lain beliau berkata “Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.”

Maka tak heran, sejarah peradaban Islam mencatat penghormatan umat terhadap tenaga kesehatan serupa dengan penghormatan terhadap para ulama.

 

Sebuah Natural History

Di dunia medis, kita mengenal istilah natural history atau perjalanan alamiah suatu penyakit. Kejadian-kejadian penyakit bisa diramalkan perkembangannya. Memang sudah alamiahnya seperti itu.

Persekusi kepada kalangan da’i dan kalangan dokter, bila dilacak di sejarah, sudah terjadi sejak dahulu kala. Sejak zamannya nabi Nuh, para penyeru kebenaran sudah terbiasa dipersekusi. Begitu juga kalangan dokter. Meski tidak tertoreh dengan jelas, namun mafhum diketahui, profesi mulia ini sering tidak disenangi oleh masyarakat setempat.

Maka, ketika para ulama, da’i, organisasi islam sekarang diumpat dan dicela maka yang terjadi hanyalah pengulangan sejarah. Ketika dokter sering tidak disenangi, itu sudah jadi fitrahnya.

Dan sudah jadi perjalanan alamiahnya, bahwa pada akhirnya si zhalim akan tersungkur jatuh tenggelam. Dan kebenaranlah yang menang. Meski harus melalui berangkai cerita pahit sebelumnya.

Ketika Ustadz Felix Siauw dicaci, ketika Ustadz Bachtiar Natsir dicekal, ketika HTI dibubarkan.

Ketika dokter UGD dijambak kerudungnya, ketika dokter A di Puskesmas Halmahera Selatan dimaki….

Saya hanya bisa bilang begini,

“Ini hanyalah sekuel episode-episode masa lalu. Dan kita sudah tahu akhir ceritanya… Jadi bersabar saja teman..”

“Semakin keras bandulan ditarik, maka semakin kencang ayunannya”

Read more

Local News