Mengenal Disorder of sexual Development (DSD)

0
4142

Oleh : Dr. Maria Ulfah, M.Si.Med (wasekjend II HELP-S, Healthcare Professionals for Sharia)

 Namanya Siti Hafizhah, sebut saja begitu. Usianya kira-kira dua tahun lebih muda dari saya. Mendengar nama itu, kira-kira sosok seperti apa yang sedang pembaca bayangkan? Sesosok perempuan ayu nan anggun berbalut kerudung lebar? Frase terakhir hampir betul: lebih dari itu, ia seorang perempuan berhijab syar’i lengkap dengan niqabnya. Namun sayangnya perawakannya tidak seanggun yang pembaca bayangkan. Badannya besar berdada bidang dan rata, kulit kasar berotot, memiliki kumis, janggut dan jambang yang setiap hari harus diicukurnya. Suaranya besar nge-bass. Secara fisik sangat laki-laki tulen. Itu jualah yang membuat seorang ikhwan yang ingin ta’aruf buru-buru membatalkan niatnya.

Rasa yang sama dengan yang saya alami kala pertama kali bertemu dengannya. Jangan-jangan banci gadungan? Namun setelah mengenal lebih dalam baru saya percaya, dia, yang juga seorang hafizh 15 juz ini, betul-betul wanita tulen. Dia, meski fisiknya tampak sangat maskulin, namun hatinya betul-betul selembut wanita. USG menunjukkan dengan jelas ovariumnya, dan kromosomnya 46,XX. Siti Hafizhah, wanita tulen!

 

Khuntsa. Ini istilah dalam fikih bagi seseorang yang memiliki alat kelamin ganda atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Khuntsa ini jelas berbeda dengan kaum banci atau transgender. Khuntsa berbeda dengan transgender, karena transgender faktanya memiliki kesempurnaan alat kelamin, namun mereka mengingkari atau menyalahgunakan fitrahnya.

Khuntsa terbagi menjadi dua kategori: Pertama, khuntsa musykil, yaitu jenis yang ambigu, dimana alat kelaminnya betul-betul tidak jelas laki-laki atau perempuan. Yang kedua, khuntsa ghairu musykil dimana jenis kelaminnya lebih mudah ditentukan kecenderungannya ke arah mana.

Dahulu penentuan jenis kelamin seorang khuntsa sebatas melihat tampilan fisik alat kelamin mana yang lebih cenderung ke jenis kelamin tertentu, apakah menjadi perempuan atau pria. Atau menunggu seorang khuntsa akil baligh, apakah ia haidh atau mimpi basah. Dengan kecanggihan ilmu kedokteran sekarang, penentuan jenis kelamin seseorang bisa dengan memperhatikan tiga aspek yaitu berdasarkan genetis dengan melihat kromosom seks (XX atau XY) atau gen SRY (penanda laki-laki), gonad (ovarium atau testis), dan tampilan organ kelamin, baik luar maupun dalam.

Disorder of sexual Development (DSD) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya suatu anomali genital bawaan dimana terdapat gangguan perkembangan pada kromosom, gonad dan anatomi alat kelamin. Sebagian besar kelompok DSD adalah khuntsa. Dahulu gangguan ini disebut dengan beberapa istilah seperti ambigus genitalia, interseks atau pseudohermafrodit. Namun istilah-istilah ini sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan karena sering menimbulkan problem sosial.

European Society for Paediatric Endocrinology  (ESPE) dan Lawson Wilkins Pediatrics Endocrine Society (LWPES) pada tahun 2006, menetapkan nomenklatur baru dalam diagnosis DSD. Konsensus ini telah mengganti istilah Female pseudohermaphroditism menjadi 46 XX DSD, male pseudohermaphroditism menjadi 46 XY DSD, sedangkan true hermaphrodite menjadi Ovotesticular DSD.

Petunjuk pada kecurigaan terhadap adanya DSD yaitu diantaranya alat kelamin luar yang bersifat ambigus atau tak lengkap, alat kelamin laki-laki namun skrotum kosong atau testis (buah zakar) ada tapi kecil, letak alat kencing di bawah (hipospadia) atau penis kecil. Jika perempuan, alat kelamin luar terdapat klitoris membesar, bentuk vulva tak sempurna, benjolan-benjolan di inguinal atau labia mayora, dan berperawakan pendek serta adanya amenorrea primer. Selain itu penting ditanyakan pada riwayat keluarga, ada keluarga dengan kelainan jenis kelamin atau riwayat ibu sewaktu hamil memperoleh obat androgen atau progesteron.

Pada kasus Siti Hafizhah, dari hasil pemeriksaan, dia adalah seorang khuntsa ghairu musykil. Dimana penyebab DSD adalah kelainan genetik yang disebut dengan hiperplasia adrenal kongenital. Pasien-pasien jenis ini seringkali secara fisik laki-laki, namun alat kelamin dalam dan kromosomnya menunjukkan kalau dia perempuan.

Sayangnya, pasien-pasien ini di lingkungan sering disalahpersepsikan sebagai banci. Sebagian bahkan kebingungan dengan identitas seksnya. Lebih menyakitkan, seringkali, keluarga dan lingkungannya tidak bisa begitu saja menerima kehadirannya.

Islam mengakui keberadaan khuntsa ini. Bahkan para ulama sejak dahulu telah menaruh perhatian khusus dengan meletakkan pembahasannya secara khusus dalam kitab-kitab fikih. Syariat Islam mengatur tentang kedudukan khuntsa, bahkan dibahas bagaimana posisi dia dalam jamaah shalat dll. Meski begitu, syariat menegaskan kelompok khuntsa harus segera diputuskan apakah ia akan menjadi laki-laki atau perempuan, berdasarkan kecenderungannya, bukan berdasarkan kemauannya. Dalam Isla, identitas seks sangat penting karena akan sangat berkaitan dengan hampir semua masalah fiqih, mulai dari pakaian, tata cara ibadah, keluarga, sampai urusan negara.

Pembahasan tentang khuntsa ini berbeda dengan pembahasan kaum sekuler serba bebas yang membebaskan sedemikian rupa seseorang berpindah gender, atau berada dalam kondisi biseksual sekalipun. Hukum dasar liberal berbunyi “itu urusan masing-masing, jangan sok ngurusin urusan pribadi orang”.

Islam memandang khuntsa sebagai bagian dari kekuasaan Allah terhadap penciptaanNya. Dan Islam tetap mengarahkan khuntsa agar tetap di jalur fitrahnya. Pilihannya, tetap ‘dzakar’ atau ‘untsa’. Hingga sebagaimana lazimnya hamba-hamba Allah yang lain, dia akhirnya tetap sebagai mukallaf yang dituntut taat pada syariat-Nya. Maka, dengan begitu, Siti Hafizhah dan rekan-rekannya sesama khuntsa tetap memiliki kesempatan yang sama sebagai calon penghuni surga. Wallahu’alam.

LEAVE A REPLY