Oleh: dr. Fauzan Muttaqien, Sp.JP
Lima buah kelereng digantungkan masing-masing dengan seutas benang pada bilah bambu dengan jarak beberapa senti. Panjang benang kelereng A sama dengan panjang benang kelereng D. kelimanya awalnya dibiarkan diam. Lalu kelerang A dibuat berayun. Menarik, beberapa saat kemudian kelereng D ikut berayun. Sementara kelereng yang lain tetap diam.
Itu praktikum yang diperagakan oleh ibu wali kelas waktu saya duduk di bangku SD. “Anak-anak, ini dinamakan peristiwa resonansi” jelas beliau
Beranjak SMA kami diajak mempelajari tentang gelombang radio. “Pernahkah kalian bertanya bagaimana bisa kalian mendengarkan siaran radio di suatu tempat, sementara sang penyiar menyiarkannya nun jauh bermil-mil di sana. Padahal tidak ada kabel yang menghubungkan mereka?” Tanya guru fisika. “Ini karena stasiun radio mengubah suara yang dihasilkan menjadi gelombang radio yang berada di frekuensi tertentu. Sementara pesawat radio yang kalian miliki dilengkapi dengan antena untuk menangkap frekuensi tersebut. Radio kemudian memiliki tune yang terdiri dari bangunan sirkuit yang bisa dirubah-rubah menyesuaikan dengan frekuensi mana yang diinginkan.” Lanjut beliau. “Ini juga merupakan fenomena resonansi”
“Kenapa suara bisa terjadi?” beranjak mahasiswa saya kemudian dikenalkan bahwa di tubuh manusia juga terjadi fenomena yang sama.
Pada pita suara manusia terdapat udara. Ketika berbicara maka pita suara jadi bergetar dan udara tersebut jadi ikut bergetar. Oleh karena selaput suara dengan udara bergetar seimbang, maka suara manusia terdengar jelas dan nyaring.
Ini juga adalah resonansi.
Lebih jauh ke tingkat sel dan molekuler. Diketahui tubuh manusia terdiri dari atom-atom. Di dalam intinya terdapat proton yang memiliki sifat elektromagnetik. Masing-masing organ akan memancarkan sinyal elektromagnetik dengan frekuensi yang berbeda-beda. Mirip seperti radio, pancarannya pun bisa diterima oleh yang lain. Di bidang fisika kedokteran, aplikasi ini dimanfaatkan salah satunya untuk pencitraan detil anggota tubuh melalui Magnetic Ressonance Imaging atau MRI. Dasar fisikanya, sekali lagi adalah: resonansi
212. ketika 13 juta orang berkumpul dari berbagai penjuru Indonesia. Banyak yang mempertanyakan, “kok bisa-bisanya mereka berkumpul sebanyak itu. Nyari apa sebenarnya? Padahal susunan acara juga tidak istimewa, panggungnya sederhana, iklan dan liputan media hampir tidak ada”
Penjelasan saya sederhana. Mereka layaknya bandulan yang memiliki frekuensi yang sama. Ada sebuah getaran yang membuat bandul-bandul itu bergerak menuju arah yang sama. Mereka, sedang beresonansi!
Frekuensi itu bersumber dari sebuah fitrah ilahiyah. Sebuah perasaan yang sangat dalam. Frekuensi ukhuwah, frekuensi iman, frekuensi bela tauhid. Dan logika kalian, wahai para nyinyiers tak akan pernah mencapainya, karena kalian memang berada pada frekuensi yang berbeda. Layaknya bandul yang tetap diam tepekur sementara bandul-bandul sebelah sebelahnya berayun kencang. Mereka diam, tak beresonansi.
***
Maka, ketika ada yang bertanya, lalu setelah ini apa?
Tugas dakwah kita, jelas saya, layaknya tuning radio. Yang kita lakukan adalah menyetel umat ini agar kembali ke frekuensi alaminya. Persis seperti kalimat indah Allah dalam AliImran 103, “Wa’tashimuu bihablillahi jami’an… berpegang teguhlah kamu semua pada tali Allah” menjadikan semua berada pada frekuensi ilahiah, layaknya kelereng-kelereng yang berpegangan pada utas benang-benang berukuran sama. Ketika saatnya mereka digetarkan, maka semua akan bergetar dengan irama yang sama.
Bermula dari sebuah seruan. Seruan itu akan menggetarkan dan menggerakkan seluruh umat. Dan engkau akan menyaksikan mereka berbondong-bondong bergerak bangkit bersama menuju kejayaan.
Maka ketika engkau menyaksikan peristiwa tersebut janganlah terperangah. Namun bertasbihlah dan bertahmidlah.
Karena engkau sedang menyaksikan peristiwa: resonansi