Oleh: Ust. Shiddiq Al Jawi
Pertama-tama perlu dipahami bahwa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan zat najis dan haram. Termasuk dalam hal ini berobat dengan air kencing manusia, sebab ia adalah haram dan najis. Mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan zat najis dan haram, ada ulama yang mengharamkannya, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani. Pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami, adalah yang memakruhkannya.
Terdapat dua kelompok hadits yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi). Rasulullah SAW bersabda pula,“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud).
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta (HR Muslim) (Lihat Imam Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis.
Dalam hadits lain dari Anas RA, Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits ini membolehkan berobat dengan benda yang haram (dimanfaatkan), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) kedua kelompok hadits di atas. Menurut Syaikh An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh Syaikh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Jadi, berobat dengan air kencing manusia adalah makruh, tidak haram. Wallahu a’lam []