Oleh: dr. T. Reni Yurista*
Seperti yang dilansir Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, hingga September 2015, penderita HIV/AIDS terbanyak di kalangan perempuan adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 9.096 ibu rumah tangga adalah penyandang HIV/AIDS. Urutan di bawahnya ditempati kelompok wiraswasta dengan jumlah 8.287 jiwa. Sementara penjaja seks, profesi yang berisiko tinggi tertular HIV, justru ada di urutan keenam, yakni 2.052 jiwa.
Fakta ini menunjukkan tren penularan HIV/AIDS telah memasuki gelombang keempat. Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Inang Winarso mengatakan tren penularan HIV/AIDS akan terjadi dalam lima gelombang. Gelombang pertama terjadi pada 1987-1997, ditandai tren penularan melalui hubungan seks sejenis pada pria. Pada 1997-2007 gelombang kedua berlangsung, yakni tren penularan lewat jarum suntik oleh pengguna narkoba. Tahun 2007 hingga 2011 adalah gelombang ketiga, ditandai tren penularan lewat hubungan heteroseksual berisiko tinggi tertular HIV, terutama lewat transaksi dengan pekerja seks. Mulai 2011, gelombang keempat mulai tampak, yakni tertularnya kelompok dengan perilaku berisiko rendah, termasuk ibu rumah tangga. Jika tidak ditangani dengan baik, maka tren penularan akan masuk ke gelombang lima, yakni penularan HIV dari ibu ke bayi.
Mengapa Ibu Rumah Tangga?
Kaum liberal menyatakan kerentanan ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS disebabkan oleh ketimpangan gender di mana laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah sementara perempuan ‘dipaksa’ bersikap pasif dan hanya bisa berada di dalam rumah. Sementara itu, perilaku seksual suami seperti membeli jasa pekerja seks komersial dan memakai narkoba suntik seringkali tidak dapat dibendung oleh para istri. Ibu rumah tangga, dalam posisinya yang lemah, tidak berdaya meminta suaminya memakai kondom saat berhubungan seks sehingga tertular virus mematikan ini karena berhubungan seksual dengan suami tanpa alat pelindung. Di sisi lain, perempuan pekerja seks justru lebih menyadari bahaya tertular virus HIV sehingga mereka cenderung lebih memiliki posisi tawar yang tinggi untuk memaksa pelanggannya memakai kondom.
Kesalahan Paradigma
Selama ini paradigma yang dipakai dalam mengatasi HIV/AIDS adalah bahwa negara tidak berhak mengontrol perilaku seks rakyatnya. Seks bebas seakan-akan sudah merupakan tuntutan zaman sehinggga tidak mungkin dapat melarang masyarakat membeli seks, baik itu seks beda jenis maupun seks sejenis. Ringkasnya, ‘Jangan capek-capek melarang transaksi seksual, mintalah pakai kondom jika tidak ingin tertular.’
Paradigma ini terus dipakai dalam setiap inovasi penanggulangan HIV/AIDS yang digagas pemerintah dan WHO. Walhasil, program penanggulangan HIV/AIDS hanya gencar pada topik penggunaan kondom dan konseling pada pelaku seks resiko tinggi. Cara seperti ini justru tidak berhasil memutus rantai penularan penyakit.
Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu perilaku bergonta-ganti pasangan seks, perzinaan, seks bebas (free sex dan free love), dan penggunaan narkoba suntik. Para istri tidak akan bersentuhan dengan virus HIV apabila suami mereka tidak bersentuhan dengan sumber penyakit. Oleh karena itu, seharusnya yang diutak-atik adalah perilaku menyimpang para suami.
Solusi Islam
Perzinaan adalah faktor resiko utama penularan HIV/AIDS. Maka, pintu ini harus ditutup rapat-rapat. Karena itu, dengan tegas Islam mengharamkan perzinaan dan seks bebas. Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu merupakan perbuatan yang keji, dan cara yang buruk (untuk memenuhi naluri seks).” (QS al-Isra’ [17]: 32)
Bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju perzinaan pun diharamkan. Islam, misalnya, mengharamkan pria dan wanita berkhalwat (menyendiri/berduaan). Sebagaimana sabda Nabi saw, “Hendaknya salah seorang di antara kalian tidak berdua-duaan dengan seorang wanita, tanpa disertai mahram, karena pihak yang ketiga adalah setan.” (HR Ahmad dan an-Nasa’i). Islam juga memerintahkan baik pria maupun wanita, sama-sama untuk menundukkan pandangan kepada lawan jenis dan menjaga kemaluan mereka (QS an-Nur [24]: 30-31).
Ini dari aspek pelakunya. Dari aspek obyek seksualnya, Islam pun tegas melarang produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa yang bisa merusak masyarakat, seperti pornografi dan pornoaksi. Karena semuanya ini bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan, “Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram.”
Jika seluruh hukum dan ketentuan di atas diterapkan, maka praktis pintu zina telah tertutup rapat. Dengan begitu, orang yang melakukan zina, bisa dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka terhadap orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang telah menikah (muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati. Ketika Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyyah melakukan zina, maka keduanya di-rajam oleh Nabi SAW hingga mati.
Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali. Dengan tegas Allah menyatakan, “Pezina perempuan dan laki-laki, cambuklah masing-masing di antara mereka dengan 100 kali cambukan.” (QS an-Nur [24]: 02)
Punishment bukan hanya diberikan kepada pelaku zina, dengan rajam bagi yang muhshan, atau dicambul 100 kali bagi ghair muhshan, tetapi semua bentuk pelanggaran yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Dalam hal ini, Islam menetapkan sanksi dalam bentuk ta’zir, yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada hakim. Dengan cara seperti itu, maka seluruh pintu perzinaan benar-benar telah ditutup rapat-rapat oleh Islam.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku zina? Seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang tertular, misalnya, melalui jarum suntik, dan sebagainya?
Karena itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat, maka negara wajib menyediakan layanan kesehatan nomor satu bagi penderita penyakit ini. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan pengobatan. Khilafah juga akan melakukan riset dengan serius untuk menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV-AIDS ini.
Karena ini merupakan jenis virus yang berbahaya dan mematikan, maka para penderitanya bisa dikarantina. Ini didasarkan pada hadits Nabi, “Larilah kamu dari orang yang terkena lepra, sebagaimana kamu melarikan diri dari (kejaran) singa.” (HR Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405). Nabi memerintahkan kita lari dari penderita lepra, karena lepra merupakan penyakit menular.
Dalam karantina itu, mereka tidak hanya dirawat secara medis, tetapi juga non medis, khususnya dalam aspek psikologis. Penderita AIDS tentu akan mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, selain beban penyakit yang dideritanya, juga pandangan masyarakat terhadapnya. Dalam hal ini, ditanamkan kepada mereka sikap ridha (menerima) kepada qadha’, sabar dan tawakal. Dengan terus-menerus meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka agar lebih terpacu melakukan amal untuk menyongsong kehidupan berikutnya yang lebih baik.
Dengan cara seperti itu, Islam telah berhasil mengatasi masalah AIDS ini hingga ke akar-akarnya. Semuanya itu tentu hanya bisa diwujudkan, jika ada Negara Khilafah yang bukan saja secara ekonomi mampu menjamin seluruh biaya kesehatan rakyatnya, tetapi secara i’tiqadi juga mampu mengatasi akar masalah ini dengan pondasi akidah Islam.
*Penulis adalah pemerhati kesehatan wanita, pendamping Komunitas Ibu Produktif Salabenda, Bogor.