Revolusi Industri 4.0 dan Kesehatan Mental Anak

Share

Royal, 26/1/2020. SDIT Insantama Jember mengadakan pagelaran rutin, penerimaan siswa baru tahun ajaran 2019/2020 dengan serangkaian kegiatan seminar pendidikan ala Rasulullah SAW, mencetak generasi melenial dambakan anak yang sholeh.

Sebagai pembicara, yakni doktoral yang ahli pada bidang pendidikan antara lain ustadz Faqih Syarif, dosen UIN Surabaya dan ustadz Kun Wazis, dosen IAIN Jember.

Istilah revolusi industri 4.0. Kali pertamanya diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Seorang ekonom terkenal asal Jerman di dalam bukunya: The Fourth Industrial Revolution. Mengungkapkan bahwasannya di beberapa negara memiliki roadmap digitalisasi industri. Seperti halnya, China dengan Made in China 2025, Asia dengan Smart Cities, juga di Kementerian Perindustrian mengenalkan Making Indonesia 4.0, yang pada bulan April 2018 dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Di era disrupsi kemajuan teknologi digitalisasi, dengan big data, artificial intelligence (AI) dan genomik, telah membawa semangat serta arus perubahan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan. Konsep inovasi disrupsi sebagai sebuah langkah terobosan yang akan memimpin perubahan dalam masyarakat serta mempengaruhi pasar secara dominan, sangat terfasilitasi dan terakselerasi oleh revolusi industri 4.0.

Terungkap melalui riset SuperAwesome, juni 2016 di Inggris, bahwasanya 87 persen anak-anak di kawasan Asia Tenggara menggunakan smartphone atau tablet. Orang tua banyak membiarkan anak-anaknya bermain gadget. Riset ini dilakukan pada anak berusia 6-14 tahun di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Anak-anak yang sudah terpapar dengan smartphone, banyak melupakan keseharian dan permainan dengan sesamanya.

Pada Februari 2018, dua peneliti dari Universitas Montreal Kanada dan Universitas McGill Kanada menegaskan bahwa kebiasaan bermain game bisa merusak otak seorang anak. Dalam penelitian itu, mereka menemukan keterkaitan antara game dan reduksi materi abu-abu dalam hippocampus.

Materi abu-abu adalah gen yang terkait kecerdasan, sedangkan hippocampus adalah bagian otak yang mengkonsolidasi ingatan pendek ke ingatan jangka panjang serta kemampuan navigasi spasial. Dua peneliti itu adalah Gregory dan Veronique Bohbot.

Bagi kedua peneliti ini, bermain game secara esensial menurunkan kemampuan mengingat, bahkan mempengaruhi perilaku. Semakin lama durasi bermain game akan semakin memperparah kerusakan otak. Pada usia muda, mereka akan memiliki kecenderungan depresi.

Dari berbagai pertimbangan yang ada, tidak salah kemudian kalau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 ini menetapkan kecanduan bermain game sebagai salah satu gangguan penyakit mental.

Karena itu kedua narasumber pada seminar pendidikan meminta orang tua untuk membentuk kepribadian anak melalui pembentukan pola pikir dan pola sikapnya yang selaras dengan Islam sehingga terbentuk syakhsiyah islamiyah-nya.

Ayolah kita mulai berkomunikasi ilahi bersama buah hati Anda, generasi kita pasti berubah, namun tetapkan tujuan hidup mereka, agar tetap beribadah untuk membentuknya menjadi anak sholeh dan sholehah. InshaaAllah [].

Dwi Kirana LS
Pemerhati Pendidikan Ekonomi Kesehatan atas Masyarakat (PEKaMas) tinggal di Jember

Read more

Local News