Hukum Mengambil Upah Bekam

Share

Oleh: Ust. Shiddiq Al Jawi

Ada khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukum mengambil upah bekam bagi pembekam. Menurut Syaikh Muhammad Mukhtar Syinqithi, dalam kitabnya Ahkam Al Jirahah Al Thibbiyah, hlm. 601-603, terdapat tiga versi pendapat sebagai berikut; Pertama, hukumnya boleh jika pembekamnya budak. Jika pembekamnya orang merdeka (bukan budak), hukumnya makruh. Ini pendapat ulama mazhab Hambali. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/80).

Dalil pendapat ini antara lain hadits Ibnu Abbas RA, dia berkata, ”Nabi SAW telah berbekam dan beliau pun memberikan kepada pembekam upahnya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bolehnya mengambil upah bekam.

Namun, menurut mereka, ini jika pembekamnya budak. Jika pembekamnya orang merdeka, hukumnya makruh. Dalilnya hadits Muhayyishah bin Mas’ud RA, bahwa dia minta izin kepada Nabi SAW untuk melakukan ijarah untuk mengambil upah bekam tapi Nabi SAW melarangnya. Dia terus memohon dan minta izin kepada Nabi SAW hingga beliau bersabda, ”Berilah makan [dengan upah itu] untamu yang kamu gunakan mencari air, atau berilah makan [dengan upah itu] budakmu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Menurut mereka, perintah Nabi memberi makan budak dengan upah bekam, menunjukkan bolehnya budak memakan upah bekam. Dari perintah Nabi ini dapat ditarik kebalikan dari perintah, yaitu larangan (makruh) bagi orang merdeka untuk makan upah bekam. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/122).

Kedua, hukumnya boleh. Ini pendapat ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Dalilnya sama dengan dalil pendapat pertama, hanya saja mereka tidak mengkhususkan kebolehannya untuk budak. Jadi mengambil upah bekam hukumnya boleh, baik bagi budak maupun orang merdeka.

Ketiga, hukumnya haram dan tidak sah. Ini pendapat ulama mazhab Zhahiri, seperti Imam Ibnu Hazm. Dalil keharamannya, menurut mereka, antara lain hadits Rafi’ bin Khudaij RA, dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi SAW bersabda, ’Penghasilan pembekam itu buruk (khabits), uang jasa pelacur (mahar baghiy) itu buruk, dan harga anjing (tsaman al kalb) itu buruk.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi). Menurut pendapat ini, hadits tersebut menunjukkan haramnya mengambil upah bekam. Sebab larangan itu asalnya menunjukkan hukum haram. Kata “buruk” (khabits) dalam hadits juga menunjukkan keharaman.

Menurut kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang memakruhkan mengambil upah bekam, baik pembekamnya orang merdeka maupun budak. Inilah pendapat sebagian ulama, seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin An Nabhani. (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar Ibn Hazm, hlm. 1125; Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 99).

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, hadits bahwa “penghasilan pembekam itu buruk (khabits)” tidak menunjukkan keharaman melainkan kemakruhan. Karena ada dalil bahwa Nabi SAW menamakan bawang putih (tsaum) dan bawang merah (bashal) sebagai sesuatu yang buruk (khabits), padahal kedua benda itu hukumnya boleh. (HR Muslim, dari Ma’dan bin Abi Thalhah). Sejalan dengan ini, Imam Syaukani menyatakan penghasilan pembekam itu makruh, karena dalil yang melarang dapat dikompromikan dengan dalil yang membolehkan, seperti tindakan Nabi SAW memberikan upah bekam kepada pembekamnya. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1126).

Walhasil, mengambil upah bekam hukumnya makruh, bukan haram.  Inilah pendapat yang  rajih karena telah mengompromikan dalil yang membolehkan dengan dalil yang melarang. Kaidah ushul fiqih menyebutkan : i’mal al dalilain aulaa min ihmaliha bil kulliyah. (Mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya secara menyeluruh). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/240). Wallahu a’lam.[]

Read more

Local News