Oleh: Ratih Paradini, S.Ked
(Dokter Muda Makassar, Founder Komunitas Lingkar Insan Kesehatan (KLINIK) Mahasiswi Islam)
Pasien wanita berteriak teriak di UGD di RSKD Makassar, ia memberontak bahkan sempat meludahi suaminya sendiri.
Saat alloanamnesis si suami yang terlihat lemas bercerita tentang kondisi istrinya yang selalu ingin menyerang dirinya.Istrinyapun tak tidur pada malam hari dan sering berbicara sendiri, kondisinya semakin hari semakin memburuk apalagi sekarang si istri mencoba untuk menyerang suami dan menyakiti tetangganya sendiri. Saat pasien dianamnesis ia mengatakan bahwa suaminya hendak membunuhnya, ia mengaku mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk membunuh suaminya.
Padahal si suami yang sudah disakiti dan diludahi terlihat sibuk mengurusi keperluan pasien mulai dari jaminan kesehatan hingga keperluan harian yg dibutuhkan. Begitulah konsidi pasien yang didiagnosis skizofrenia paranoid. Memang kondisi pasien gangguan jiwa tak bisa diraba rasakan, bagi pasien jiwa mereka tak bisa mengeluhkan sakit pada tubuhnya dan seperti pasien tadi ia bahkan tak bisa merasakan cinta yang diberi untuknya.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mencakup gangguan pikiran, perasaan, perbuatan, persepsi, keinginan, dorongan kehendak dan pengendalian. Skizofrenia sendiri berasal dari kata “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah (split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa.
Salah satu jenis dari skizofrenia paling sering adalah skizofrenia paranoid. Hal yang paling menonjol dari skizofrenia jenis ini adalah halusinasi dan waham. waham atau delusi adalah keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan. Salah satu waham yang khas adalah waham kejaran seperti pasien tersebut berkeyakinan suaminya akan membunuhnya.
Kata Paranoid bahasa Yunani Kuno paranoia artinya gangguan mental seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya
Bagaimana kiranya jika yang mengidap paranoid adalah penguasa?. Maka kritikan tak dianggap sebagai upaya perbaikan tapi dianggap gerakan makar,maka rakyat Aksi tak dipandang sebagai bagian evaluasi tetapi upaya untuk menggoyang konstitusi. Meskipun yang diserukan adalah dakwah islam yang penuh rahmat. Aksi bela Islam misalkan beberapa kali disinyalir oleh penguasa sebagai tindakan makar bahkan Jakarta saat itu telah di siagakan.
Islamophobia
Polres Dharmasraya Sumatera Barat diserang pada pagi buta pada Minggu, 12 November 2017, sekira pukul 03.00 WIB. Pembawa acara berita TVOne bertanya kepada Kapolres Dahrmasraya, Sumatera Barat, AKBP Roedy Yoelianto, tentang apa indikasi bahwa pelaku pembakaran Mapolres Dahrmasraya adalah teroris. Kapolres, dalam wawancara “live” (siaran langsung) mengatakan bahwa, ketika polisi melumpuhkan mereka, kedua pelaku yang ditembak mati itu meneriakkan “takbir” (Allahu Akbar). Kapolres mengatakan, “Bahwa dalam proses kami melumpuhkan kedua pelaku tersebut, pelaku meneriakkan takbir, kemudian menyatakan bahwa ‘saya yang membakar’ kemudian menyatakan bertanggungjawab terhadap pembakaran, mengatakan ‘thoghut’. Kemudian setelah kami lumpuhkan, di badan tersangka kami temukan selembar surat…” ( portal-islam.id 14 November 2017)
Menjadikan kalimat takbir sebagai indikasi terorisme merupakan tindakan yang mengindetitifkasikan gejala paranoid dan islamophobia. Apakah hanya dengan mengucapkan takbir lantas bisa tertuduh terorisme? Sedangkan penyanderaan 1.300 warga oleh OPM tidak dikatakan terorisme karena tak diiringi kalimat takbir?.
Kesimpulan gegabah tak harusnya dilontarkan, hal tersebut justru menjadi framing yang buruk baik bagi umat islam maupun aparat, sebab akan timbul kecurigaan orang-orang non muslim terhadap muslim yang bertakbir padahal ucapan Allahuakbar adalah kalimat lumrah dalam berbagai ibadah kaum muslimin, bukankah hal ini akan merongrong kedamaian dan persatuan?, pun terhadap para aparat akan terstigma citra permusuhannya terhadap ummat Islam karena overgeneralised dalam menghukumi simbol Islam.
Eks wartawan senior BBC Asyari Usman mengungakapkan, meskipun hasil penyelidikan dan penyidikan Polisi menyimpulkan bahwa pelaku pembakaran Mapolres adalah teroris atau terkait dengan jaringan teroris, tetap saja menjadikan “takbir” sebagai indikasi standar untuk memastikan seorang pelaku itu teroris atau bukan, sangat mencemaskan. Bagaimana kalau di satu peristiwa kekerasan yang diyakini sebagai tindak terorisme tetapi pelakunya tidak meneriakkan takbir, atau pelakunya bukan seorang muslim? Apakah kemudian polisi tidak menempuh penyelidikan terorisme?. Kita ingin bertanya lagi kepada Polisi, apakah mereka selama ini mendefinisikan bahwa “teroris” pasti orang Islam? Apakah “takbir” dijadikan sebagai kata yang “default” (otomatis) untuk menandai terorisme?. ( portal-islam.id 14 November 2017)
Kita tentu tidak berharap persepsi aparat demikian adanya, justru kritik seprti itu ada dalam rangka perbaikan bagi semua kalangan, termasuk orang-orang yang melakukan teror atas nama agama apapun agamanya. Justru disinilah bimbingan para ulama sangat diperlukan agar ummat tak salah interpretasi dan menghalalkan kekerasan sebagia bagian jalan perjuangan.
Namun yang disayangkan gejala paranoid ditampakkan dengan maraknya persekusi ulama. Pengajian ulama dibubarkan secara paksa dengan dalih menjaga ketentraman dan keamanan justru dengan cara-cara yang meresahkan masyarakat. Begitulah paranoid jika sudah melanda, kalam-kalam ilahiah yang diserukan, dakwah terhadap penegakan hukum Allah digalakkan lagi-lagi dianggap sebagai suatu ancaman bagi bangsa. Padahal disatu sisi bangsa ini tengah terancam oleh neoimperialiseme Asing dan Aseng, bukankah justru negeri ini bisa merdeka sebab spirit Islam.
Tapi jika paranoid sudah menjangkiti kalimat cinta akan terdengar menyakiti hati.
Bukan maksud mendiagnosis dini, karena secara klinis penegakan diagnosis Skizofrenia Paranoid harus merujuk pada PPDGJ III atau DSM V. Hanya sedikit komparasi barangkali bisa jadi alanogi untuk introspeksi diri. Jika telah terjangkiti maka kezaliman akan menjadi-jadi, diawali oleh haluasinasi maupun delusi terhadap rakyat sendiri. kalau sudah begitu bukan hanya rakyat yang menderita tetapi penguasa ataupun aparat juga menderita akibat tak bisa merasakan cinta yang dirasa hanya curiga.