REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan rencananya akan disahkan sidang paripurna DPR RI di Jakarta, Senin (11/12). Rencana ini pun mendapat penolakan dari perhimpunan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Bendahara Umum BSMI Dr Prita Kusumaningsih berharap, agar DPR menunda pengesahan tersebut. “RUU ini bertentangan dengan rasa keadilan bagi lembaga kemanusiaan,”ujar dia saat berbincang dengan Republika.coid, Senin (11/12).
Menurut dia, RUU tersebut memiliki semangat mono poli penggunaan lambang palang merah untuk aktivitas kemanusiaan. Pada Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Kepalangmerahan, memang tertera pada pasal 6 bahwa negara Indonesia menggunakan lambang palang merah sebagai lambang Kepalangmerahan. Tanda palang merah disebut berfungsi sebagai tanda pengenal dan tanda pelindung.
Pasal lain menjelaskan, lambang palang merah yang dimaksud ada lah gambar palang dengan keten tuan panjang palang horizontal dan panjang palang vertikal berukuran sama berwarna merah di atas dasar putih dan atau kata-kata palang merah. Palang Merah Indonesia (PMI) pun disebut sebagai organisasi yang menyelenggarakan aktivitas kepalangmerahan. Dalam rancangan beleid ini, kepalangmerahan disebut sebagai aktivitas kemanusiaan.
“PMI dan TNI disebut sebagai organisasi yang menyelenggarakan aktivitas kepalangmerahan dalam masa damai dan perang. Contohnya, penanggulangan bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan,” ujarnya.
Aktivitas lainnya dalam masa perang, yakni mengatasi pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, hingga melindungi korban perang. Meski mengakui lambang bulan sabit merah sebagai satu dari dua lambang kepalang merahan, RUU ini tidak mengatur tentang organisasi pengguna lambang bulan sabit merah.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menjelaskan, bahwa sebaiknya judul RUU itu diganti dengan lebih “soft” sehingga mengakomodir kegiatan kemanusiaan oleh kelompok masyarakat di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Dia memisalkan, rancangan beleid itu bisa menjadi RUU Sosial dan Kemanusiaan yang tentunya dapat mengakomodasi lembaga-lembaga kemanusiaan yang lain selain Palang Merah Indonesia (PMI)
Menurut dia, RUU Kepalangmerahan dilihat dari judulnya saja tidak memiliki netralitas dan monopoli lambang kemanusiaan tertentu. Seharusnya, ada pasal di dalam RUU bahwa pemerintah memfasilitasi kegiatan kemanusiaan oleh seseorang atau kelompok masyarakat yang memakai lambang kemanusiaan sesuai dengan keyakinan agamanya.
Ketua umum BSMI Muhamad Djazuli Ambari SKM MSi mengatakan, penolakan RUU Kepalangmerahan adalah bersumber dari aspirasi masyarakat bawah dari Sumatera hingga Papua. Selama 15 tahun terjun membantu kegiatan kemanusiaan, mereka telah menggunakan lambang bulan sabit merah.
“Apakah nantinya peran BSMI dan lembaga kemanusiaan lain yang menggunakan lambang bulan sabit merah akan dihilangkan setelah RUU ini menjadi UU karena lambang bulan sabit merah dan gerakan kebulansabitmerahan dilarang?” ucapnya.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memperbolehkan kepada perorangan atau kelompok masyarakat menggunakan lambang palang merah, bulan sabit merah atau lambang lannya berkiprah di dalam negeri. Tetapi pemerintah dapat menunjuk PMI sebagai wakili resmi Indonesia di IFRC saat kegiatan kemanusiaan di luar negeri. Namun, untuk disahkan menjadi UU, sebaiknya RUU Kepalangmerahan ini terlebih dulu uji publik agar mendapat aspirasi dari ke segenap lapisan masyarakat Indonesia.