Oleh: dr. Nurul Muzayyanah (Anggota HELP-Sharia)
Profil kesehatan ibu di negeri tercinta
Ibu adalah anggota keluarga yang berperan penting mewujudkan keseimbangan urusan rumah tangga bagi anggota keluarga lainnya. Baik persoalan penyediaan kebutuhan jasmani, kesehatan, pendidikan pertama, dan kasih sayang. Kondisi kesehatan fisik dan mental ibu berpengaruh terhadap keberhasilannya menjalankan fitrahnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Peran tersebut akan optimal jika dibangun di atas kualitas iman dan pendidikan yang baik. Indikator pengukur status kesehatan perempuan diantaranya terlihat pada usia harapan hidup (age specific rate) dan tingkat kesuburannya. Usia harapan hidup adalah lama manusia hidup di dunia, sedang tingkat kesuburan dipengaruhi oleh fungsi hormonal, fungsi organ reproduksi terutama indung telur (ovarium), dan sistem metabolisme tubuh. Jika diamati negara-negara yang tingkat kesehatannya lebih baik maka setiap individunya memiliki rata-rata usia harapan hidup lebih lama.
Di Indonesia, tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) menunjukkan tingkat kesehatan ibu masih jauh panggang dari api. Kematian ibu menurut definisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cidera. Berdasar Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Target global Millenium Development Goals (MDGs) ke 5, ditargetkan tahun 2015 bisa turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Di Indonesia diterapkan sistem informasi manajemen Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dengan penerapan pemantauan wilayah setempat (PWS) KIA. Program ini diharapkan dapat memantau program kesehatan ibu yang meliputi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan melalui indikator akses pelayanan antenatal (K1), cakupan pelayanan ibu hamil (K4), cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN), dan cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3). Meskipun telah dilakukan upaya kerja keras dan sungguh-sungguh, namun tetap menuai kegagalan. AKI tahun 2015 mencapai 350 per 100.000 kelahiran hidup. Cukup mencengangkan.
Berdasar data Direktorat Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan RI, penyebab terbesar kematian ibu selama tahun 2010-2013 adalah perdarahan. Kemudian menyusul hipertensi, infeksi, partus lama, abortus, dan lain-lain. Jika kita amati, selain partus lama, penyebab kematian ibu lebih karena buruknya kondisi kesehatan dan ketahanan tubuh ibu selama kehamilan. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan, dukungan keluarga serta masyarakat berpengaruh penting dalam penjagaan kesehatan selama kehamilan. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 status gizi wanita usia subur (WUS) usia 15-45 tahun berdasar indikator Lingkar Lengan Atas (LILA) prevalensi kekurangan energi kronis (KEK) lebih tinggi pada tingkat pendidikan rendah, daerah terpencil, serta tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah.
Banyak faktor lain yang terlibat. Akses tempat pelayanan kesehatan selama kehamilan ( Ante Natal Care), saat dan setelah kelahiran masih sulit. Penyiapan sumber daya tenaga kesehatan yang cukup, profesional, dan berdaya juang tinggi masih perlu ditingkatkan. Dalam ringkasan kajian UNCEF Indonesia, studi tahun 2002 menunjukkan bahwa buruknya kualitas pelayanan merupakan faktor penyebab 60% dari 130 kematian yang dikaji. Ratio fasilitas-penduduk untuk Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehenshif (PONEK) di Indonesia masih 0,84 per 500.000 masih di bawah ratio 1 per 500.000 yang rekomendasi UNICEF, WHO dan UNFPA tahun 1997. Meski cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, terutama tahun 2013 mencapai 90,88%, namun hal tersebut belum mampu mendukung pemenuhan target keberhasilan yang diharapkan. Artinya, semuanya tergantung pada peran strategis pemerintah menjamin kesejahteraan individu rakyat dan penyiapan pelayanan kesehatan yang optimal.
Pernyataan ketua yayasan Damandiri Haryono Suyono, dalam Suara Karya 12 Oktober 2015 berjudul “Kegagalan MDGs, jangan terulang di Sustainability Development Goals (SDGs)” Indonesia hanya berhasil memenuhi setengah target MDGs dan gagal mewujudkan penurunan AKI. Pangkal kegagalan target terletak pada kemiskinan yang belum teratasi. Kemiskinan yang mestinya turun, tidak bergerak di angka 11-12%. Kemiskinan di Indonesia menurut ukuran internasional masih 40% meski BPS mencatat 12%. Selain itu, pemangkasan anggaran kesehatan yang semestinya sekitar 5% dari dana APBN hanya terealisir 2-3%. Dana ini sangat kecil untuk sebuah misi penyelamatan nyawa para ibu yang berjuang mewujudkan penerus generasi manusia. Ada harapan bagi sebagian ahli, SDGs akan menjawab kegagalan MDGs. Dengan menetapkan pengentasan kemiskinan pada goal pertama kemudian disangga dengan syarat lain diantaranya kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih, dan kesetaraan gender. Selain itu, juga pekerjaan, inovasi dan tanggung jawab serta pola konsumsi akan berjuang mengentaskan kemiskinan pada titik nol di tahun 2030.
Mungkinkah mampu diwujudkan? Kalau kita amati, meskipun persentase penduduk miskin menurut BPS per maret 2016 turun menjadi 10,86%, namun persentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik menjadi 14,11%. Di pertengahan 2016 tercatat di Probolinggo Jawa Timur Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 10 kasus, sedang di Indramayu mencapai 43 kasus AKI. Hal ini mendekati jumlah kasus AKI sepanjang tahun 2015 yaitu sebanyak 57 kasus. Perlu merenung lagi langkah mana yang mesti diluruskan.
Negara Islam serius mewujudkan kesehatan ibu
Setidaknya ada dua tinjauan, yaitu aspek praktis dan idiologis yang terjadi sepanjang sejarah kegemilangan peradaban Islam.
a. Aspek praktis
Islam telah menempatkan kesehatan sebagai nikmat tertinggi setelah keimanan. Rasulullah bersabda, “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tidak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat”. (HR Hakim)
Keimanan merupakan fondasi pembangun dimensi kesehatan mental dan fisik. Proses pembentukan keimanan yang melibatkan akal disamping menuju pemenuhan kebutuhan naluri beragama, juga menghasilkan keimanan yang sempurna dan menutup semua keraguan (tashdhiq al-jazm). Keimanan yang sempurna akan memuaskan akal, menentramkan hati, dan sesuai fitrah manusia terhadap kebenaran Islam. Kondisi ini akan membentuk jiwa dan fisik yang ringan dalam menjalankan konsekuensi keimanannya. Rasa bergantungnya pada kekuatan Pencipta menjadi pengukur satu persatu aktivitasnya, apakah sesuai dengan syariat-Nya. Ketika kenyataan hidup tidak berkesuaian dengan rencana akan mendorongnya berintrospeksi adakah kelalaian yang dilakukan pada syariat Allah.
Kesadaran dan ketundukan ini akan memenuhi kesehatan mentalnya. Demikian juga pola pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Kesesuaiannya dengan tuntunan Islam, telah menggiring fisiknya terjaga dari banyak gangguan dan penyakit berbahaya. Keimanan menjadi mesin penggerak hati mewujudkan kebaikan niat dan mendorong fisiknya untuk beramal. Anjuran Islam untuk menjaga kesucian dari najis dan hadats menunjukkan obsesi Islam mewujudkan kesehatan individu dan masyarakat. Ketegasan Islam terhadap konsumsi makanan halalan thoyyiban dan larangan mengkonsumsi makanan haram menjadi parameter Islam mendukung terwujudnya kesehatan secara komprehenship. Pahala lebih bagi individu yang melakukan amal sunah seperti puasa sunah, sholat rawatib, menjaga adab dalam konsumsi makan-minum akan menyeimbangkan porsi aktivitas dan istirahat. Ajaran ini merupakan bentuk dukungan Islam untuk menjaga unsur-unsur penting penjaga tubuh tetap sehat secara fisik dan jiwa. Anjuran pernikahan untuk melanjutkan keturunan, proses mengandung dan melahirkan berpeluang mendatangkan pahala yang sebanding dengan berjihad bagi perempuan. Selain itu, pahala kebaikan pada setiap tetesan air susu ibu menjadi bukti Islam memuliakan fungsi reproduksinya. Kecermelangan peradaban Islam ini, hakekatnya menjadi promosi preventif dan gratis bagi program kesehatan yang terumus dalam syariat Islam.
Penyatuan aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) Islam yang berjalan seiring dengan keimanan akan membentuk kepribadian Islam pada insan kesehatan. Praktisi kesehatan tidak hanya mahir merawat dan mengobati, namun mereka juga menjadi figur muslim cerdas, multitalenta, dan berkepribadian Islam. Semua hal di atas merujuk pada ajaran yang dibawa Rasulullah saw.
Ajaran Rasulullah saw tersebut telah melahirkan beberapa generasi yang menojol. Aisyah ra adalah sosok muslimah yang tidak hanya menguasai ilmu Al Quran tetapi juga pengobatan medis. Rufaidah binti Sa’ad merupakan public helath nurse dan social worker yang menjadi inspirasi perawat di dunia Islam. Ummu Kultsum istri amirul mukminin Umar Bin Khattab ahli dalam kebidanan. Ilmuwan muslim yang mengabdikan hidupnya dalam bidang kesehatan seperti Ar Razi (864-930 M) piawai dalam ilmu kimia yang memadukan terapi dengan nutrisi seimbang dan tehnik meningkatkan kekebalan (imunitas) tubuh. Ibnu Nafis (1210-1288 M) menjadi direktur rumah sakit al-Nassiri karena kemampuannya dalam ilmu kedokteran terutama penemuannya terkait sirkulasi darah dan penguasaannya terhadap hukum Islam. Dokter ahli kandungan yang terkenal zaman keemasan Islam adalah Az-Zahrawi (936-1013 M), Abu Raihan Albairuni (973-1048 M), dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Mereka yang banyak terlibat memberikan pelatihan kepada bidan-bidan desa dua kali dalam sepekan. Peradaban Islam juga dihiasi dengan munculannya ulama ahli fiqh termasuk fiqh wanita dalam berbagai karya. Sebuah kedinamisan hidup yang ditopang insan-insan produktif. Fenomena ini tidak terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia selain dalam peradaban Islam.
b. Aspek Ideologis
Iklim individu dan masyarakat sehat terwujud melalui perumusan strategi yang tepat. Menurut Islam kesehatan adalah hak tubuh. Status kesehatan individu menjadi instrumen penting terealisasikannya sistem kehidupan Islam dan dakwah Islam di muka bumi. Negara sebagai pemangku penerapan nilai-nilai Islam akan sangat menjadi penentu. Perawatan bagi orang-orang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik melainkan didasarkan pada hak yang diberikan Allah SWT kepada mereka. Jaminan negara terhadap kesehatan individu dan masyarakat merupakan bentuk ketaatan penguasa terhadap syariat-Nya.
Negara juga bertanggung jawab mewujudkan kestabilan ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan rakyat. Politik ekonomi Islam meletakkan pengelolaan kekayaan berdasar tiga prinsip kepemilikan yaitu kepemilikan umum, kepemilikan negara, dan kepemilikan individu. Negara akan melakukan pemerataan distribusi kekayaan serta pengembangannya berdasar atas tiga kepemilikan tersebut. Kepemilikan umum akan dikelola secara sempurna untuk kemaslahatan rakyat termasuk pembiayaan kesehatan, penyiapan tenaga kesehatan profesional juga sarana prasarana untuk mewujudkan pelayanan terbaik. Baitul mal akan menyusun anggaran yang cukup untuk kesehatan masyarakat secara gratis dengan pelayanan terbaik berdasar kemampuan negara. Pemberlakuan pajak kekayaan akan diterapkan jika baitul mal kosong atau anggaran defisit.
Konsentrasi negara tidak hanya mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan, namun bagaimana kesejahteraan mampu menyentuh setiap individu rakyat. Kesejahteraan tidak hanya tercukupi kebutuhan asasi (sandang, pangan, dan papan), namun juga didorong mampu meraih kebutuhan sekunder secara makruf. Selain itu negara secara langsung akan memenuhi kebutuhan pokok publik berupa layanan kesehatan, pendidikan layak, dan keamanan bagi rakyatnya.
Jika sistem kehidupan Islam diterapkan, tidak akan terlihat lagi seorang ibu hamil sibuk mengumpulkan dana persiapan persalinan. Ibu hamil akan lebih berkonsentrasi terhadap kesehatan diri dan janinnya seraya selalu menjaga kedekatan pada Allah dengan memperbanyak dzikir dan membaca tilawah. Tidak lagi kita dapatkan keluarga condong mencari pertolongan persalinan pada tenaga tidak terdidik, namun akan menuju tempat pelayanan persalinan terbaik didampingi tenaga kesehatan yang ramah dan terlatih. Jika akses pelayanan terbaik masih sulit, akan dihadirkan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Sebagaimana yang terjadi pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Ibu hamil tidak lagi kuatir kekurangan asupan nitrisi dan gizi, karena negara menyiapkan menu diet seimbang dan bergizi tinggi melalui ahli gizi yang kompeten.
Kalau sistem Khilafah Islamiyah membentangkan jalan menuju kesejahteraan dan kemuliaan umat secara universal, lantas apa yang kita perlukan lagi selain bersegera mengambilnya untuk membangun negeri tercinta ini? Diterapkannya syariat Islam oleh Khilafah Islamiyah, tidak hanya AKI yang tinggi, kemiskinan yang menyengsarakan, namun segala bentuk kedzoliman dan ketidaknyamanan hidup akibat sistem kapitalisme ini akan terhapus di muka bumi ini. Aamiin.
Sumber bacaan:
1. Anonim. 2014. Situasi Kesehatan Ibu. InfoDATIN( Pusat Data dan Informasi) Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
2. Atmarita, Tatang S. Fallah. 2004. Analisa Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Direktorat Gizi dan Masyarakat DepKes. Jakarta
3. Anonim. 2008. Laporan Nasional 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DepKes RI. Jakarta
4. Anonim. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak. Ringkasan Kajian UNICEF Indonesia Oktober 2012
5. Anonim. 2015. Indikator Sistem Informasi Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak. http://www.Indonesian-publichealth.com/
6. Anonim. 2016. Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indramayu. Republika 14 September 2016. http://www.Republika. co.id/
7. Bahrain,R. 2014. Tokoh tenaga Medis Di zaman Nabi SAW. http://www.Muslimafiyah.com
8. Wahyu. 2010. 99 ilmuwan Muslim Perintis Sains Modern. DIVA Press. Jogjakarta