Oleh: Aulia Yahya, Apt (Anggota HELP-S)
Tidak banyak publik yang tahu, bahwa pada tahun 2008 lalu, di kawasan ASEAN telah resmi diberlakukan Harmonisasi Regulasi di bidang industri farmasi. Hal tersebut telah menjadi kesepakatan dan komitmen regional ASEAN. Secara otomatis, Farmasi Indonesia akan memasuki era baru sekaligus lanskap baru yang penuh dengan tantangan dengan implikasinya yang luas. Harmonisasi tersebut akan menciptakan pasar tunggal ASEAN untuk produk farmasi. Suatu peluang sekaligus ancaman potensial bagi farmasi Indonesia menghadapi persaingan regional yang terbuka dan tidak terproteksi. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua industri farmasi harus menjalaninya, karena sudah menjadi “keputusan bersama” menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area) dimana obat dari negara ASEAN akan leluasa masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya dari Indonesia bebas masuk ke negara ASEAN yang lain. Pertanyaan besarnya adalah, apakah industri farmasi di Indonesia (termasuk birokrasinya) sudah siap ? serta bagaimana kiprah pihak asing dalam kebijakan tersebut ? lantas siapa yang akan di untungkan ?
Industri farmasi dikuasai Asing
Sebagai gambaran, dari sisi jumlah, industri farmasi di indonesia mencapai 280 perusahaan. Sebagian besar, hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, serta industri kecil dan menengah. Namun, sekitar 20 pabrik milik asing justeru menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Diantara perusahaan asing tersebut adalah; Pfizer, Merck, Bristol-Myers Squibb, Johnson & Johnson, Upjohn, Wyeth, Eli lilly, Schering-Plough, Abbott, dan GlaxoSmithKline ( semuanya perusahaan AS), lainnya adalah perusahaan dari Swedia, Jerman, Prancis dan Swiss. Jadi secara umum, asinglah yang menguasai industri farmasi di Indonesia. Kaitannya dengan harmonisasi ASEAN, baru 50 industri farmasi berskala besar yang sudah dinyatakan siap memasuki harmonisasi ASEAN tersebut. Sedangkan sisanya masih memegang sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan BPOM. Mereka inilah yang masih harus berjuang untuk memenuhi persyaratan yang berlaku.
Dalam kesepakatan tersebut, setiap industri farmasi harus memenuhi syarat dan ketentuan standardisasi farmasi ASEAN yang meliputi kewajiban current Good Manufacturing Practices (cGMP) yang terdiri dari dua persyaratan utama: (1) Asean Common Technical Dossier (ACTD); (2) Asean Common Technical Requirements (ACTR). Kedua hal diatas sebenarnya merupakan persyaratan standar kualitas obat dan kemasan yang lazim diberlakukan sama di semua Negara. Aspek pemenuhan standar tersebut akan di nilai oleh Pharmaceutical Inspection Convention / Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PlC/PICS) yakni sebuah lembaga yang ditunjuk melakukan inspeksi terhadap satu negara produsen obat.
Untuk memenuhi syarat cGMP tentu bukanlah hal yang sangat mudah. Belum lagi kendala registrasi industri farmasi yang kian sulit. Kedua hal tersebut (cGMP & registrasi) membutuhkan persiapan, baik secara fisik pada industri (produksi atau quality control), juga penyediaan software. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya manusia (SDM). Faktanya, banyak perusahaan farmasi yang belum siap dan masih terkendala. Ini terlihat dari fisik industri, ruang-ruang produksi, quality control, dan kualitas SDM yang belum memadai. Menurut Anthony Ch. Sunaryo Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi), tidak kurang Rp 30 miliar dana investasi tambahan yang harus dipersiapkan oleh satu perusahaan. Bagi industri yang besar yang di sponsori PMA atau PMDN kelas kakap bisa jadi dapat dengan mudah mengikuti persyaratan ini. Tapi bagaimana dengan nasib industri farmasi kecil dan menengah lainnya ? jika tidak segera memenuhi persyaratan, mereka akan mati dan tergilas karena harmonisasi.
Memang benar bahwa bagi industri farmasi yang belum terstandar masih diberikan “kelonggaran” dengan berbagai opsi. Opsi yang diberikan diantaranya; de contract manufacturing. Jadi, industri kecil dan menengah memproduksi barang dengan cara menitipkannya di indutsri lain yang sudah memenuhi syarat ( Toll Manufacturing ). Opsi lainnya adalah merger (penggabungan) beberapa industri farmasi kecil dan menengah. Dan opsi ketiga adalah melakukan pilihan secara terbatas produk-produk apa saja yang bisa diproduksi. Mereka konsentrasi di situ dan tidak semua ikon produk bisa diproduksi.
Ini memang kelihatan sederhana. Namun, sebenarnya kalau kita melihatnya dengan jeli, semua perusahaan yang memenuhi syarat ini bisa dipastikan adalah perusahaan yang mempunyai kapital besar, dalam hal ini pihak asing. Jika perusahaan kecil sampai melakukan Toll manufacturing, di dapatkan harga produksi “titipan” ini semakin bertambah. Malahan cots produksi akan lebih besar daripada harga jualnya.
Dari sini, aroma intervensi tentu sudah bisa kita rasakan, bahwa ada upaya sistematis yang terselubung untuk “mengerdilkan” industri kecil dan menengah, sementara di pihak lain akan mengembangkan industri besar. Harmonisasi ASEAN akhirnya banyak sekali melahirkan persyaratan-persyaratan tambahan yang tidak rasional. Dampaknya pun bisa langsung terasa Sebagai perbandingan, di Singapura dan Malaysia yang sudah terlebih dahulu melaksanakan cGMP banyak industrinya yang gulung tikar akibat tidak sanggup memenuhi persyaratan “irasional” tersebut. Di Malaysia sebanyak 50% industri kecil farmasi yang “keok”, di Singapura lebih parah lagi, semua (100%) industri kecil farmasinya tutup. Nah, Bisa kita banyangkan dampak serupa pun akan sangat memungkinkan terjadi di Indonesia.
Dalam rumusan globalisasi, negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia yang kuat akan memenangkan persaingan global. Sebaliknya, negara yang lemah akan tersisih. Harmonisasi ASEAN hanyalah salah satu alat yang digunakan kapitalisme internasional untuk menghegemoni negara-negara berkembang. Jika pemerintah tidak mengambil langkah protektif dalam melindungi pelaku industri farmasi dalam negeri, atau malah sebaliknya justeru berniat memprivatisasi sektor ini, maka kita akan sama-sama menyaksikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang masih terjajah [ ]