Oleh: Aulia Yahya, Apt (Anggota HELP-S)
Mestinya, tahun 2010 lalu kita telah memasuki era baru dunia kesehatan dibawah jargon ”Indonesia Sehat”.
Kalimat di atas tentu akan menggelitik jika kita mengamati nasib dunia kesehatan akhir-akhir ini. Pasalnya, tak terasa sudah berada di penghujung tahun 2016.
Kita semua telah meyakini bahwa kesehatan adalah hak setiap warga negara. Kita semua juga telah menyadari bahwa kesehatan adalah masa depan. Kita juga telah bertekad untuk menjadikan kesehatan sebagai gaya hidup. Namun demikian, semua kebulatan hati dan pikiran kita itu tidak akan pernah terwujud, bila kita tidak bertindak atau berbuat sesuatu.
Akhir-akhir ini Indonesia dilanda berbagai masalah dan bencana kesehatan secara Nasional. Melihat perkembangan yang ada, kita masih harus tetap bersiaga untuk menghadapi beberapa tantangan, seperti KLB Demam Berdarah, Kasus Busung lapar dan Gizi buruk di berbagai pelosok negeri, merebaknya wabah wabah penyakit, serta penyakit AIDS yang ingin diberantas malah semakin menggila, belum lagi sederetan penyakit-penyakit kelas wahid yang jumlah penderitanya tidak lagi menyisakan tempat di bangsal-bangsal rumah sakit. Kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan hidup memicu pola hidup tidak sehat, lingkungan dan sanitasi yang jorok, melahirkan generasi-generasi yang lemah fisik maupun mental, ”berpenyakitan tak berpendidikan pula !” Sungguh sebuah gambaran negara yang sedang ”sakit”.
Padahal, dulu di negara ini kita sering dibacakan ”dongeng” tentang Indonesia Sehat 2010. Visi bahwa pada tahun 2010, bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat, mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, terjangkau dan berkeadilan, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal.
Pada faktanya, sekarang sudah penghujung tahun 2016 dan mimpi itu belum terwujud. Pun demikian halnya, nasib yang sama juga berlaku bagi program Millennium Development Goals atau disingkat MDGs tahun 2015 telah menuai kegagalan pula.
Kita mungkin baru bisa bermimpi dan memikirkan hal tersebut, tapi kita belum mau berbuat, atau setidaknya belum serius untuk berbuat. Setelah bangun dari mimpi dan tidur panjang, kita akan mendapati bahwa ”Indonesia Masih Sakit”, sembari merangkai mimpi baru Indonesia Sehat “entah” tahun duaribu kapan ?
Sebuah Pemikiran !
Indonesia Sehat akan tercapai jika telah tercapai Provinsi-provinsi Sehat, sedangkan Provinsi Sehat akan tercapai jika Kabupaten-kabupaten dan Kota-kota di Provinsi tersebut telah menjadi Kabupaten Sehat dan Kota Sehat. Seterusnya, Kabupaten/Kota Sehat akan tercapai jika telah tercapai Kecamatan-kecamatan Sehat, dan Kecamatan Sehat akan tercapai jika telah terwujud Desa-desa atau Kelurahan-kelurahan Sehat, dan seterusnya hingga ke level keluarga, kesemuanya itu akan bermuara pada perilaku sehat setiap individu yang ada.
Namun, sekali lagi perwujudan hal tersebut diatas tentu membutuhkan komitmen dari penyelenggara negara. Dalam hal ini bagaimana negara menata sistem kesehatan itu sendiri.
Sejauh ini belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan. Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi.
Sejatinya, sistem kesehatan itu tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, kebijakan maupun peraturan teknis administratif. Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, apoteker, perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya.
Kebijakan Kesehatan tersebut direalisasikan pada beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian masyarakat, misalnya perilaku untuk senantiasa menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, kepatuhan pada pola makan sehat (makanan halal dan bergizi) dan berimbang (tidak berlebihan dalam makan), serta kebiasaan olah raga dan sikap hidup aktif.
Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina mental pribadi masyarakat. Tentu hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan saja tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya.
Kebijakan kesehatan secara terintegra juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb.
Dengan demikian, Indonesia Sehat sekali lagi bukan hanya sekedar jargon [ ]