Jawapos.com – Masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilakukan oleh BPJS kesehatan selalu menjadi berita yang menarik untuk ditelaah, di balik banyak manfaat yang diterima oleh masyarakat Indonesia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, kita dikejutkan dengan berita defisit anggaran BPJS yang tahun ini diperkirakan hampir menyentuh angka Rp. 8-9 Trilyun.
Perlu diketahui sejak BPJS digulirkan menjadi program nasional selalu terjadi defisit, dari angka Rp. 3,3 Trilyun (2014) menjadi Rp.6 Trilyun (2015) dan sekarang menyentuh Rp. 8-9 Trilyun. Seperti biasa defisit tersebut ditutup oleh pemerintah melalui APBN 2016.
Memang penutupan defisit tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang ini namun adanya desifit ini menunjukan ada sesuatu yang belum sempurna dalam pelaksanaan ini.
Beberapa penyebab defisit BPJS ini secara sederhana antara lain ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran, sampai saat ini besar pembayaran yang diklaimkan oleh layanan kesehatan tidak sebanding dengan pemasukan dari iuran peserta BPJS, bahkan keanggotaan peserta BPJS pun belum mencapai target yang diinginkan akibatnya pemasukan dari iuran pun tidak maksimal.
Hal lain adalah besarnya iuran yang memang diseting lebih rendah dari seharusnya baik kelas 1, 2 dan 3 walaupun telah mengalami kenaikan beberapa waktu yang lalu akan tetapi sesungguhnya bukan nilai yang sebenarnya.
Penyebab berikutnya adalah sistem rujukan yang belum berjalan sempurna, hal ini dilihat dari banyaknya jumlah kunjungan ke faskes tingkat 2 (rumah sakit tipe B, C dan D) dan faskes 3 (rumah sakit tipe A) yang seharusnya bisa tertangani di fakes layanan primer. Akibatnya biaya klaim rumah sakit ke BPJS akan ikut meningkat.
Dalam hal ini kemudian pemerintah mengeluarkan jurus andalan berupa kebijakan Dokter Layanan Primer (DLP) yang mendapat payung hukum Undang-undang no 20 tahun 2013, harapannya para DLP bisa menangani kualitas layanan terdepan dengan menjaga kesehatan yang bersifat promotif dan kuratif sehingga angka kejadian penyakit ditekan sehingga jumlah kunjungan dan klaim biaya kesehatan bisa menurun sehingga sistem jaminan kesehatan nasional bisa berjalan sempurna.
Dengan layanan kesehatan yang berorientasi promotif dan preventif diharapkan mengembalikan marwah layanan kesehatan pertama dimana kesuksesan derajat kesehatan suatu bangsa bukan terletak pada tindakan kuratif dan rehabilitatif seperti yang dirasakan masyarakat saat ini akan tetapi lebih ke upaya pencegahan melalui kedokeran komunitas dan kedokteran keluarga.
DLP Solutif?
Yang menjadi telaah kritis adalah apakah dokter layanan primer yang dimasukan dalam Undang undang No. 20 tahun 2013 merupakan solusi dari permasalahan kesehatan nasional khususnya defisit keuangan BPJS ?
Menurut Undang-undang ini Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter umum yang harus melanjukan pendidikan setara spesialis agar bisa memberi Fasiltas kesehatan di tingkat pertama seperti puskesmas, klinik rawat jalan dan lainnya.
Dokter yang tidak ikut dokter layanan primer tidak boleh melayani pasien BPJS walupun mereka telah dinyatakan lulus sebagai dokter melaui ujian kompetensi nasional. Sungguh naif perjuangan para mahasiswa kedokteran 6 tahun belajar plus ujian kompetensi nasional dan internship di daerah terpencil belum menyakinkan pemerintah akan kompetensi mereka.
Di satu sisi pemerintah bersikap untuk urusan kompetensi dan mutu pemerintah mengharap dokter berstandart tinggi setara dengan dokter luar negeri akan tetapi di saat yang sama penghargaan pemerintah terhadap dokter masih minim dibanding tanggung jawab dan tuntutan hukum saat melaksanakan profesinya.
Itulah kehebatan hegemoni BPJS bukan hanya bisa memonopoli ansuransi kesehatan akan tetapi mampu mengubah sistem layanan pendidikan kesehatan secara radikal . Semua akan tunduk dan dipaksa patuh kepada aturan BPJS walaupun sistem tersebut belum tentu baik dan menguntungkan masyarakat.
Kita semua paham bahwa layanan kesehatan pertama di masyarakat harus ditingkatkan, namun cara peningkatan bukan dengan cara memaksakan DLP tetapi buatlah suatu sistem yang terintegrasi holistik dan berkesinambungan, dengan mengkolaborasi sistem yang sudah berjalan dengan baik, mendengarkan semua aspirasi praktisi lapangan bukan dengan cara parsial seperti DLP ini.
Undang-Undang No 20 tahun 2013 yang disahkan pun terlalu cepat dan tanpa kajian akademik yang memadai dan hanya meniru suatu sistem kesehatan negara lain. Akibatnya terjadi kegaduhan baru dimana DPR meminta penundaan pelaksanaan undang-undang ini karena bertabrakan dengan undang undang sebelumnya (UU praktek kedokeran UU kesehatan) dan DLP ini ditolak oleh para dokter seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia dan sudah dilakukan upaya hukum dengan uji material ke MK sudah dilakukan walaupun dikalahkan.
Saya yakin kalaupun DLP ini berhasil “dipaksakan” berjalan di Indonesia tidak akan bisa menyelesaikan masalah defisit BPJS kesehatan dan masalah kesehatan dasar lainnya.
Ibarat mengobati sebuah penyakit, program DLP ini, pemerintah salah membuat diagnosis, sehingga terapi yang diberikanpun tidak adequat, sehingga bukan hanya penyakit tidak sembuh justru akan memunculkan komplikasi lain yang lebih berbahaya.
Mungkin suatu saat pemerintah baru menyadari kesalahan DLP itu dan mengubah dengan sistem lain, akan tetapi terlalu naif bilamana suatu sistem kesehatan nasional yang dibuat tanpa perencanaan yang matang kemudian dipaksakan dilaksanakan tentunya akan menghasilkan dampak negatif dimasa yang akan datang.
Ibarat kata mutiara “Gagal merencanakan sesuatu berarti merencanakan suatu kegagalan”. Memang Ironi kegagalan BPJS dalam tata kelola keuangan ditimpahkan kepada dokter dengan pemaksaan DLP ini.
Oleh: dr. Badrul Munir, Sp.S
Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar/FK Universitas Brawijaya