Wabah Coronavirus 2019-NCov: Ketika Sains Bertemu Takdir

Share

Oleh: Ahmad Rusydan Utomo, PhD* (Dept. Riset dan Pemberdayaan Umat, HELPS)
(28 Januari 2020)

Memang ada batas tipis antara percaya diri dan kesombongan. Titanic tenggelam, sehari setelah dinyatakan sebagai kapal yang tidak akan tenggelam.

Tanggal 1 Oktober, PM Cina Xi Jinping dengan meyakinkan menyatakan bahwa Cina tidak akan dihentikan oleh kekuatan apapun. Meskipun konteks pidato Jinping adalah pesan tegas ke kekuatan geopolitik tertentu yang tidak disebutkan namanya, kita sulit untuk tidak melihat kontras pidato tersebut 3 bulan setelahnya, yakni pemandangan jalan yang sepi di kota Wuhan, metropolis yang merupakan rumah bagi 11 juta penduduk, kampus ternama, termasuk laboratorium virus yang canggih di dunia. Demikian juga 50 juta lebih penduduk Cina, meskipun bukan seluruh Cina, tidak lagi bisa beraktifitas bebas, terisolir secara sukarela, grind to a halt. Terhenti.

Sungguh betapa lemahnya manusia.

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS An Nisa: 2)

Beberapa dekade terakhir Cina memanggil pulang diaspora ilmuwan berbakat Cina kembali ke tanah airnya. Hasilnya, Cina menunjukkan pamor sains dan teknologi yang mengagumkan. Meskipun sempat terguncang akibat SARS di tahun 2003, Cina bangkit.

Setahun sebelumnya, tepatnya bulan Februari 2019, Peng Zhao, peneliti di Institute of Virology mempublikasikan artikel tentang potensi wabah yang diakibatkan oleh virus corona yang berasal dari kelelawar (Fan et al 2019). Alasannya, coronavirus penyebab SARS dan MERS berasal dari kelelawar yang sudah berubah genetiknya akibat rekombinasi. Cina memang dikenal memiliki biodiversitas kelelawar yang tinggi, dan habitat mereka pun dalam radius yang terjangkau manusia. Apakah ini _Weruh sedurunge Winarah_ (kata jawa yang artinya mengetahui kejadian sebelum terjadi)?

“…it is highly likely that future SARS- or MERS-like coronavirus outbreaks will originate from bats, and there is an increased probability that this will occur in China.” – Peng Zhou (Wuhan Institute of Virology, China)

“.. sangat mungkin terjadi bahwa wabah seperti SARS atau MERS akibat infeksi coronavirus akan bersumber dari kelelawar, dan ada kemungkinan besar akan terjadi di Cina” (Peng Zhou, Peneliti Wuhan Institute of Virology)

Dan di paper yang sama, peneliti mengatakan bahwa mengkonsumsi kelelawar yang merupakan tradisi di Cina menunjukkan ‘dekatnya’ interaksi antara manusia dan kelelawar di sana. Artinya risiko untuk paparan memang tinggi, apalagi membunuhnya untuk konsumsi pun dalam kondisi sesegar mungkin (Fan et al 2019)

“Chinese food culture maintains that live slaughtered animals are more nutritious, and this belief may enhance viral transmission.”

Sedangkan bagi umat Islam, hukum membunuh kelelawar tidak dianjurkan, dan mengkonsumsinya haram.

عن عَبد الله بن عَمْرو ، أنه قال : لاَ تقتلوا الضفادع فإن نقيقها تسبيح ، ولا تقتلوا الخفاش فإنه لما خرب بيت المقدس قال : يا رب سلطني على البحر حتى أغرقهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata: “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih. Dan jangan kalian membunuh kelelawar, karena ketika Baitul-Maqdis roboh ia berkata: ‘Wahai Rabb, berikanlah kekuasaan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka.” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/318 & Ash-Shughraa 8/293 no. 3907 & Al-Ma’rifah hal. 456 – Al-Baihaqiy berkata: “Sanadnya shahih”].

Memahami Makna Takdir, Apakah Pasrah?

Apa yang terjadi di Cina saat ini bisa menjadi ilustrasi bagi umat Islam, bagaimana seharusnya kita memahami takdir, sebagaimana pepatah yang berbunyi, “Belajarlah hingga pergi ke (atau, tepatnya saat ini mengamati apa yang terjadi di) Cina”

Dengan pemahaman yang benar, Islam yang Rahmatan lil Alamin bukan sekedar slogan tapi diamalkan sehingga hidup menjadi tentram, dinamis dan produktif.

Umat islam meyakini takdir sebagaimana yang dikabarkan oleh hadist yang terkenal:

Ketika Jibril ‘alaihis salaam bertanya,
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ

“Kabarkanlah kepadaku, apa itu iman?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)

Sebelum kita menuju poin ‘takdir baik/buruk’, kita ingat bahwa sebagai umat islam keyakinan tentang “hari akhir” juga erat kaitannya dengan informasi tuntunan hidup dari “kitab2Nya” yang dibawa oleh “RasulNya” sebagai “perantara informasi” dari Allah ta’ala.

Hari Akhir bagi umat Islam, bukan sekedar diyakini sebagai “hari ketika semua orang masuk surga”, tetapi adalah Hari Berdiri (Kiamat, dari bahasa arab Qiyam), yaitu berdiri masing-masing di hadapan Allah ta’ala untuk mempertanggungjawabkan aktifitas di dunia yang merupakan pilihannya. Kenapa hanya manusia yang dimintai pertanggungjawaban? Karena manusia diberikan kemampuan yang unik yaitu akal budi untuk memilih sebagian aktifitas kehidupan berdasarkan informasi yang manusia ketahui.

Informasi tersebut adalah informasi tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, yang wajib atau yang dilarang, dan konsekuensi yang akan dihadapi sebagai balasannya: Surga atau Neraka. Berdasarkan informasi aturan tersebut, manusia akan berdiri di hari Akhir untuk mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya sendiri. Dalam bahasa agama, informasi itu terkumpul secara kolektif dikenal sebagai Syariat Islam.

Maka dalam Islam, fungsi Nabi atau Rasul adalah menyampaikan ke manusia rambu-rambu terhadap hukum perbuatan.

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul [QS. Al-Isra’: Ayat 15]

Namun secara realita, tidak semua aktifitas atau perbuatan atau kejadian yang menimpa manusia adalah pilihan.

Penumpang pesawat nahas yang kecelakaan tidak akan dimintai pertanggungjawaban, karena bukan pilihannya. Namun, bunuh diri adalah aktifitas yang merupakan pilihannya dan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Manusia tidak akan ditanya kenapa dia dilahirkan dari keluarga di Menteng atau di Priok? dari keluarga kaya atau keluarga miskin? Tetapi dia akan dimintai pertanggungjawaban kenapa seseorang yang lahir dari keluarga kaya dan berpendidikan memilih memperkosa ratusan pria?

Demikian juga korban meninggal akibat wabah virus 2019-Ncov juga tidak akan dimintai pertanggungjawaban kenapa mereka mati akibat paparan virus tersebut. Tetapi manusia yang menghalangi upaya penghentian laju virus atau lalai menyiapkan precaution untuk melindungi negerinya pasti akan ditanya tanggung jawabnya.

Seseorang tertimpa musibah atau menerima hadiah di luar kehendaknya adalah ketetapan (Qadla) dari Allah yang harus diterima, baik ketetapan yang baik maupun yang buruk. Maka poin terakhir dari rukun iman adalah meyakini ‘takdir baik/buruk’ (force majeur) di luar kemampuan manusia untuk memilih atau menghindar.

Bagi umat islam memahami ketentuan ini penting, karena tidak semua adalah ‘force majeur’. Kedhaliman dan kriminalitas bukanlah takdir, karena kita punya kapasitas untuk mencegah dan melawannya.

Lalu bagaimana dengan wabah Wuhan akibat virus corona 2019-NCov?

Korban yang tewas memang tidak punya pilihan dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban terkait situasi yang menghantarkan ke kematiannya. Namun, manusia yang sehat masih memiliki pilihan yang pasti akan dipertanggungjawabkan.
Apa saja kemungkinan pilihan itu?
– pilihan untuk apatis, pasrah
– pilihan untuk mencari tahu penyebab wabah
– pilihan untuk menghentikan wabah dengan seluruh aset yang dimiliki

Sebagai seorang muslim, pasrah bukan pilihan yang benar untuk hal-hal yang manusia secara kolektif memiliki pengetahuan. Semasa jaman kekhilafahan Islam dulu, Khalifah al Muqtadir dari Khilafah Abbasiyah memerintahkan investigasi mengapa ada satu pasien yang meninggal dunia ketika diterapi. Ketika diketahui adanya malpraktik seorang dokter, Khalifah mewajibkan semua dokter di Baghdad untuk melakukan uji kompetensi ulang di bawah pengawasan Sinan Thabit, seorang Ketua Dokter Kekhalifahan. Dari 860 dokter yang dites, 160 ternyata gagal (Miller A 2006). Meski bagi pasien yang meninggal, kematian tidak dia kehendaki secara sadar, bagi yang masih hidup terutama pemangku kebijakan adalah wajib untuk mencari tahu kenapa musibah bisa terjadi, supaya tidak terulang kembali.

Apa yang bisa kita saksikan di Cina saat ini adalah Science Par Excellence, yaitu ketika ilmuwannya melakukan dan mengeluarkan seluruh aset terbaiknya untuk mencari tahu dan mengunci identitas biang keladi virus dengan teknologi molekuler terbaik (NGS Next Generation Sequencing) untuk discovery, dilanjutkan dengan real time PCR untuk diagnosis. Hasil kerja mereka dipublikasikan di Lancet dan disampaikan protokol diagnostiknya ke WHO agar negara lain di dunia segera menyiapkan lab masing-masing untuk melakukan skrining, sehingga populasi yang terjangkit virus Wuhan bisa dibedakan secara spesifik dari kasus pernafasan biasa.

Kapan kita mengetahui kita memiliki pilihan?
Di sini kita perlu memahami konsep Qadar.

Ayat Quran ini memotivasi saya pribadi untuk senang meneliti:

الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan 25:3).

Titik tekan ayat tersebut terletak pada frasa “fa qaddarahu taqdeeran” [Dia telah menetapkan ukuran (qadar) dengan serapi2nya].

Sebagai manusia kita tahu, bahwa kita tidak punya pilihan, kecuali untuk bernafas dengan organ respiratory. Kita perlu hidung, tenggorokan, hingga paru. Kita bukan ikan yang menggunakan insang, sehingga mampu mengekstraksi oksigen dari air. Artinya Allah telah tetapkan paru sebagai organ pernafasan kita, itu adalah Qadla (ketetapan Allah). Kita juga tidak bisa kendalikan naik turunnya nafas, itu sudah otomatis, tanpa kita suruh, rongga dada kita sudah naik turun sendiri. Artinya kita tidak akan dipertanyakan kelak mengapa bernafas menggunakan hidung, tidak menggunakan mata?

Dan sebagai ilmuwan, saya juga belajar ukuran-ukuran atau spesifikasi yang diperlukan manusia untuk bernafas. Kita bisa mempelajari dampak menghirup asap rokok ke paru kita. Kita bisa mempelajari mutasi gen yang diakibatkan oleh asap rokok. Dan kita juga bisa menguji apakah mutasi gen menimbulkan penyakit secara spesifik. Kita bisa identifikasi kuman Mycobacterium sebagai penyebab Tuberculosis yang menyerang paru, dan kita bisa pelajari antibiotik untuk mengobatinya dan juga mengenali mutasi kuman mycobacterium TB sehingga bisa menjadi resisten. Ukuran-ukuran inilah yang bisa kita pelajari dan kita gunakan untuk memprediksi risiko penyakit apabila kita mengkonsumsi atau terpapar asap rokok. Kita bisa gunakan ilmu statistik risiko terjadinya kanker paru. Kita bisa buat kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok (kalau memang mau).

Dari ukuran2 (Qadar) yang Allah telah tetapkan tadi terkait gen, mekanisme mutasi, dampak fisiologi, kita tahu bagaimana mekanisme penyakit. Maka kita tahu bahwa merokok adalah pilihan kita, kita sendiri yang memilih untuk merusak organ pernafasan kita yang Allah ta’ala telah berikan secara cuma-cuma.

Kasus Wuhan juga menggambarkan bagaimana Allah telah menetapkan ukuran-ukuran atau spesifikasi pada virus yang bisa dan yang tidak bisa menimbulkan penyakit.

Tim Beijing (Zhu et al 2020) mengkarakterisasi 3 pasien yang terkena wabah, mempelajari kandungan cairan yang ada di paru mereka (Bronchoalveolar Lavage). Kandungan tersebut mereka bagi dua. Pertama untuk mengisolir partikulat yang berpotensi menyebabkan pneumonia. Sedangkan bagian kedua, mereka isolir materi genetik dari cairan tersebut. Untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang menimbulkan kerusakan di paru, mereka mengambil jaringan paru dari hasil bedah paru kasus kanker untuk menumbuhkan jaringan sel paru. Mereka juga menumbuhkan jaringan sel selain paru sebagai kontrol. Kandungan cairan paru dari pasien, mereka filter, lalu hasil filtrasi di paparkan ke jaringan sel paru dan juga jaringan sel selain paru. Hasilnya, mereka melihat terjadi efek cytopathic (kerusakan sel pada jaringan paru tapi tidak pada jaringan lain). Artinya, penyebabnya ditemukan.

Bukti terjadinya cytophatic effect yang terjadi paska sel manusia dipaparkan filtrat 2019-NCov (Zhu et al 2020)

Penampakan coronavirus 2019-Ncov (Zhu et al 2020)

Tapi apa wujud penyebab tersebut. Mereka lalu cek materi genetik dengan teknik NGS dimana semua materi genetik (yang ada, kalau memang ada) diperbanyak, lalu sequence yang ditemukan di bandingkan ke database kuman (bakteri, virus, atau pun jamur). Apa yang mereka temukan?

Mereka temukan materi genetik yang mirip dengan coronavirus penyebab SARS (2003) dan MERS (2012), yang keduanya berasal dari coronavirus kelelawar tetapi telah mengalami rekombinasi genetik. Tapi mirip bukan identik, artinya, kita sekarang tahu bahwa ada materi genetik yang sangat mirip dengan coronavirus sebelumnya, tapi tetap berbeda. Namun satu hal yang mereka tahu, ‘tulang punggung’ susunan genetik ini menunjukkan struktur yang sama pada coronavirus kelelawar Bat_SARS-like_coronavirus|bat-SL-CoVZC45

Genom coronavirus wuhan 2019-NCov berbeda dari coronavirus SARS dan MERS

Dan disini kisahnya menjadi menarik. Coronavirus memiliki dua gen penting untuk bahasan ini. Pertama, adalah gen RDRP (RNA dependent RNA polymerase). Gen ini berfungsi untuk memperbanyak RNA virus sehingga bisa memperbanyak virus itu sendiri. Ketika di cek, susunan cukup sama. Namun perbedaan yang mencolok ada di satu gen yang penting untuk infeksi, yaitu pada gen S (Spike). Penamaan corona pada virus ini karena seakan memiliki banyak tanduk seakan seperti memiliki mahkota. Tanduk atau Spike ini adalah protein coronavirus yang fungsinya untuk melekatkan dirinya ke sel target. Coronavirus dari kelelawar yang masih ‘asli’ tidak bisa menginfeksi manusia karena susunan genetik pada gen S menyandi protein yang tidak mampu berikatan dengan protein pada permukaan sel manusia.

Perbedaan mendasar dari coronavirus wuhan 2019-NCov ada di susunan gen penyandi protein S (spike atau tanduk sebagai protein kunci untuk mentargetkan sel manusia. Sekuens yang berbeda ini bisa dipelajari untuk mengembangkan vaksin yang efektif atau inhibitor yang memblok proses infeksi)
Di sinilah pentingnya memahami Qadar (atau konsep ukuran atau spesifikasi yang Allah telah tetapkan). Ketika kita mengetahaui spesifikasi patogen dan mekanisme kerjanya kita bisa memikirkan cara penanggulannya.

Pada kasus coronavirus penyebab SARS susunan genetik gen S nya akan menyandi protein S yang akan mengikat pada protein ACE2 (Angiotensin Convertase Enzyme) Receptor protein di permukaan sel manusia. Pentingnya keberadaan ACE2 ini dibuktikan secara in vivo dimana mencit yang direkayasa untuk tidak lagi memiliki protein ACE2 di permukaan selnya, mencit ini akan terlindungi dari SARS akibat infeksi coronavirus.

Protein Spike (tanduk) Coronavirus SARS berfungsi untuk mengikat reseptor ACE2 sel manusia sebagai pintu masuk infeksi.

Sel yang tidak memiliki reseptor ACE2 akan terhindar dari penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
Sedangkan coronavirus penyebab MERS akan masuk ke sel manusia tidak melalui ikatan ACE2 tetapi protein reseptor dipeptidyl peptidase 4 (DPP4). Demikian juga virus HIV penyebab AIDS menginfeksi sel T manusia melalui reseptor yang spesifik yaitu melalui kombinasi reseptor CCR5/CXCR4 (CC chemokine receptor).

Jadi dari Qadar tadi nampak adanya spesifisitas yang tidak random. Itu sebabnya mengapa virus tidak sama, mereka memiliki struktur bangun yang berbeda dengan target berbeda dan menimbulkan penyakit yang berbeda pula. Berbekal dengan mengetahui Qadar Allah maka ilmuwan kini bisa menahan infeksi HIV apabila pasien AIDS diberikan transplantasi sel yang ada variasi pada susunan gen yang menyandi CCR5.

Coronavirus wabah Wuhan, kini dinamai 2019-NCov, pada struktur gen S (Spike/tanduk) hanya cocok 68% dari coronavirus kelelawar lainnya (termasuk dari coronavirus SARS dan MERS). Artinya ada 30% lebih susunan genetik yang berbeda pada gen S, yang menentukan target protein inang. Kenapa bisa berbeda?

Virus RNA seperti Coronavirus umumnya memiliki tingkat ‘salah ketik’ dalam proses replikasi/perbanyakan materi genetiknya, dibandingkan virus DNA, yang dikenal memiliki sistem proof-reading enzyme. Karena ‘salah ketik’ tersebut, mutasi bisa rentan terjadi.

Implikasinya, target protein reseptor sel manusia bukan lagi ACE2 atau DPP4. Berbekal perbedaan sekuens baru itu tentu membuka peluang untuk menemukan protein reseptor yang menjadi target infeksi sehingga bisa mengembangkan antibodi (vaksin) atau inhibitor yang akan memblok interaksi 2019-NCov pada manusia.
Proses deduksi dalam memahami Qadar
Untuk memahami Qadar (ukuran atau spesifikasi, dalam hal ini mekanisme penularan wabah), proses deduksi bisa digunakan. Huang C et al 2020 dalam papernya di Lancet yang terbit 24 januari silam menunjukkan profil 41 pasien dan 60% diantara mereka ternyata pernah bersinggungan, bekerja, atau bertandang ke pasar Huanan, pasar yang menjual hewan liar di Wuhan.

Grafik sebaran profil pasien dimana warna merah adalah proporsi pasien yang pernah bertandang ke pasar Huanan yang menjual hewan liar untuk dikonsumsi

Data ini dan juga dikuatkan oleh data sequencing memberikan konsistensi bahwa 2019-NCov memang berasal dari hewan liar (baca: kelelawar) yang telah mengalami mutasi terutama di gen S. Apakah karena transmisi 2019-Ncov berawal dari konsumsi daging kelelawar? Ini belum diketahui pasti meski kemungkinan itu ada. Tapi yang menjadi keprihatinan adalah transmisi 2019-NCov ini sudah melalui moda manusia ke manusia sebagaimana yang dideskripsikan oleh tim Hong Kong juga diterbitkan oleh Lancet di tanggal yang sama (Chan et al 2020). Tim Hong Kong menceritakan laporan satu keluarga yang 7 anggotanya terkena infeksi semua. Awalnya 6 anggota keluarga berjalan bersama ke Wuhan lalu kembali ke kota asal. Di kota asal, 6 anggota ini kembali berkumpul dengan 1 anggota keluarga yang tidak ikut ke Wuhan. Walhasil, 1 anggota yang tidak turut ke Wuhan akhirnya terjangkit juga. Kisah keluarga ini merupakan bukti awal bahwa terjadi transmisi virus dari manusia ke manusia tanpa perantara binatang. Maka tidak heran salah satu tanda bahwa seorang penderita pneumonia adalah pneumonia akibat infeksi 20109-NCov adalah pernah berinteraksi di Wuhan atau berinteraksi dengan orang yang pernah ke Wuhan. Namun untuk memastikan, perlu dicek keberadaan RNA dari virus 2019-Ncov. Isolat sampel dari 7 anggota keluarga ini juga menunjukkan keberadaan RNA dari virus 2019-NCov.

Dari deduksi tentang moda penularan virus ini, kita kini mengetahui darimana sumbernya (berawal dari pasar Huanan), identitas penyebabnya (2019-Ncov) yang disequencing oleh 3 laboratorium yang berbeda, bagaimana modus penyebarannya (kontak manusia), dan bagaimana menegakkan diagnosa (dengan teknik Real Time PCR dengan sampel dari lower respiratory tract seperti sputum, karena virus ini nampaknya memberikan dampak pada lower bukan upper respiratory tract).

Dari Qadar yang ditemukan, maka containment wabah atau proses karantina bisa dimonitor secara efektif.

Rasulullah bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Implikasi analisa Qadar untuk mitigasi Dharar (Bahaya atau Risiko Bahaya)
Saat saya menulis ini total korban yang terkonfirmasi positif terkena infeksi 2019-NCov hampir 4600 jiwa dan 106 diantaranya telah meninggal dunia. Tingkat kematian 0.2%. Sebagai perbandingan wabah akibat coronavirus SARS adalah sekitar 10%. Sekilas ketika melihat angka tingkat kematian wabah Wuhan, nampaknya ‘kecil’, namun dari sisi kesehatan masyarakat ini tetap berimplikasi serius karena infeksi virus ini perlu waktu inkubasi dan orang yang terinfeksi tidak selalu menampakkan gejalanya (Chan et al 2020).

Di sini ada konsep penting, bahwa hubungan “sebab-akibat” antara ‘zat penyebab X’ dengan dampak ‘kematian penyakit Y’ tidak harus berkorelasi 100%. Dengan kata lain, meskipun paparan X hanya menimbulkan dampak ‘kecil’ terhadap ‘kematian penyakit Y, tidak berarti kita bisa meremehkan paparan X tersebut. Konsep ini susah dimengerti masyarakat luas terutama ketika berbicara rokok sebagai penyebab kematian dan/atau penyakit kanker paru. Risiko terjadinya kanker paru pada perokok ‘hanya’ sekitar 20%. Dengan kata lain, 80% perokok bisa ‘pulang’ dengan senang. Akan tetapi, orang lupa bahwa risiko terjadinya kanker paru pada non-perokok jauh lebih kecil lagi yaitu 0.2%. Artinya paparan rokok berdampak pada peningkatan risiko kanker hampir 100 kali lipat!

Maka literasi tentang Dharar (bahaya dalam konteks kesehatan yaitu terjadinya penyakit dan dampak mortalitas/kematian dan morbiditas/kesakitan) juga perlu dibenahi agar manusia bisa membuat pilihan, supaya jangan membahayakan diri sendiri, apalagi kalau sampai membahayakan orang lain.
Dharar sendiri juga tidak harus dipahami sebagai ‘kematian’. Ini juga menjadi masalah dalam memahamkan masyarakat tentang pentingnya vaksinasi standar seperti vaksinasi MMR. Biaya perawatan seorang anak yang terkena penyakit Rubella bisa menghabiskan dana lebih dari 500 juta, hanya karena suatu komunitas tertentu bersikeras untuk menolak vaksinasi secara massal.

Seorang guru berasal India, yang merupakan salah satu korban wabah 2019-NCov dirawat di rumah sakit yang dirawat sejak 11 januari yang lalu menghabiskan dana 2 milyar rupiah. Maka dharar disini tidak selalu diartikan sebagai kematian, namun juga morbiditas dengan konsekuensi finansial yang berat.

Khatimah
Manusia memang ada keterbatasan. Dalam banyak hal, manusia tidak mampu untuk menentukan nasib atau pilihannya sendiri. Kapan dia lahir, bagaimana hidupnya berakhir. Namun di banyak hal lain, manusia memiliki pilihan dalam hidupnya. Sebagai orang islam, pilihan kita di dunia akan kita lihat konsekuensinya di dunia dan juga di akhirat kelak. Kita tidak boleh pasrah dalam segala hal, tapi juga tidak boleh jumawa dihadapan Sang Pencipta. Maka tidak heran, jangankan ‘semut’ bisa mengalahkan ‘gajah’, virus yang kasat mata bisa menghentikan mobilitas 11-50 juta manusia..

Wallahu a’lam bi ash showwab

*Ahmad Rusdan Utomo, PhD
– Stem cell & cancer researcher at Stem Cell and Cancer Institute, Jakarta

– Postdoc Harvard Medical School, USA (2003-2007)

– PhD Molecular Medicine (University of Texas-San Antonio, USA)

– BSc (Angelo State University, USA)

Referensi

Fan, Yi; Zhao, Kai; Shi, Zheng-Li; Zhou, Peng. 2019. “Bat Coronaviruses in China.” Viruses 11, no. 3: 210.

Kuba, K., Imai, Y., Rao, S. et al. A crucial role of angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) in SARS coronavirus–induced lung injury. Nat Med 11, 875–879 (2005). https://doi.org/10.1038/nm1267

Du, L., He, Y., Zhou, Y. et al. The spike protein of SARS-CoV — a target for vaccine and therapeutic development. Nat Rev Microbiol 7, 226–236 (2009). https://doi.org/10.1038/nrmicro2090

Chan, Jasper Fuk-Woo, Shuofeng Yuan, Kin-Hang Kok, K K W To and Kwok-yung Yuen. “A familial cluster of pneumonia associated with the 2019 novel coronavirus indicating person-to-person transmission: a study of a family cluster.” The Lancet (2020). (Hong Kong Team describing human to human transmission, variation of S(pike) gene in the RBD motif distinct from the closest Bat variant, as well as previous SARS, using Oxford Nanopore NGS)

Zhu, Na et al. “A Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China, 2019.” The New England journal of medicine (2020): n. pag. (Beijing Team isolated virus particle from patients to demonstrate cytophatic effect on primary human lung airway epithelial cells, perform evolutionary analyses based on sequencing data Illumina and Nanopore)

Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., & Cao, B. (2020). Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet. (First description of market involvement, initiated clinical trial using anti HIV inihibitor lopinavir and ritonavir)

Miller, Andrew C “Jundi-Shapur, Bimaristans, and the Rise of Academic Medical Centres,” Journal of the Royal 8 Society of Medicine 99, no. 12 (December 2006): 61

Read more

Local News