Farmakovigilans dan Jaminan Keamanan Obat

0
3028

Aulia Yahya
Penggurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulsel
Anggota Healthcare Professional for Shariah (HELP-S)

Setidaknya, ada belasan ribu jenis produk obat terdaftar yang beredar di Indonesia. Jika didetailkan, mencapai angka 14405 jenis, dimana 2443 (17%) adalah obat generik, dan 11962 (83%) adalah obat merk dagang (data 2016). Adapun keberadaan industri farmasi sendiri terdiri dari 4 BUMN, 196 perusahaan lokal, dan 39 perusahaan asing. Disisi lain,  tingkat belanja obat di Indonesia termasuk tinggi, berkisar 40 persen dari total belanja kesehatan nasional.

Mengingat besaran jumlah jenis obat obatan yang beredar luas di masyarakat, maka pemantauan aspek keamanan obat menjadi salah satu komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.

Kajian Farmakovigilans

Dahulu, pernah kejadian “kasus Thalidomide” di Eropa. Ceritanya, saat itu di Jerman pada tahun 1957, Thalidomide pertamakali digunakan sebagai obat untuk mengatasi mual pada ibu hamil. Tak dinyana, penggunaan obat ini mengakibatkan cacat lahir pada janin (Phocomelia) yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi Thalidomide, dimana kurang lebih 10.000 kasus terkait efek samping Thalidomide dari 46 negara yang dilaporkan oleh WHO. Alhasil, Thalidomide serta merta ditarik dari peredaran.

Sebagai bentuk respon atas kejadian tersebut, sekitar tahun 1960an mulai dicanangkan apa yang disebut sebagai kajian Farmakovigilans .

Dalam khazanah ilmu kefarmasian, Farmakovigilans  didefenisikan sebagai ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta mencegah efek samping obat dan masalah terkait obat yang mungkin ada.  Ruang lingkup Farmakovigilans diatas lazimnya dilakukan oleh industri farmasi. Adapun bagi  tenaga kesehatan dalam menerapkan Farmakovigilans dapat dilakukan dengan memantau dan melaporkan kejadian yang dicurigai sebagai efek samping baik yang sudah diketahui maupun efek samping yang belum diketahui.

Jalannya Pengawasan dan Pelaporan

Beberapa peraturan terkait farmakovigilans diantaranya, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 bahwa industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans (pasal 9),  Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.

Selain itu terdapat pula Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Ketiga peraturan ini sama sama mencantumkan bahwa Tenaga Kesehatan harus memantau efek samping obat dan melaporkannya. Serta Pedoman Pemantauan Efek Samping Obat Bagi Tenaga Kesehatan yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2015.

Selain pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM, industri farmasi  juga memiliki peran dan tanggung jawab untuk menjamin keamanan obat yang diedarkannya. Dengan melakukan pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran, penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata (pada praktik klinik yang sebenarnya) dapat diketahui efektivitas dan keamanan penggunaannya, sehingga efek samping suatu obat setidaknya dapat dicegah dengan semakin bertambahnya pengetahuan terkait obat sebagai bagian dari hasil kajian Farmakovigilans.

Aktivitas pengawasan pasca pemasaran (post-market surveillance) yang dilakukan oleh industri farmasi ini diharapkan dapat menjadi kegiatan strategis dalam rangka menjamin keamanan obat (ensuring drug safety), yang pada gilirannya akan berdampak pada jaminan keamanan terhadap pasien (ensuring patient safety) selaku pengguna akhir obat.

Pelaporan Farmakovigilans yang dilakukan oleh industri farmasi berupa pelaporan spontan (spontaneous reporting), pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report), pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, pelaporan publikasi/literature ilmiah, pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas Negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di Negara lain, dan pelaporan dari perencanaan manajemen resiko. Kesemua laporan Farmakovigilans tersebut dikirimkan ke BPOM berdasar tata cara dan pedoman teknis yang telah ditetapkan.

Untuk tenaga kesehatan, pemantauan efek samping obat di fasilitas layanan kesehatan dilakukan dengan saling bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainya,  dan pemantauan selanjutnya dilaporkan  ke BPOM setelah mengisi  form Pemantauan Efek Samping Obat dan informasi lain dari rekam medik pasien. Hasil Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Nasional akan digunakan sebagai bahan materi dalam re-evaluasi terhadap obat yang telah beredar untuk selanjutnya diterapka satu tindakan pengamanan yang dianggap perlu.

Masyarakat Bisa Ikut Andil

Dalam urusan jaminan  keamanan obat, masyarakat dapat ikut andil dan mengambil peran. Jika suatu waktu, pasca mengkonsumsi suatu obat tertentu, masyarakat / si pasien mengalami kejadian yang tidak diinginkan, maka sebaiknya segera mengkonfirmasi hal tersebut baik kepada tenaga kesehatan terkait, ataukah dengan menghubungi bagian Farmakovigilans pihak produsen pada nomor kontak layanan keluhan konsumen yang lazim tertera pada kemasan produk.

Dengan demikian, setiap potensi terjadinya efek samping penggunaan obat dapat terpantau  sedini mungkin [ ].

LEAVE A REPLY