Obat Penenang Dari Butuh Jadi Candu

0
2044

Oleh: dr. Toreni Yurista (Anggota HELPS)

Setidaknya dalam lima bulan terakhir, ada 6 artis yang ditangkap akibat kasus narkoba. Beberapa diantaranya menggunakan happy five dan dumolid. Keduanya termasuk psikotropika golongan IV. Dumolid, atau nitrazepam, digunakan untuk pengobatan insomnia. Sedangkan happy five (nimetazepam), yang di negara asalnya disebut erimin, merupakan psikotropika produksi Jepang yang digunakan sebagai anti-cemas (anxiolytic).

Kalau dulu telinga kita akrab dengan kokain, heroin, putauw atau ekstasi yang notabene narkotika dan psikotropika golongan I, kini semakin banyak kasus yang melibatkan psikotropika golongan IV. Golongan I adalah golongan yang digunakan semata untuk penelitian dan tidak boleh dimanfaatkan untuk terapi. Semakin rendah golongannya, semakin boleh digunakan untuk terapi dan semakin mudah didapatkan melalui resep dokter. Psikotropika golongan IV adalah yang paling gampang ditemukan, dus paling banyak disalahgunakan. Di Swedia, 39% kasus bunuh diri berkaitan dengan benzodizepine, 90%-nya adalah benzodiazepine jenis nitrazepam dan flunitrazepam.1

Perang melawan narkoba kini mendapatkan tantangan baru: obat penenang di pasaran. Berbeda dengan ganja yang produksinya bisa diberangus, obat penenang sangat dibutuhkan untuk terapi. Kita bisa menyisir hilir dan menangkap pelaku penyalahgunaan obat penenang, namun tak mungkin mengampu hulu dan menghentikan produksinya. Ibarat menambal selang yang bocor dengan keran yang masih menyala.

Penggunaan dan Penyalahgunaan
WHO merilis data bahwa angka penderita depresi tahun 2017 telah naik lebih dari 18 persen sejak 20052. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia3. Jumlah yang lebih dari cukup untuk menimbulkan kasus ketergantungan (dependence syndrome) dan sakau (withdrawal syndrome).
Obat penenang sangat bermanfaat untuk pasien pada penggunaan yang tepat dan baik. Sayangnya, penyalahgunaan obat ini sering kali terjadi. Oknum yang mengonsumsi obat-obat penenang tanpa berkonsultasi dengan psikiater banyak sekali jumlahnya. Walaupun awalnya mungkin dokter yang memberikan, banyak ditemukan pasien selanjutnya menggunakan obat tersebut tanpa aturan dokter lagi. Bahkan membagi-bagikannya kepada orang yang sebenarnya tidak memerlukan obat tersebut.
Dari mana para pecandu ini mendapatkan obat penenang? Beberapa taktik para pecandu untuk mendapatkan obat resep antara lain dengan memperbanyak kopi resep dan gonta-ganti dokter untuk mendapatkan lebih banyak resep. Di Indonesia, obat-obatan penenang ini bahkan dijual bebas secara online.

Aktor di Balik Pandemi Penyalahgunaan Obat
Pandemi penyalahgunaan obat dalam segala bentuknya merupakan ciri zaman kita. Pandangan materialistik yang dihasilkan dari falsafah sekulerisme (pandangan yang memisahkan agama dengan kehidupan) mendorong manusia untuk beramai-ramai mengejar materi. Ketika materi yang diinginkan tidak mampu didapatkan, generasi yang kehilangan harapan melarikan diri dari masalah lewat obat penenang. Keluarga sebagai benteng terakhir, yang diharapkan sebagai tempat kasih bersemi dan tempat perlindungan dari stres yang dialami setiap hari, mereka anggap sudah guncang dan tidak mampu memberikan bantuan. Lama-kelamaan generasi ini mulai bergantung pada obat-obatan dan kehilangan independensi, bahkan tak mengerti ketika akal dan nurani mereka dimanipulasi.

Di sisi lain, sekulerisme menjadikan hubungan dokter-pasien, yang dahulu bagaikan sahabat, perlahan-lahan terkikis sehingga tak lebih dari sekedar hubungan kontraktual. Dokter hari ini sangat jarang yang mau mendengar curahan perasaan pasien dan menenangkan hati mereka. Kini, hubungan terapeutik antara dokter-pasien terbentuk karena ada kontrak tak tertulis, dokter memberikan layanan medis, pasien membayar biaya.

Sekulerisme juga telah mencerabut nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan. Dalam kasus penyalahgunaan obat penenang untuk alasan kesenangan (recreational), oknum-oknumnya terjebak dalam dunia fantasi, memandang dunia untuk bersenang-senang dan mencari kepuasan materi dan mengabaikan hidup setelah mati. Standar hidup mereka bukan lagi halal atau haram, tetapi menyenangkan atau tidak. Apa saja yang dianggap menyenangkan dilakukan bahkan tanpa memikirkan konsekuensi.

Pun, sekulerisme telah memisahkan sanksi hukum pidana dengan konsep dosa-neraka. Paham ini meniadakan konsep dosa sehingga pelaku pengedar obat-obatan terlarang merasa aman dari siksa neraka. Dipidana berapa kali pun, setelah keluar mereka tetap kembali kepada pekerjaan semula. Bahkan mereka menganggap penjara adalah lahan subur distribusi obat-obatan.

Pandangan Islam
Islam sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita tentang bahaya sekulerisme ini.
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Baqarah 2: 85)

Dalam hal penyalahgunaan obat-obatan, Islam tidak serta merta mengharamkannya, tanpa sebelumnya memberikan perlindungan dan pengecualian. Sistem Islam telah memberikan perlindungan komprehensif dan berlapis-lapis untuk menjaga generasi dari barang yang membahayakan ini. Setidaknya ada 4 lapis perlindungan. Selengkapnya dapat Anda baca di artikel, “Cara Islam Mencegah Penyalahgunaan Obat Terlarang”

Islam merupakan agama yang turun dari Dzat yang telah menciptakan manusia, karena itulah semua syariat dalam hukum-hukum Islam berkesuaian dengan kondisi manusia. Adalah tugas kita bersama untuk menerapkan Islam dalam semua lini kehidupan, bukan hanya karena tuntutan zaman, melainkan pula karena tuntutan aqidah kita sebagai seorang muslim.

1. Carlsten A, Waern M, Holmgren P, Allebeck P (2003). “The role of benzodiazepines in elderly suicides”. Scand J Public Health. 31 (3): 224–8. PMID 12850977. doi:10.1080/14034940210167966
2. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170331090149-255-203950/who-umumkan-tingkat-depresi-dunia-naik-18-persen/
3. http://www.depkes.go.id/article/view/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html

LEAVE A REPLY