Oleh: dr. Toreni Yurista (Anggota HELPS)
Narkotika, psikotropika, dan obat-obatan terlarang telah menjadi momok masyarakat. Bahkan saat ini, pengguna narkoba telah beralih menyalahgunakan obat-obatan resep dokter yang banyak beredar di pasaran.
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana sistem Islam memberikan perlindungan komprehensif dan berlapis-lapis untuk menjaga generasi dari penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Lapis pertama, Islam memelihara kesehatan jiwa individu. Caranya:
a. Mengajarkan arti kebahagiaan sejati
Islam mengajarkan falsafah kebahagiaan sehingga manusia tidak melulu mengejar materi. Dari sini Islam telah mencegah generasi jatuh ke dalam kesenangan semu. Islam memandang bahwa saadah (kebahagiaan) adalah dengan mencari ridho Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka subulana (jalan-jalan Kami)” (QS.Al-Ankabut: 69)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
b. Menyibukkan diri dengan urusan yang bermanfaat dan meninggalkan hal yang sia-sia
Islam sudah memberikan tuntunan kepada manusia agar menyibukkan dirinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan menghindari aktivitas yang sia-sia. Hidupnya digunakan untuk beribadah serta melakukan aktivitas yang berguna bagi masyarakat dan daulah. Rasulullah saw. berpesan,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه
Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya (HR Tirmidzi no. 2317)
c. Memperbolehkan rekreasi
Islam memahami bahwa meskipun kebahagiaannya tidak diukur dengan materi dan hari-harinya sudah disibukkan dengan urusan ibadah, maisyah, dan dakwah, manusia terkadang bisa juga mengalami depresi dan gangguan mental ringan lainnya. Islam tidak menghalangi manusia untuk mencari kesenangan dengan berlibur atau bercanda-ria.
d. Menuntun manusia bermental baja
Kalau setelah plesiran tetap saja mengalami beban psikis, Islam mengajak manusia lari kepada Allah, Dzat yang Maha Kuasa. Orang-orang yang tidak memiliki interaksi dengan Tuhan dan tidak bersahabat dengan-Nya, ketika mendapatkan masalah mereka didera kegelisahan dan kecemasan. Sementara orang yang menerangi hatinya dengan cahaya iman, mereka tidak menyaksikan fenomena lain di dalam masalah tersebut kecuali kebaikan, keindahan, dan kemaslahatan. Mereka meyakini qadha dan qadhar, baik-buruknya dari Allah swt. Di dalam Al-Quran akan banyak sekali kita dapati ayat-ayat yang memicu semangat dan harapan, diantaranya:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُۥٓ أَجْرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Al-Baqarah 2:112).
Lapis kedua, Islam mendorong adanya peran serta masyarakat.
a. Memuliakan peran keluarga
Keluarga adalah unit sakral dan tempat berkasih sayang. Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits:
قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati” (HR Al-Bukhari no 5997)
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat harus mampu menjadi garda terdepan berperan dalam menjaga kesehatan jiwa anggota keluarganya dan menjadi pihak yang memberikan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala-gejala yang mengarah pada masalah kesehatan jiwa.
يَـٰٓأَيُّہَاٱلَّذِينَءَامَنُواْقُوٓاْأَنفُسَكُمۡوَأَهۡلِيكُمۡنَارً۬اوَقُودُهَاٱلنَّاسُوَٱلۡحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
b. Menuntut partisipasi aktif anggota masyarakat
Islam memandang masyarakat adalah satu tubuh. Satu sakit, lainnya merasa. Satu sedih, lainnya berempati. Itulah mengapa dalam Islam, seseorang wajib menjenguk yang sakit, senantiasa memperhatikan tetangga, serta saling tolong menolong tanpa membedakan ras, agama, maupun golongan.
Dalam masyarakat yang satu tubuh ini, apabila ada satu saja individu yang menyimpang, maka masyarakat wajib mengingatkan. Rasulullah mengibaratkan masyarakat sebagai sekelompok orang yang berada di sebuah kapal (safinah). Jika salah satu penumpang membocorkan kapal, maka seluruh awak kapal dan penumpangnya akan tenggelam. Begitu pula, jika satu saja anggota masyarakat berbuat kerusakan, maka akan mengancam ketenangan seluruh anggota masyarakat. Hal ini jelas berbeda dengan sekulerisme yang berprinsip, “hidup gue urusan gue. Asal tidak mengganggu, hidup rusak atau tidak, bukan urusan elu, ”
Lapis ketiga, Islam mewajibkan adanya peran negara dalam meriayah urusan umat.
a. Pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya
Pemimpin negara dalam Islam adalah pelayan rakyat. Pemimpin negara wajib menghindarkan rakyat dari beban hidup, diantaranya dengan mengentas kemiskinan, memberikan lapangan kerja, mencegah kelaparan, serta memberikan jaminan kesehatan dan pendidikan bagi rakyatnya. Tentu kita sudah hafal kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab yang memberikan beras ke keluarga miskin.
b. Negara wajib menutup akses maksiat
Islam juga menuntut negara meminimalkan akses masyarakat terhadap narkoba, misalnya dengan menutup tempat hiburan yang tidak syar’i, mencegah produksi dan distribusi minuman keras, serta mengawasi secara ketat peredaran bahan pangan dan obat-obatan.
c. Memberikan jaminan kesehatan di bidang rehabilitasi jiwa
Terkait dengan pengguna yang terpaksa mengonsumsi obat-obatan penenang karena menderita penyakit yang berhubungan dengan mental, maka Islam telah mencontohkan adanya jaminan kesehatan di bidang rehabilitasi jiwa. Peradaban Islam merupakan pioner rumah sakit jiwa yang didirikan di Kairo, Mesir, pada tahun 800 M. Abu Zayd Ahmed bin Sahl Al Balkhi (850-934 M) adalah dokter penyakit jiwa pertama yang menjadi rujukan dalam terapi gangguan jiwa. Ali Ibn Sahl Rabban At-Tabari sudah mengembangkan psikoterapi sejak abad 9 M. Pasien gangguan jiwa tidak dibedakan dengan pasien lain, kesemuanya dijamin oleh negara 1.
Lapis keempat, Islam menetapkan hukuman bagi pecandu dan pengedar narkotika, psikotropika dan obat-obatan berbahaya.
Jika kaum muslimin seluruhnya telah menerapkan ketiga lapis perlindungan Islam tersebut tetapi masih ada saja yang menyalahgunakan bahkan mengedarkan obat penenang dan narkoba, maka oknum seperti ini dikatakan nekat. Terhadapnya Islam telah menetapkan sanksi yang tegas.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud no. 3686 dan Ahmad 6: 309)
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat terkait hukum bagi pengguna obat-obatan terlarang. Ulama yang menyamakan pemakai narkoba dengan peminum khamar menyatakan hukumannya adalah dengan dicambuk 2, sebagaimana sabda Rasulullah SAW
مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ
Orang yang minum khamar maka cambuklah (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Peminum khamar yang memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali atau 40 kali.
Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali ra.,
إِذَا شَرِبَ سَكَرَ وَإِذَا سَكَرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى اِفْتَرَى وَحَدُّ المُفْتَرِي ثَمَانُونَ
“Bila seseroang minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk. (HR. Ad-Daruquthuni, Malik). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. Berkata 40 kali.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hukuman bagi pengguna narkoba adalah ta’zir yang bentuk dan caranya diserahkan kepada khalifah. Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/direhabilitasi oleh negara secara gratis, bisa jadi hanya dijatuhi sanksi ringan. Jika berulang-ulang (pecandu) sanksinya bisa lebih berat3.
Bagaimana dengan pengedar narkoba? Apakah perlu dihukum mati? Mengutip fatwa yang dikemukakan oleh DR. Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fatawa Mu’ashirah4, beliau mengatakan bahwa hukuman mati untuk pengedar narkoba jauh lebih layak dibanding mereka yang mendapat hukuman mati karena membunuh. Karena orang yang membunuh, ia hanya membunuh satu orang saja, sedangkan pengedar narkoba, ia bukan hanya membunuh satu orang akan tetapi membunuh generasi satu bangsa.
Allah swt dalam firman-Nya;
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS. Al-Maidah; 33
Khatimah
Demikianlah, Islam telah menjaga generasi dengan sebaik-baiknya. Islam merupakan agama yang turun dari Dzat yang telah menciptakan manusia, karena itulah semua syariat dalam hukum-hukum Islam berkesuaian dengan kondisi manusia. Adalah tugas kita bersama untuk menerapkan Islam dalam semua lini kehidupan, bukan hanya karena tuntutan zaman, melainkan pula karena tuntutan aqidah kita sebagai seorang muslim.
Daftar Pustaka
1) Murniati. 2017. Islam Perintis Rumah Sakit Jiwa dalam “Menggagas Kesehatan Islam”. Kaaffah Penerbit
2)Ibnu Hajar dalam Fathul Baari’ jilid 10 hlmn 83
3)Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur dalam Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat
4)Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fatawa Muashirah