Oleh: dr. Ahmad Adityawarman (HELPS)
Kalau bicara tentang sistem sosial dalam Islam, kita akan membayangkan satu hal yang saat ini mungkin sangat susah untuk diterapkan, yakni kewajiban pemisahan pria dan wanita dalam kehidupan islam. Dalam kehidupan umum, islam melarang adanya ikhtilath, yakni bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom tanpa ada keperluan yang dibenarkan oleh syara.1
Salah satu implementasi aturan sosial Islam ini biasanya bisa kita lihat dalam penyelenggaraan pernikahan syar’i yang mulai marak dilaksanakan di Indonesia. Bahkan sudah ada event organizer yang menyediakan jasa untuk menggarap agar pernikahan bisa syar’i tanpa mengurangi kesemarakan acara. Tamu laki-laki dan perempuan terpisah, sehingga tidak terjadi ikhtilath dalam pesta pernikahan.
Bagaimana di bidang kesehatan? Apakah aturan pemisahan ini bisa diterapkan? Memang terjadinya interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kesehatan sepertinya susah terhindarkan. Misalnya dokter atau perawat yang melayani atau memeriksa pasien berbeda jenis kelamin.
Pada dasarnya interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diperbolehkan dalam maslahat ini, disamping bolehnya dalam hal jual-beli, pengajaran, akad tenaga kerja (ijarah), pertanian, industri, dan sebagainya. Hal ini karena dalam aspek yang telah disebutkan, interaksi antara pria dan wanita tidak dapat terelakkan. Tentu saja interaksi tersebut harus berlandaskan profesionalisme, mengikuti kode etik dan dibatasi oleh hukum syara.1
Nah, di Iran ternyata sudah ada penelitian mengenai penerapan konsep syariah Islam ini di rumah sakit. Hasilnya dimuat dalam jurnal berjudul The Implementation of the Sharia Law in Medical Practice: A Balance between Medical Ethics and Patients Rights yang dipublikasikan Juli 2011 lalu. Terlepas dari kontroversi apakah Iran merupakan negaranya kaum syiah, penelitian ini cukup menarik untuk kita kaji.
Telah disebutkan bahwa spiritualitas dan keyakinan beragama terbukti memiliki dampak besar pada seseorang dalam mengatasi penyakit yang serius dan tekanan yang mengancam kehidupan.2,3 Spiritualitas sering diklaim memberikan perasaan kebahagiaan, meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan dukungan sosial melalui kegiatan sosial spiritual.4,5
Kemajuan baru dalam ilmu kedokteran telah membuat hal ini sangat jelas bahwa aspek moral dalam profesi ini sangat diperlukan. Profesi medis yang berkaitan dengan tubuh dan kehidupan individu perlu mempertimbangkan aspek moralitas dan martabat manusia.6 Oleh karena itu, praktek medis saling terkait dengan banyak tanggung jawab karena berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental manusia. Akibatnya, profesi medis harus mengambil semua pertimbangan dalam menangani pasien termasuk pertimbangan spiritualitas dan agama.7
Dalam mengakomodir kepentingan ini, Kementrian Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran Iran berusaha mengimplementasikan beberapa konsep syariah dalam pelayanan kesehatan. Pengejawantahannya adalah sistem Same Sex Health Care Delivery yang dilaksanakan di sejumlah rumah sakit umum pendidikan di Tehran, ibukota Iran. Sistem ini dicanangkan awalnya karena meningkatnya permintaan dari pasien dan pembuat kebijakan sehingga didirikanlah Dewan Tertinggi SSHCD pada tahun 1997.8
Dari namanya kita bisa memahami sistem kesehatan ini menerapkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan untuk pasien dengan jenis kelamin yang sama. Dokter laki-laki mengobati pasien laki-laki, perawat perempuan merawat pasien perempuan. Begitu juga sebaliknya.
Penelitian pada jurnal ini adalah usaha untuk mengklarifikasi apakah proyek tersebut dapat dilaksanakan di rumah sakit Iran atau tidak, dan apakah pasien akan lebih menyukainya dan menerimanya. Penelitian deskriptif analitik ini menggunakan rancangan cross-sectional, dilakukan di rumah sakit umum pendidikan di Teheran, Iran. Dalam studi ini, dipilih empat rumah sakit dari lingkungan yang berbeda di Teheran yang memiliki kesamaan dalam hal ukuran, jumlah tempat tidur, jumlah pasien yang dirawat selama periode waktu tertentu, jumlah staf, dan pelayanan kesehatan yang diberikan.8
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan koefisien reliabilitas yang relatif tinggi (Cronbach alpha = 0,85). Oleh karena itu, dipastikan bahwa seluruh pertanyaan dari kuesioner ini sangat valid. Kuesioner dibagikan kepada 120 wanita yang dirawat di bagian yang berbeda dari seluruh rumah sakit.8
Hasilnya, sebagian besar pasien wanita pada penelitian ini menunjukkan ketidaksetujuan mengenai sejumlah topik di kuisioner. Kebanyakan responden (70%) merasa tidak nyaman saat pemeriksaan fisik dilakukan oleh mahasiswa kedokteran (koas) pria. Lebih dari itu, 70% dari mereka merasa malu saat divisit oleh dokter pria yang sebenarnya adalah kerabat dekat mereka (yang secara hukum agama tidak boleh dinikahi).8
Responden juga tidak setuju dengan sejumlah pelayanan yang diberikan oleh staf pria, meliputi perawatan oleh perawat pria (68,3% tidak setuju), dibantu dalam perubahan posisi dan ditolong pada aktivitas pribadi oleh staf pria (80,8% tidak setuju), kateterisasi uretra dan injeksi intramuskular oleh tenaga kesehatan pria (94,1%). Responden juga tidak setuju dengan adanya koas laki-laki selama pemeriksaan medis, begitu juga kehadiran perawat pria dan staf lain yang memiliki kekerabatan yang dekat (yang dilarang untuk dinikahi) pada saat pemeriksaan fisik.8
Mayoritas pasien wanita yang dirawat (85%) lebih menyukai pemisahan ruangan laki-laki dan perempuan di bangsal rumah sakit dan adanya staf wanita yang menemani selama pemeriksaan kesehatan. Selain itu 57,6% responden setuju bahwa dokter wanita berkompeten, 19,1% tidak setuju dan sisanya tidak tahu.8
Akhirnya, 74,4% pasien wanita yang dirawat menyukai implementasi dari proyek SSHCD di Tehran, Iran. 24% masih tidak setuju dan 1,7% menjawab tidak tahu. Faktanya, di Iran advokasi mengenai implementasi SSHCD semakin meningkat dalam dekade terakhir. Terlebih lagi hasil beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak hanya pasien yang menginginkan penerapan SSHCD namun juga mayoritas tenaga kesehatan.8
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini harus mempertimbangkannya. Apalagi sudah banyak rumah sakit berlabelkan islam bahkan syariah. Semangat penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan juga semakin menggelora. Kita berharap dengan semakin berusaha optimal dalam menaati syariat yang diturunkan Allah, pelayanan kesehatan yang kita berikan menjadi semakin berkah dan membuat para pasien juga merasa nyaman.
Referensi:
1. An-Nabhani T. Sistem Pergaulan dalam Islam (Edisi Mu’tamadah). Jakarta: HTI Press, 2007.
2. Koenig HG, McCullough ME, Larson DB. Handbook of Religion and Health. New York, NY: Oxford University Press; 2001.
3. Roberts JA, Brown D, Elkins T, Larson DB. Factors influencing views of patients with gynecologic cancer about end – of – life decisions. Am J Obstet Gynecol 1997; 176(1): 166-72.
4. Cohen SR, Mount BM, Tomas JJ, Mount LF. Existential well – being is an important determinant of quality of life. Evidence from the McGill Quality of Life questionnaire. Cancer 1996; 77(3): 576-86.
5. Burgener SC. Predicting quality of life in caregivers of Alzheimer patients: the role of support from an involvement with the religious community. J Pastoral Care 1999; 53(4): 433-46.
6. Gambino G, Spagnolo AG. Ethical and juridical foundations of conscientious objection for healthcare workers. Med Etika Bioet 2002; 9(1-2): 3-5.
7. Ayatollah Amini E. Physician’s ethical and religious jurisprudence. J Med Ethics Hist Med 2009; 1(3): 1-6 [In Persian].
8. Dargahi H. The implementation of the sharia law in medical practice: a balance between medical ethics and patients rights. J Med Ethics Hist Med 2011; 4:7