Pelarangan Hijab/Jilbab di Tempat Kerja, Perbuatan Melawan Hukum

0
5796

Oleh: Chandra Purna Irawan, MH
(CEO Sharia Law Institute)

1. Meski hidup dinegeri mayoritas muslim, namun seorang muslim terkadang mengalami diskriminasi dalam menjalankan ibadah.

2. Misal penggunaan hijab/jilbab, hijab/jilbab dalam Islam adalah bagian dari ibadah karena diwajibkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an

3. Seorang muslimah yang taat pasti akan langsung menjalankan perintah tersebut tanpa alasan

4. Negara kita sudah menjamin kebebasan tersebut, tinggal setiap instansi kerja yang perlu menyesuaikan dengan berbagai alternative agar pekerjaan dan ibadah seiring.

5. Misal seorang dokter muslimah yang bekerja di Rumah Sakit, dilarang dengan alasan harus mengenakan pakaian yang steril. Alasan tersebut tidak bisa diterima, karena hal itu bisa dikondisikan.

6. Sementara dari sisi hukum, perbuatan instansi yang menambahkan aturan tentang larangan berhijab/berjilbab bagi pekerja wanita dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama. Terkait hal ini, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) berbunyi:

7. Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Penjelasan: Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaandan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

8. Pasal 6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari instansi. Penjelasan: Instansi harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.

9. Ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan di atas menegaskan bahwa instansi dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya karena pada dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras maupun aliran politik.

10. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang dalam penerimaan pegawai ingin melamar pekerjaan dilarang berjilbab oleh instansi, maka perbuatan instansi tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan diskriminasi atas dasar agama.

11. Jika instansi melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan, menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengenakan sanksi administratif kepada instansi sesuai Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin.

12. Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 Panduan Kesempatan Dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan Di Indonesia (Equal Employment Opportunity).

13. Konvensi ILO No. 111 yang telah diratifikasi oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nommor 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (“UU 21/1999”) ini mencakup semua bentuk diskriminasi. Artinya, kebijakan soal larangan berjilbab bagi pekerja wanita juga termasuk kategori diskriminasi pekerjaan.

14. Perlakuan Diskriminatif Dapat Digugat Di Pengadilan Industrial. Jalur gugatan ke pengadilan merupakan upaya terakhir setelah upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai.

15. Pasal 136 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh instansi dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka instansi dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur denganundang-undang.

16. Mengenakan jilbab merupakan bentuk pelaksanaan ibadah yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam beragama. Hak beragama itu sendiri telah termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2)Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):

17. (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

18. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang berbunyi: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

19. Hak beragama tersebut berdasarkan Pasal 4 UU HAM merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, termasuk instansi yang melarang pekerjanya untuk mengenakan jilbab sebagai syarat dalam penerimaan pekerja. Ini artinya, mengenakan jilbab sepenuhnya merupakan hak asasi yang pekerja miliki dan tidak bisa dilarang oleh instansi.

20. Sebagai pihak yang direnggut haknya, pekerja dapat mengambil langkah hukum dengan melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

21. Pasal 90 ayat (1) UU HAM: “Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.”

22. selain itu juga bisa digugat melalui pengadilan tata usaha negara. Jika pemecatan terhadap pengguna hijab/jilbab menyebabkan gangguan kejiwaan atau kerugian materiil maka bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata. Jika disertai ancaman, maka termasuk pidana.

23. Demikian penjelasan saya, semoga menjadi bahan pertimbangan

Wallahualambishawab

LEAVE A REPLY