Oleh: dr.Tuti Rahmayani (Anggota HELP-S)
Seorang anak bukanlah miniatur orang dewasa. Ini perlu disadari bagi semua orang tua. Hal ini berkaitan dengan proses pembelajaran unik yang terjadi pada diri anak. Terutama anak usia dini yakni usia 0-6 tahun. Pada tahapan ini, perkembangan otak terus terjadi.
Belajar pada anak tidak identik dengan duduk di bangku dengan seorang guru yang mengajar secara formal. Belajar bagi anak adalah eksplorasi dunia sekitarnya dengan penyerapan informasi dari panca indera (seluruhnya).
Jangan heran bila anak usia dini tidak bisa diam. Energinya besar. Bila tidak dipahami dengan baik, anak dengan mudah dilabeli nakal dan bandel.
Pembelajaran anak pun juga lebih fokus pada proses, bukan hasil. Ibarat menanam, buahnya dipetik kemudian. Sehingga anak tidak mudah dicap bodoh dan tidak mampu.
Justru orangtua ditantang mengenali potensi anaknya. Karena tidak ada anak nakal atau bodoh.
Yang tidak kalah penting adalah nutrisi dan stimulasi. Nutrisi pertama dan utama adalah ASI. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa ASI memberikan dampak positif bagi kesehatan fisik maupun jiwa. Stimulasi panca indera dengan aktivitas baik indoor maupun outdoor. Disinilah peran keluarga terutama orangtua untuk memberi stimulasi positif yang baik dan benar. Mengajarkan jujur, peduli dan berbagi terhadap sesama, berbahasa yang baik, berakhlak mulia, sayang terhadap yang muda dan menghormati pada yang tua. Juga mengajarkan berterimakasih dan meminta maaf. Anak belajar dengan cara yang menyenangkan dan sambil bermain bahkan mereka bisa belajar dari hal yang sederhana. Misalnya rasa tanggung jawab diajarkan dengan melatih buang sampah di tempatnya atau dengan merapikan mainan sendiri. Orangtua juga berperan penting dengan menjadi teladan dalam mengajarkan nilai-nilai tersebut. Jadi berhati-hati bila marah atau bertengkar didepan anak. Karena mereka sedang belajar dan menyerap peristiwa disekitarnya.
Orangtua saat ini juga menghadapi tantangan berat dalam mendidik anak. Kurangnya lahan terbuka, taman bermain, sarana rekreasi yang murah meriah dan juga pola hidup individualis, akhirnya menjadikan televisi dan gadget sebagai “pengasuh” baru yang menemani anak menghabiskan waktunya. Adanya tayangan kekerasan, mengumbar aurat, sinetron anak yang juga dibumbui bahasa kasar dsb, akhirnya turut membentuk kepribadian anak. Belum lagi kesibukan dan minimnya kreativitas orangtua dalam media pembelajaran, membuat masa kanak-kanak sering berjalan apa adanya. Mengalir tanpa tujuan. Sementara belajar tunggu nanti kalau masuk sekolah. Tentu amat disayangkan.
Karenanya butuh ilmu menjalani keunikan proses mendidik anak. Orangtua harus mau terus menerus belajar tentang konsep parenting. Supaya mampu mengenali potensi anak dan bisa melejitkannya menjadi generasi mulia pengisi peradaban. Negara pun perlu memikirkan hal ini. Investasi berupa anak unggul dan bertakwa adalah jaminan masa depan bangsa yang bermartabat. Jadi jangan disia-siakan.