Oleh: dr. Yanuar Ariefudin (Div.Kastrat)
A. Membangun Kepribadian Islam
Kepribadian manusia terbentuk oleh pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Bentuk tubuh, wajah, keserasian fisik dan sebagainya bukan unsur pembentuk kepribadian. Pola pikir Islam (Aqliyah Islamiyah) adalah jika seseorang selalu berlandaskan aqidah Islam dalam memikirkan sesuatu hal dalam upaya mengambil suatu keputusan. Sehingga jika landasannya bukan Islam, maka pola pikirnya merupakan pola pikir yang lain. Sedangkan pola sikap Islami (Nafsiyah Islamiyah) adalah jika seseorang dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan dorongan nalurinya berdasarkan Islam. Jika pemenuhan tersebut tidak dilakukan dengan cara seperti itu, maka pola sikapnya merupakan pola sikap yang lain. Tidaklah cukup jika kepribadian Islam hanya tercermin pada pola sikapnya yang Islami, sementara pola pikirnya tidak. Karena nantinya malah beribadah kepada Allah dengan kebodohan. Misalnya, kita berpuasa pada hari yang diharamkan. Bisa juga kita bersodaqoh dengan riba, dengan anggapan bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain, sebenarnya melakukan kesalahan tetapi menyangka telah melakukan kebajikan. Akibatnya, dalam memenuhi tuntutan naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (hajatul udhawiyah) tidak sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini kesalahan yang banyak terjadi di sekitar kita. Sesungguhnya kepribadian Islam tidak akan berjalan dengan lurus, kecuali jika pola pikir orang tersebut adalah pola pikir Islami dan pola sikapnya adalah pola sikap Islami.
Dokter yang berkepribadian Islami bukan berarti didalam dirinya tidak pernah ada kesalahan. Tetapi (kalau ada), kesalahan tersebut tidak akan mempengaruhi kepribadiannya selama kesalahanya bukan perkara pangkal, melainkan pengecualian (kadang terjadi, kadang tidak). Alasannya, karena manusia bukanlah malaikat. Dia bisa saja melakukan kesalahan, lalu memohon ampunan dan bertaubat. Bisa juga dia melakukan kebenaran, lalu memuji Allah atas kebaikan, karunia, dan hidayah-Nya.
Poin kepribadian seorang muslim seperti yang disampaikan oleh Hasan al-Banna yaitu, Seorang kader inti harus memiliki aqidah yang bersih (salimul aqidah), ibadah yang benar (shahihul ibadah), akhlak yang baik (matinul khuluq), kekuatan jasmani (qowiyyul jismi), intelek dalam berfikir (mutsaqqal fikri), bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi), pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi), teratur dalam segala urusan (munazhzhamun fi syuunihi), mandiri (qadirun ala kasbi), bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi), kesemuanya harus sesuai dengan parameter syariah. Contoh sederhana, seorang dokter dengan keahliannya mengobati orang sakit dituntut selalu menjaga kerahasiaan rekam medis pasiennya. Hal ini belum dapat dikatakan dokter yang berakhlak baik ketika dokter tersebut hanya menjaga rahasia medis atas dasar kemanusiaan dan atas dasar etika profesi dokter. Namun dokter bisa dikatakan berakhlak baik ketika dokter yang bersangkutan meyakini dengan betul bahwa menjaga rahasia adalah perintah syariat Islam. Dengan keyakinan inilah maka predikat baik bisa didapat. Karena parameter baik atau tidak baik dengan neraca yang pasti, yakni syariah Islam.
Dakwah profesi merupakan dakwah tahap lanjutan dari fase dakwah kampus. Pada fase inilah idealisme yang dulu terhujam dengan kuat di dada para aktivis dakwah akan diuji. Keimanan menjadi modal utama untuk merealisasikan pendidikan (tarbiyah) dan persaudaraan (ukhuwah) di medan dakwah yang sangat berbeda dari medan dakwah kampus yang dulu pernah digeluti. Baik itu berbeda dari segi lingkungan, budaya, maupun berbeda dari segi individu-individunya.
B. Fokus Perjuangan Dakwah Profesi
Selain tugas utama yang perlu menjadi titik fokus perjuangan para dokter (baik dokter muda, dokter umum maupun dokter spesialis), fokus berikutnya yaitu menjadikan dakwah profesi sebagai lahan untuk mewujudkan Islam dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam gerak dakwah profesi untuk mewujudkannya yaitu :
1. Fokus Bergerak, Bukan Fokus Berdebat
Tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada perbedaan sudut pandang perjuangan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan bermasyarakat. Hal ini tidak perlu ditanggapi dengan serius ketika sinergi dakwah difokuskan untuk menyelamatkan jiwa pasien dan menyelamatkan aqidahnya. Pada kondisi inilah ukhuwah Islamiyah antar para dokter muslim diuji. Serendah-rendahnya ikatan ukhuwah Islamiyah adalah berbaik sangka (husnuzhan) kepada saudaranya dan setinggi-tingginya ikatan ukhuwah ialah mengutamakan kepentingan saudaranya (itsar). Lakukan pergerakan dan fokus untuk bergerak. Hindari perdebatan yang pada akhirnya masalah yang sebetulnya bisa diselesaikan tepat waktu malah terlambat. Seperti kata pepatah, “tong kosong nyaring bunyinya”.
Imam Hasan al-Banna berkata, “Ukhuwah yaitu terikatnya hati-hati dan jiwa-jiwa dengan ikatan aqidah, dan aqidah merupakan ikatan yang paling kokoh dan paling mahal, dan ukhuwah adalah saudara keimanan, sementara perpecahan adalah teman dari kekufuran. Kekuatan yang utama adalah persatuan dan tidak ada persatuan tanpa cinta, dan cinta paling rendah adalah berbaik sangka, sementara yang paling tinggi adalah itsar”
Maka dari itu, sifat pengemban dakwah seharusnya selalu berlomba-lomba dalam hal kebaikan (fastabiqul khairat), bukan malah saling menghalangi dakwah saudaranya.
2. Menjaga Rahasia
Mudah sekali seorang pasien memberikan kepercayaan kepada seorang dokter sehingga mereka sangat terbuka kepada dokter. Tidak hanya riwayat penyakit yang diteritanya yang diceritakan, bahkan masalah rumah tangga pun menjadi luapan emosi dari pasien yang sangat berharap pemecahan solusi dari dokter. Maka sudah menjadi kewajiban bagi dokter untuk tetap memegang rahasia-rahasia medis maupun semua keluhan yang bersifat non-medis.
3. Edukasi Sesuai Syariah
Seorang dokter muslim dituntut untuk mengetahui hukum-hukum seputar fiqih kedokteran. Jika pasien mengeluhkan sakitnya, dokter muslim harus mempu menjelaskan kepada pasien makna sakit dan balasan dari Allah bagi yang sabar menerimanya. Menjawab dengan jelas dan berdasarkan keilmuan ketika ditanya mengenai hukum euthanasia, aborsi, surat keterangan palsu dan lain sebagainya ketika pasien memaksa agar kita melakukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan bekal pemahaman keislaman yang cukup untuk dapat merealisasikannya.
4. Menghindari Resep Haram
Meskipun ada perbedaan mengenai boleh tidaknya memanfaatkan obat haram dan najis, maka sudah sepantasnya seorang dokter muslim berusaha sekuat tenaga untuk meresepi obat-obatan yang halal. Penggunaan obat-obatan halal bertujuan agar umat Islam dapat keluar dari perbedaan ulama, sebab kaidah fiqih menyebutkan,”Al-Khuruj minal khilaf mustahab.” Menghindarkan diri dari persoalan khilafiyah adalah sunnah. (Imam Nawawi, Syarah Muslim).
5. Dakwah Profesi Tidak Meniadakan Dakwah Siyasi
Meskipun berprofesi menjadi dokter, peran dokter untuk terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin sangat dibutuhkan. Ketika Daulah Islamiyah tegak, maka yang akan menjadi pengambil kebijakan kesehatan di negara khilafah ialah seorang dokter yang memiliki pemahaman siyasah yang baik.
Berdakwah dari aqidah sampai khilafah bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan oleh seorang dokter. Allah memberikan syariat ini kepada manusia yang sudah pasti syariat tersebut dapat direalisasikan oleh manusia. Jika dakwah tentang khilafah diabaikan, maka akan lepaslah ikatan-ikatan syariat yang lain. Rasulullah bersabda, “Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan, dan yang terakhir lepas adalah shalat.” (HR. Ahmad)
C. Arahan Manajemen Dakwah Profesi
Seorang dokter sudah selayaknya memiliki kepribadian yang khas. Kepribadian Islami yang terpancar dari akidah Islam. Kepribadian inilah yang nantinya akan membentuk pola sikap Islami (nafsiyah Islamiyah). Dengan bekal aqidah Islamiyah maka seorang dokter muslim harus memiliki fokus perjuangan hanya untuk Allah. Tiada terlewat sehembus nafas pun yang keluar kecuali untuk berjuang lillaah. Sesungguhnya kesehatan adalah nikmat tertinggi setelah nikmat Iman. Maka seorang dokter harus cerdas mengambil peran ini. Peran menyelamatkan jiwa manusia dan menyelamatkan aqidah pasien. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia tidak diberikan sesuatu yang terbaik sesudah keyakinan (iman) kecuali kesehatan.” (Musnad Ahmad, Juz 1, Hal. 37).
Peran dokter sangat berperan dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan sehat. Maka sudah seharusnya dokter memiliki 2 tugas utama, yaitu selamatkan aqidahnya dan selamatkan jiwanya.
1. Selamatkan Aqidahnya
Menjadi tugas utama bagi setiap muslim dan pengemban dakwah (hamlud dakwah) untuk menjaga aqidah umat Islam dari kerusakan dan kecacatan yang akan membatalkan tauhidnya. Merupakan tugas bersama untuk menghadapi cobaan besar ketika umat agama lain memiliki metode dakwah profesi di bidang kesehatan. Mereka memaknai mukjizat nabi Isa as. dengan mendirikan balai-balai kesehatan dan mengadakan pengobatan-pengobatan gratis yang visi utamanya yaitu mengajak umat Islam untuk beriman kepada tuhan-tuhan mereka. Pada dasarnya segmen kesehatan merupakan bidikan utama mereka untuk menarik umat Islam masuk kepada agama mereka. Oleh karenanya seorang dokter muslim harus menyadari akan fakta ini dan mewaspadainya. Sebagai seorang dokter muslim yang juga pengemban dakwah, maka sudah seharusya mengajak pasien untuk selalu bersabar akan cobaan yang dideritanya. Mengajak kepada ketaatan dan tidak mengobati pasien atas dasar kemanusiaan, tetapi mengobati pasien atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya. Parameter inilah yang bisa mengklasifikasikan dan membedakan antara dokter muslim dan dokter yang kebetulan muslim.
2. Selamatkan Jiwanya
Tugas menyelamatkan jiwa manusia sudah tidak asing bagi seseorang yang berprofesi sebagai dokter. Menyelamatkan jiwa menjadi fokus satu-satunya di dunia kedokteran yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama menjadi asing ketika ditempatkan di rumah sakit. Maka menjadi mubadzir ketika dokter-dokter hanya berlandaskan asas kemanusiaan semata ketika mengobati pasiennya. Padahal antara pasien dan aqidah tidak bisa dipisahkan. Olehkarena itu menyelamatkan jiwa pasien harus pula menyelamatkan aqidahnya. Bahkan saat pasien dalam kondisi fase terminal, sikap seorang dokter harus mencerminkan sikap yang tidak lepas dari aturan syariah. Selamatkan dunia akhiratnya menjadi tugas ketiga ketika menghadapi pasien dalam kondisi demikian. Antarkan pasien menuju khusnul khatimah. Meninggal tanpa menanggalkan aqidahnya.
Tugas utama inilah sebenarnya dari seorang dokter muslim. Seseorang yang memiliki penghasilan pas-pasan dan hidup dalam keterbatasan, menjadi peluang untuk menaggalkan agamanya demi memperoleh kesehatan gratis. Meskipun tidak semua orang miskin demikian.
Referensi
1. GAMAIS ITB. 2007. Risalah Manajemen Dakwah Kampus.
2. Hasan al-Banna. 10 Muwashofat Muslim. Al-ikhwan.net
3. Muhammad Mahdi Akif. 2009. Hakikat Ukhuwah. Al-ikhwan.net
4. Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah. 2004. HTI Press. Jakarta
5. Taqiyuddin an-Nabhani. 2008. Syakhsiyyah Islamiyah. HTI Press. Jakarta.
6. Dr. dr. Rofiq Anwar, Sp. PA. 2009. Dakwah Islam. FK Universitas Islam Sultan Agung. Semarang