Oleh: dr. Maria Ulfah (Anggota HELP-S)
Presiden Jokowi dalam Konferensi Internasional Keluarga Berencana ke-4 awal tahun lalu menyatakan bahwa Program Nasional Kampung KB (KKB) menjadi salah satu cara pemerintah dalam upaya menekan jumlah penduduk. Alasannya adalah KB merupakan investasi masa depan yang strategis untuk memastikan kesehatan dan kemakmuran. Di beberapa wilayah di Indonesia seperti Cilacap, Cirebon, Boyolali, Gorontalo, Palembang dan masih banyak lagi telah memiliki KKB. Menurut BKKBN targetnya adalah harus terbentuk sebanyak 582 Kampung KB di seluruh kabupaten di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang termasuk berpenduduk terbesar di dunia, menempati urutan ke-4 teratas. Laju pertumbuhan penduduk pun tinggi yaitu sekitar 3 juta jiwa tiap tahunnya. Menurut pakar ekonomi barat, Robert Malthus menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (2,4,8,16,dst) sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung (1,2,3,4,dst), sehingga yang terjadi apabila pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan maka pemenuhan kebutuhan tidak dapat terpenuhi dan terjadilah kemiskinan.Ledakan jumlah penduduk akan menyebabkan masalah kesehatan, lingkungan, dan ketersediaan pangan, termasuk menimbulkan persoalan sosial seperti peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran. Jika masalah kependudukan tidak bisa diatasi dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis sosial atau bahkan masalah disintegrasi bangsa.
Dalam mensukseskan program KKB ini, pemerintah menyediakan dana yang amat besar untuk memfasilitasi penyediaan layanan dan sarana program ini. Betapa strategisnya program ini, hingga lembaga donor internasional seperti The Bill and Melinda Gates Foundation juga mengucurkan tambahan dana sebesar USD 120 juta. Dana itu diberikan sampai 3 tahun mendatang, dengan target untuk memperbaiki akses kontrasepsi modern bagi 120 juta perempuan negara berkembang.
Asumsi Program KB menjadi satu investasi untuk generasi yang akan datang karena bahwa keberhasilan KB akan menekan laju pertumbuhan penduduk dan akan mengurangi beban negara untuk membiayai rakyatnya. Dalam pemikiran kapitalis selalu beranggapan bahwa biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain akan berkurang bila jumlah penduduk juga berkurang. Hal ini selaras dengan asumsi yang berkembang dalam masyarakat, bahwa makin sedikit jumlah anak akan membuat hidup lebih sejahtera. Beban keluarga lebih rendah, pengeluaran lebih sedikit dan mereka akan memiliki tabungan untuk masa depan.
Dari hal tersebut kalau mau berkaca pada sejarah kesuksesan Islam dulu dalam masalah ekonomi dan kependudukan maka Daulah Islam (negara Islam) yang sejak Rasulullah sampai kekhilafah Ustmaniyah menerapkan syariat Islam memandang bahwa penduduk itu bukanlah beban, jumlah yang banyak itu adalah rahmat sesuai dengan sabda Rasul yang menyatakan bahwa “aku bangga dengan jumlah kalian (umat Islam) yang banyak.” Pada saat Islam berjaya seperti itu, kepentingan rakyat diutamakan sehingga tidak ditemukan kesulitan ekonomi yang berarti padahal jumlah umat Islam saat itu begitu besar. Saat itu pun tetap ditemukan masyarakat kaya dan miskin, namun distribusi barang-barang kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan dijamin oleh negara. Pengelolaan sumber daya alam yang melimpah kekayaannya dikelola sendiri oleh negara, keuntungan hanya milik negara Islam sendiri, kondisi yang sangat jauh berbeda dengan Indonesia yang lebih dari 70 persen SDA Indonesia dikuasai asing. Bahkan dalam Islam sistem ekonomi bagi rakyat adalah pemenuhan kebutuhan individu per individu, bukan seperti di Indonesia yang hanya memperhatikan ekonomi makro yang dalam angka-angka tanpa memperhatikan distribusi kekayaan negara itu sudah sampai atau tidak ke individu rakyat daulah Islam.
Maka menjadikan program KB sebagai investasi untuk generasi masa depan adalah pemikiran yang dangkal dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Mengadopsi pemikiran barat yang menyatakan rakyat sebagai beban maka menunjukkan bahwa pemerintah ingin berlepas tangan dari masalah rakyatnya. Negara berlepas tangan dengan menentukan kebijakan yang berdampak pada pengurangan jumlah penduduk (depopulasi). Seharusnya, setiap negarawan memahami bahwa jumlah penduduk merupakan salah satu modal dalam pembangunan. Tentu saja penduduk yang berkualitas hanya akan dicapai ketika negara berorientasi kepada kepentingan rakyat, yang tercermin pada kesejahteraan rakyat, tingginya derajat kesehatan dan akses pendidikan yang merata dan berkualitas.
Wallahu’alam bi sawwab.