Oleh: Dwi Kirana LS, Amd.R (Anggota HELP-S)
Belum pudar dari ingatan terhadap sesosok guru besar Universitas Indonesia yang telah tutup usia pada umur 72 tahun. Hembusan napas terakhirnya saat menjalani perawatan di RS Cikini Jakarta Pusat karena gangguan pada lambung. Semasa hidup, pria asal Purwokerto ini aktif diberbagai organisasi internasional bidang psikologi. Tokoh kawakan tersebut dikenal kontroversial di akademisi, hukum dan politik satu dekade akhir hayatnya.
Sarlito Wirawan. Professor yang batal menjadi saksi ahli Ahok sipenista al Quran. Di dalam artikel tulisannya disebutkan bahwa Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Si penulis rupanya berupaya mempengaruhi pandangan masyarakat yang akan mengelar aksi bela Islam 411 (4 november 2016). Begitu pula terhadap video berlatar belakang gedung rektorat dan jas almamater yang dipakai Boby Febri, mahasiswa pasca sarjana kesehatan UI yang booming setelah diugah dalam dunia maya, mendapatkan reaksi keras dari pihak Universitas karena ditengarai bernapaskan SARA sebut sang Professor. Namun dibalik video tolak pemimpin kafir, itu telah melawan arus hasil survey yang telah dipublikasikan mengatasnamakan kampus yang memposisikan Ahok sebagai sosok orang yang paling direkomendasi berpeluang memimpin DKI dalam pilkada mendatang. Demikian pula pendapat Sarlito mengenai riset terkait sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian atau kecerdasan anak, dianggapnya tidak ilmiah dan terindikasi melakukan penipuan.
Logikal fallacy (pikiran sesat) patahkan argumentasi rasional dan ilmiah dari suatu riset penelitian, sandaran logika yang dibangun sang Professor, seperti yang dilansir pada situs Koran sindo terkait premis-premis dalam falsafat logika yang menerangkan bahwa sesat pikir itu dapat disebabkan pelanggaran salah satu dari delapan hukum silogisme atau bisa karena premis yang salah. Seperti premis berikut “Dihukum bagi penista semua agama – Ahok penista agama – Kesimpulannya Ahok dihukum.” Mungkin karena kesalahan logika inilah yang berbalik 180 derajat menjadikannya sakit dengan melihat realitas undang-undang, peraturan dan hukum yang ada seperti dalam surat edaran Mahkamah Agung no 11 tahun 1964 dan menjadi hal berpulangnya saksi ahli penista agama keharibaan Robbul Alamin.
Untuk memahami kerangka berpikir yang benar termasuk bagaimana mengukur riset dimasa sekarang kita mesti bercermin dari masa keemasan Islam. Bagaimana peran sang ilmuan ataupun mujtahid bersinergi membuat karya yang monumental untuk peradaban umat manusia yang bisa dirasa manfaatnya hingga saat ini.
Untuk memiliki kerangka berpikir terkait sesuatu hal dengan benar, diperlukan suatu pola dengan berpikir secara rasional ataupun berpikir secara ilmiah. Pola pikir rasional (thariqah aqliyah) adalah cara yang digunakan untuk memahami sesuatu. Ia merupakan proses penggunaan akal agar sampai pada tingkat pemikiran. Dengan kata lain ia adalah cara yang digunakan akal untuk menghasilkan pemikiran. Inilah metode yang biasa digunakan dalam proses berpikir. Metoda pengkajian ini yang dapat ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakekat sesuatu yang sedang dikaji, melalui penginderaan atas fakta.
Proses pencerapan tadi dilakukan melalui panca indera menuju otak, dibantu dengan pengetahuan (informasi tentang fakta tersebut) yang sudah ada sebelumnya. Proses ini menghasilkan (pengertian atas hakekat) sebuah fakta. Penetapan (hakekat atas fakta) itu dinamakan pemikiran, atau disebut juga dengan idrak aqliy.
Pola pikir rasional dapat menjangkau obyek yang dapat diindera seperti (obyek kajian ilmu) fisika, atau (obyek-obyek) pemikiran seperti (kajian tentang) akidah, syari’at, atau juga menjangkau (pemahaman atas) obyek ucapan seperti (kajian tentang) fiqih dan sastra. Pola pikir jenis ini merupakan cara yang lazim dan harus dilakukan seseorang agar sampai pada tingkatan idrak (memahami hakekat sesuatu). Proses ini mampu membentuk ‘aqlu al-asyya (memahami fakta secara obyektif tanpa memerlukan proses yang rumit-pen). Berdasarkan hal ini maka manusia mampu memahami obyek apapun yang ingin diketahuinya.
Pola pikir ilmiah adalah metode pengkajian yang dapat ditempuh untuk mengetahui hakekat sesuatu yang sedang diteliti melalui berbagai percobaan ilmiah. Akan tetapi obyeknya hanya menjangkau benda-benda yang bersifat materi (empiris), tidak dapat menjangkau obyek abstrak. Jadi tidak menjangkau obyek pemikiran yang diperoleh manusia tanpa melalui analisa laboratorium. Pola pikir ilmiah khusus dilakukan untuk ilmu-ilmu eksperimental dengan memperlakukan benda pada situasi/kondisi tertentu, bukan pada situasi/kondisi alami. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil penelitian pada kondisi alami yang telah ada (kontrol). Dari percobaan dan hasil yang diperoleh serta perbandingan yang dilakukan, maka diambil suatu kesimpulan tentang hakekat benda yang diteliti. Bentuk percobaan ini lazim dilakukan di laboratorium. Kesimpulan yang diperoleh seorang peneliti berdasarkan pola pikir ilmiah tadi menghasilkan sesuatu yang tidak pasti, hanya berupa dugaan (dzanniy). Hasil yang berupa dugaan mengandung kemungkinan keliru. Dalam pola pikir ilmiah kemungkinan terjadinya kekeliruan menjadi sebuah paradigma sesuai dengan kesimpulan yang muncul dari pola pikir ini.
Pola pikir ilmiah merupakan salah satu cabang dari thariqah aqliyah. Pola pikir ilmiah bukan asas dalam berpikir, karena bukan dasar yang di atasnya dapat dibangun sesuatu yang lain.
Pola pikir ilmiah hanya cabang dari pola pikir rasional. Apabila thariqah ilmiyah dijadikan sebagai asas, maka hal ini mengakibatkan tersingkirnya pengkajian sebagian besar pengetahuan dan hakekat atas berbagai fakta. Bahkan bisa menyebabkan gugurnya banyak pengetahuan yang dapat kita pelajari dan mengandung kebenaran. Padahal keberadaan pengetahuan itu nyata, dapat ditangkap oleh indera.
Riset di bidang sains dan teknologi tidak banyak berbeda dengan ijtihad. Dan seorang mujtahid dibidang hukum syara’. Kedua sama-sama mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan jawaban suatu persoalan. Yang satu persoalan teknis, yang lain persoalan hukum. Mujtahid mencari jawaban itu dari dalil-dalil syara’, sedang ilmuwan mencari dari metode experimental (ilmiah) atau metode rasional untuk menurunkan pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah ada. Ilmuan memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subjek-subjek teknologis berdampingan dengan telaah teoritisnya. Sebut saja al-I’lam bi-manaqib al-Islam karya al-Amiri, dalam menggambarkan mekanika atau rekasa al-Amiri menulis bahwa mekanika merupakan disiplin yang menerapkan matematika dan ilmu alam. Mekanika memampukan seseorang mengambil air yang tersuruk di bawah tanah, juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengangkut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan banyak hal lain, yang jika disebutkan semua membutuhkan banyak ruang.
Ilmuwan dan rekayasawan (muhandisun) mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Kholifah dan Sultan dekat serta hormat pada mereka. Dan seperti mujtahid, ilmuan di masa itu juga berani menyampaikan fakta ilmiah, sekalipun boleh jadi bertentangan dengan opini masyarakat atau penguasa. Kasus permintaan penghentian proyek Sultan Mesir dalam membendung sungai Nil. Al-Haitsam menyimpulkan dengan tehnologi yang dimiliki mustahil sungai Nil dapat dibendung, yang artinya proyek Sultan mesti dibatalkan. Akibat dari sikapnya itu, dia harus mengalami tahanan rumah bertahun-tahun dengan tuduhan gila.
Ada sejarahwan yang menulis bahwa dia memang pura-pura gila untuk menghindari hukuman akibat wanprestasi. Kedua hal ini tidak pernah diklarifikasi. Dalam tahanan, alHaitsam justru berhasil meriset dan membuat kitab dasar-dasar optika, yang telah membebaskan dia dari tahanan.
Dunia sains dan teknologi, secara umum meski kholifah silih berganti, namun komitmen pada dunia ilmiah nyaris tidak berubah. Para ilmuwan disediakan dana yang nyaris tidak terbatas, selama hasil penelitian mereka sebelumnya terbuktik dapat diterapkan secara praktis. Bahkan di bidang ilmu dasar seperti astronomi dan matematika pun para peneliti wajib menjadikan masyarakat paham, atau minimal “terhibur” dengan ilmu. Majelis-majelis sains dan teknologi ramai dikunjungi khalayak. Karena itulah orang-orang kaya juga terpancing ikut mensponsori penelitian.
Wakaf suatu perpustakaan atau laboratorium menjadi tren. Sultan dan aghniya’ bersaing agar namanya diabadikan menjadi nama suatu tabel astronomi yang berguna dalam navigasi, nama atlas dunia baru, atau nama ensiklopedia baru. Setiap seorang ilmuwan selesai menulis sebuah buku, buku ini langsung dilelang. Tidak sedikit aghniya’ yang menawar dengan emas seberat beberapa kali lipat timbangan buku itu. Setelah dilelang, buku itu akan diserahkan ke perpustakaan dan ratusan waraqien, atau tukang salin, akan menyalinya dengan tangan untuk disebar ke masyarakat. Buku itu, beserta ilmu di dalamnya menjadi milik publik. Dan sang ilmuwan, dengan emas yang didapatnya, dapat meneliti kembali untuk menghasilkan karya selanjutnya.