Oleh: dr. Baiq Jatna Atmawati
Dunia masih dihebohkan dengan Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19. Per tanggal 13 Maret 2020, telah ditetapkan oleh WHO sebagai Pandemi. Artinya semua negara bisa berpotensi terkena wabah ini. Tidak terkecuali, Indonesia saat ini sudah ditetapkan sebagai negara terjangkit karena dilaporkan telah terjadi transmisi lokal di beberapa kota.
Jumlah korban di seluruh dunia semakin hari semakin meningkat. Jumlah kasus positif per tanggal 16 maret 2020, mencapai 169.610 orang dengan total meninggal 6.518 orang. Sedang jumlah kasus positif di Indonesia sebanyak 117 orang positif dengan total meninggal 5 orang. Wajar jika para ahli, menyebutnya sebagai virus dengan penularan yang sangat cepat atau super spreader.
Hingga saat ini, wabah ini masih membuat masyarakat panik. Pasalnya harga kebutuhan pokok meningkat, harga masker melambung dan langka, hingga di fasilitas kesehatan pun mulai minim. Petugas medis pun dibut ketar ketir. Bagaimana tidak, mendengar bagaimana kesiapan di lapangan, membuat kita menghela nafas panjang, mereka yang akan berperang langsung melawan Corona namun ternyata, minim senjata.
Beberapa waktu lalu petugas medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.Slamet Garut terpaksa menangani pasien dalam pemantauan corona dengan menggunakan jas hujan karena stok pakaian Hazmat kosong (Detik.com). Miris, Padahal perlindungan jas hujan tidak sama sebagaimana pakaian hazmat. Tentu pori-porinya jauh lebih besar sedang pakaian hazmat dibuat dengan teknologi khusus agar impermiabel atau tidak menyerap, sehingga potensi untuk kontak dengan virus sangat kecil.
Bayangkan saja, di tengah pandemi Corona, alat pelindung diri seperti masker dan Hazmat suit (Hazardous materials suit) atau yang anda lihat mirip dengan pakaian astronot itu minim, bahkan kosong. Bagaimana jika kita di posisi mereka?
Permasalahan di tingkat faskes primer pun sama. Ketidaksiapan dalam hal perujukan, karena minimnya masker serta tidak adanya pakaian khusus ruangan isolasi yang bisa digunakan, membuat para tenaga kesehatan, mengelus dada. Wajar jika muncul perasaan takut untuk merawat serta merujuk pasien suspek atau PDP (pasien dengan pengawasan) maupun yang sudah positif. Juga tidak heran jika beberapa negara underestimated melihat bagaimana kesiapan penanganan kasus Corona di Indonesia.
Terbayang, bagaimana perasaan para tenaga kesehatan saat ini? Berperang dengan alat seadanya, masker minim, APD (alat pelindung dir) yang lain bahkan kosong. Belum lagi tidak ada Jaminan kesehatan bagi mereka, semua tenaga kesehatan menjamin diri mereka sendiri, ada yang dengan asuransi, ada juga yang tidak. Kesejahteraan bagi mereka juga tidak terjamin, di tengah wabah virus corona, harga-harga kebutuhan pokok makin tinggi, tidak sedikit dari mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup karean gaji minim, boro-boro dapat insentif, (bagi yang honorer) beruntung jika dibayarkan tepat waktu, karena sering juga dibayar terlambat. Namun profesionalitas dan totalitas kerja terus menjadi tuntutan bagi mereka. Sungguh miris nasib tenaga medis zaman kapitalisme ini.
Saat ini siapa yang bisa peduli dengan mereka? Mereka mau mengadu kepada siapa? Jika mengeluh, dianggap tidak ikhlas dan tidak peduli kemanusiaan. Lantas siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas mereka?
Jika demikian adanya, bisakah kita membayangkan, bagaimana mereka bisa tenang merawat pasien yang sedang sakit. Sedang mereka tidak ada yang menjamin penjagaan atas kesehatan, keselamatan serta jaminan kebutuhan pokok mereka. Padahal seharusnya, jaminan kesehatan, keamanan dan kebutuhan pokok adalah tanggung jawab negara kepada seluruh rakyatnya.
Hanya Islam yang bisa memuliakan tenaga kesehatan
Sungguh ironis negeri kaya gemah ripah loh jinawe ini, menyediakan APD bagi tenaga kesehatan saja tidak mampu, gagal pula menjamin keamanan, keselamatan dan kesejahteraan mereka. Begitulah jika kita masih tetap mempertahankan kapitalisme. Sistem yang lahir dari asas fasad, sekulerisme, yaitu pemisahan aturan agama dari kehidupan berbangsa. Sistem ini telah terbukti, tidak bisa memuliakan manusia, bahkan di negara asalnya Barat, sistem ini telah gagal.
Inilah saatnya, umat Islam kembali kepada aturan Allah SWT, yang lahir dari aqidah Islam. Karena hanya dengannya manusia bisa dimuliakan, hanya dengan menerapkan aturanya secara menyeluruh negeri ini akan diberkahi serta dirahmati oleh Allah SWT Pemilik dunia dan seisinya. Sebagaimana dalam FirmanNya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatanya.”(TQS. Al-A’raf: 96)
Dalam sistem islam, Jangankan hanya APD, jaminan kebutuhan pokok seluruh warga negara pun wajib dipersiapakan dengan baik, Jaminan kesehatan seluruh warga negara dijamin dan dipersiapkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, menjamin kebutuhan pokok seluruh masyarakat serta menjamin kesejahteraan bagi seluruh pegawai pemerintahan, apalagi para tenaga kesehatan yang saat ini ilmu, jasa dan tenaga mereka sangat dibutuhkan dalam penanggulangan wabah ini.
Selain itu, negara wajib, mendidik para tenaga kesehatan, agar memiliki kepribadian Islam. Sehingga selalu ikhlas dan siap menjadi yang terdepan menolong sesama manusia dan motivasi tertinggi mereka adalah Ridho Allah SWT. Mereka harus dipahamkan bagaimana keutamaan-keutamaannya, bahkan Allah janjikan kepada mereka pahala yang sangat besar, jika mereka berusaha dengan ikhlas karena Allah ingin menolong dan menyelamatkan nyawa manusia. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS. Al-Maidah: 32)
Allah pun berjanji akan memudahkan segala urusannya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW.
“Barangsiapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa yang menajdikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di Akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong Saudaranya.“ (HR. Muslim)
Support system kebijakan politik juga sangat mereka butuhkan. Dengan mewajibkan sistem lockdown, maka negara harus memastikan agar di negerinya tidak ada WNA yang masuk khsususnya bagi negara terjangkit, dan warga dalam negerinya pun tidak boleh keluar, bahkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, lockdown dilakukan di tingkat kota tepatnya di wilayah Syam. Hal ini dilakukan karena sesuai dengan hadist Rasulullah SAW:
Rasulullah SAW, pernah bersabda: ”…jika kalian mendengar ada wabah Thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun bila wabah thaun itu menyebar ke negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.”(HR. Bukhari-Muslim)
Tidak berhenti, sampai disitu, setelah Abu Ubaidah Al-Jarrah Gubernur Syam kala itu, meninggal dunia karena wabah tersebut. Digantikanlah Muadz bin Jabbal, beliaupun juga meninggal. Khalifah umar kemudian mengganti beliau dengan Amr bin Ash. Beliau Ra, mengambil kebijakan kala itu dengan social distancing. Dengan memerintahkan warga syam untuk tidak berkumpul dan tinggal berpencar ke tempat yang tinggi seperti gunung-gunung. Akhirnya upaya ini membuahkan hasil, atas izin Allah wabah tersebut, berhasil beliau atasi.
MasyaAllah, Jikalaulah seluruh aturan dari Allah ini dilaksanakan dengan baik, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, dan para Khulafaur Rasyidin setelahnya. Tentu para tenaga medis tidak akan menjerit, dan mereka akan bekerja dengan tenang dan ikhlas bahkan siap “syahid” di medan perjuangannya.
Saya mengajak kita semua, semoga Allah melindungi para tenaga kesehatan, dan Allah ganjar setiap keringatnya dengan pahala yang berlipat, serta Allah ganti pengorbanannya dengan Syurga. Amin Allahuma Amin
https://medium.com/@jatna.atmawati_43529/jeritan-hati-tenaga-kesehatan-di-tengah-wabah-virus-corona-6628799e0a54