Kritik Islam Terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam Atasnya

Share

Oleh: dr. Faizatul Rosyidah

HIV/AIDS adalah Penyakit Perilaku
HIV (Human Imunodefisiensi Virus) adalah virus penyebab lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Kumpulan gejala akibat lumpuhnya sistem kekebalan tubuh ini dikenal sebagai AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Selanjutnya penyakit ini dikenal dengan nama HIV/AIDS yang didefinisikan sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexual transmited disease),1 karena hubungan seksual merupakan penularan pertama dan utamanya.2,3

HIV/AIDS menjadi ancaman yang sangat serius bagi umat manusia saat ini. Karena, sekali seseorang terinfeksi HIV, ia akan menjadi pengidap HIV/AIDS seumur hidupnya. Dan pada fase AIDS, berbagai penyakit akan mudah menjangkiti hingga berakhir pada kematian.2,4 Selain itu, hingga saat ini, belum ditemukan obat ataupun vaksin, selain yang hanya sekedar memperlambat perkembang-biakan virus.5,6

Infeksi HIV/AIDS pertama kali ditemukan di kalangan gay San Fransisco, tahun 1978. Dan pada tahun 1981, kasus AIDS yang pertama ditemukan di kalangan gay ini.7 Selanjutnya AIDS merebak di kota-kota besar Amerika seperti New York, Manhattan juga di kalangan homoseksual. Inilah yang menjadi bukti bahwa penyakit berbahaya ini berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang. Selanjutnya, budaya seks bebas pula yang menjadi sarana penyebaran virus HIV/AIDS secara cepat dan meluas di Amerika hingga ke seluruh penjuru dunia.7 Peranan seks bebas dalam penularan HIV/AIDS ini dibenarkan oleh laporan survey CDC Desember 2002 dan hal ini semakin jelas terlihat dari pola penularan HIV/AIDS ke seluruh dunia.

Pola pertama, ditemukan pada kalangan homoseksual, biseksual, dan pencandu obat bius. Ini terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan sebagian Amerika.7 Hingga akhir tahun 2005 di Amerika Serikat, transmisi melalui kontak seksual tetap menempati urutan teratas (72%).8 Pola kedua, ditemukan di kalangan heteroseksual dan ini terjadi di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Timur, dan beberapa daerah Karibia. Kasus AIDS pada daerah ini sejalan dengan adanya perubahan sosial dan maraknya industri prostitusi. Sementara pola ketiga ditemukan di Eropa Timur, daerah Mediteranian Selatan, dan Asia Pasifik. Di sini penularan terjadi melalui kontak homoseksual dan heteroseks.7
Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar, Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas. Penyakit ini ditemukan pada seorang turis Belanda dengan kecenderungan homoseksual yang kemudian meninggal April 1987. Orang Indonesia pertama yang meninggal dalam kondisi AIDS juga dilaporkan di Bali, Juni 1988.9,10 Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks bebas.10 Hingga sekarang kondisi ini terus berlangsung.11
Ancaman serius HIV/AIDS semakin bertambah nyata. Jumlah penderita HIV/AIDS meningkat sangat cepat, mengikuti deret ukur dan menimpa usia produktif. Mark Stirling, Direktur UNAIDS menyatakan bahwa HIV adalah epidemi mematikan dan terburuk yang pernah dihadapi manusia.12 Betapa tidak, setiap menit 4 orang berusia 15-24 tahun di dunia terinfeksi HIV. 13

Data UNAIDS menunjukkan bahwa sejak 5 Juni 1981, HIV membunuh lebih dari 25 juta manusia.12 Sementara itu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat bahwa hingga Desember 2006, di dunia, terdapat 39,5 juta penderita HIV/AIDS, 37,2 juta adalah remaja, 2,3 juta usia kurang dari 15 tahun.14

Di Indonesia, menurut Ditjen P2MPL-Depkes RI, Subdit AIDS & PMS, hingga akhir September 2006, tercatat 11.604 kasus HIV/AIDS. Sebagaimana fenomena gunung es, diperkirakan kasus sebenarnya 90-120 ribu, dan 53% mengenai kelompok usia 20-29 tahun,15 bahkan Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia, Prof. Dr. Zubairi Djoerban memperkirakan sudah 200 ribu kasus dan menegaskan telah terjadi ledakan HIV/AIDS di Indonesia.16 Sementara itu diperkirakan jumlah yang rawan tertular HIV 13 juta hingga 20 juta,6 ini pada tahun tahun 2002, tentu sekarang jumlahnya jauh lebih besar. Begitu mengkhawatirkan kasus HIV/AIDS di Indonesia, hingga baru-baru ini KPAN menyatakan status darurat dalam penyebaran HIV/AIDS. 17

Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU akibat loss kontrol. Selain itu, adanya kelompok “baik-baik” yang tertular HIV/AIDS oleh pelaku seks bebas dan IDU, seperti suami yang suka jajan ke istri, istri ke anak, pada hakekatnya berawal dari dibiarkan dan dipeliharanya perilaku seks bebas di tengah masyarakat. Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.”18

Kritik Islam Terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS berbasis Sekulerisme-Liberalisme
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia secara umum mengadopsi strategi yang digunakan oleh UNAIDS dan WHO. Kedua lembaga internasional ini menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS, antara lain: kondomisasi, Subsitusi Metadon dan Jarum Suntik Steril. Upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah KPAN.

a. Kondomisasi
Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.10,11 Kampanye pengunaan kondom awalnya dipopulerkan melalui kampanye ABCD. ABCD, yaitu A:abstinentia; B:be faithful; C:condom dan D:no Drug.22

Saat ini kampanye penggunaan kondom semakin gencar dilakukan melalui berbagai media, seperti buklet-buklet,23,24 melalui station TV nasional, seminar-seminar, penyebaran pamflet-pamflet dan stiker dengan berbagai macam slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk ‘safe sex’.25

Kampanye kondom tak jarang dilakukan dengan membagi-bagikan kondom secara gratis di tengah-tengah masyarakat seperti mall-mall dan supermarket. Kampanye tentang kondom juga telah masuk ke beberapa perguruan tinggi, sekolah-sekolah bahkan meskipun mengundang banyak penolakan kini telah diluncurkan program ATM (Anjungan Tunai Mandiri) kondom. Hingga akhir Desember 2005 telah ada 6 lokasi ATM kondom di Jakarta yaitu di BKKBN pusat, RSPAD Gatot Subroto, Mabes TNI AD, poliklinik Mabes Polri, Dipdokkes polda Metro Jaya, dan klinik Pasar Baru.25

Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.

Mengapa bersifat semu? Karena selain seks bebas akan tetap dimurkai Allah swt meskipun menggunakan kondom, ternyata kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron,26 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.27 Selain itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan karena selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin,28 sehingga 36-38% sebenarnya tidak dapat digunakan.29 Dengan demikian, alih-alih sebagai pencegah, kondom justru mempercepat penyebaran HIV/AIDS. Hal ini terbukti adanya peningkatan laju infeksi sehubungan dengan penggunaan kondom 13-27% lebih.30
Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US:CDC:United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%.25

Selain kondom untuk pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.31,32 Ada yang berupa diafragma, yaitu kantong plastik berbentuk tabung yang dimasukkan ke dalam vagina. Diakui, kondom ini berisiko tinggi gagal mencegah kehamilan,33 apalagi untuk mencegah penularan HIV. Adapun kondom perempuan yang berupa hidrojel, selain masih diragukan keampuhannya mencegah penularan HIV, juga berpotensi menimbulkan berbagai hal yang mempermudah penularan HIV, seperti peradangan.34

Mencermati uraian di atas, jelaslah bahwa kondomisasi, apapun alasannya, sama saja dengan menfasilitasi seks bebas yang merupakan sarana penularan utama HIV/AIDS. Dan HIV/AIDS je as-jelas membahayakan kehidupan. Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian, kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.

b. Subsitusi Metadon dan Pembagian Jarum Suntik Steril
Penyebaran HIV/AIDS yang sangat cepat akhir-akhir ini diperkirakan karena penggunaan jarum suntik secara bergantian dikalangan IDU yang jumlahnya semakin banyak. Hal ini dijadikan alasan untuk mensahkan tindakan memberikan jarum suntik steril dan subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik.

Saat ini, strategi subsitusi metadon dalam bentuk Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dan pembagian jarum suntik steril telah menjadi salah satu layanan di rumah-rumah sakit, puskesma-puskemas dan di klinik-klinik VCT (voluntary Counseling and Testing). DepKes menyediakan 75 rumah sakit untuk layanan CST (Care Support and Treatmen),11 tercatat 18 Puskesmas percontohan, 260 unit layanan VCT yang tersebar di seluruh Indonesia.15
Melalui layanan ini, para penasun (pengguna NARKOBA suntik) dapat dengan mudah memperoleh jarum suntik dan metadon dengan harga cukup murah, yaitu sekitar Rp7500/butir. Kehidupan para penasun yang lebih teratur, tidak melakukan tindak kriminal selalu diopinikan untuk membenarkan upaya ini.35 Namun benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak, mengapa?

Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis. Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental,36 termasuk metadon. Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif.5 Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku,36 sehingga terjadi kehilangan kontrol dan menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya pada perilaku seks bebas. Perilaku seks bebas pada pasien yang mendapat terapi subsitusi metadon juga diakui oleh dokter yang berkerja pada salah satu program terapi rumatan metadon di Bandung.37 Sementara itu seks bebas merupakan media penularan terpenting HIV/AIDS.

Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas sulit di terima. Mengapa? Fakta menunjukkan bahwa peredaran NARKOBA di masyarakat berlangsung melalui jaringan mafia yang tertutup, rapi dan sulit disentuh hukum. Jaringan tersebut bersifat internasional, terorganisir rapi dan bergerak dengan cepat.38 Selain itu, sekali masuk perangkap mafia NARKOBA sulit untuk melepaskan diri. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. Dan setiap pemakai biasanya memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.36

Dalam kondisi lemahnya ketaqwaan, himpitan ekonomi yang semakin berat, siapa yang bisa menjamin bahwa para pelayan penasun tidak akan “bermain mata” dengan para mafia narkoba? Bukankah bisnis haram ini menjanjikan untung yang mengiurkan? Dan bukankah ini justru membiarkan penasun sebagai penyalah guna NARKOBA? Siapakah yang bisa melakukan pengawasan 24 jam terhadap penasun, sehingga penasun dapat dipastikan akan menggunakan jarum sendiri?

Dengan demikian, memberikan jarum suntik meskipun steril, di tengah-tengah jeratan mafia NARKOBA sama saja menjerumuskan pada penyalahgunaan NARKOBA, sehingga jumlah penasun justru kian membengkak. Dan yang penting lagi adalah para pengguna narkoba meskipun menggunakan jarum suntik steril tetap berisiko terjerumus pada perilaku seks bebas akibat kehilangan kontrol.

Dengan demikian, telah jelas bahwa penanggulangan HIV/AIDS melalui kondomisasi, subsitusi metadon dan pembagian jarum suntik steril sebenarnya tidak realistis. Kebebasan seks yang sangat nyata dalam upaya ini memastikan bahwa upaya tersebut terlahir dari paham liberalisme.37 Suatu paham yang menjadikan kebebasan individu sebagai hal yang diagung-agungkan, atas nama hak asasi manusia. Ketika terbukti bahwa seks bebas adalah sumber penularan HIV/AIDS yang sangat cepat, dan strategi liberal ini justru menfasilitasi perilaku seks bebas, tidakkah berarti ini justru jalan yang melapangkan kehancuran dan kepunahan suatu bangsa?

Islam: Strategi Jitu Hadapi HIV/AIDS
Islam sebagai agama yang sempurna, telah menjadi keyakinan mayoritas bangsa, termasuk di Indonesia selama berabad-abad. Penerapan aturan Islam akan membawa maslahat dan rahmat bagi seluruh umat manusia baik muslim maupun non muslim.38,39 Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur’an :
” Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad ) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.”
Allah Swt yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Benar dan tidak mempunyai kepentingan terhadap manusia tentu menciptakan peraturan-peraturan bagi manusia demi kepentingan (kemaslahatan) manusia. Solusi Islam meliputi dua hal: a. Preventif, b. Kuratif

Solusi Preventif
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
1. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berkholwat (berduaan/pacaran). Sabda Rasulullah Saw: ‘Laa yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha syaithan’ artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR Baihaqy)
2. Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya. Allah Swt berfirman:“Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan” (QS al Isra’[17]:32)
3. Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks (laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ). Firman Allah Swt dalam surat al A’raf ayat 80-81 : “ Dan (kami juga telah mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka : Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.( TQS. Al A’raf : 80-81)
4. Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi’ ibnu Rifa’a pernah bertutur demikian: ’ Nahaana Shallallaahu ’alaihi wassalim ’an kasbi; ammato illa maa ’amilat biyadaiha. Wa qaala: Haa kadza bi’ashobi’ihi nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.’artinya: “Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.”
5. Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta mengharamkan narkoba. Sabda Rasulullah Saw :“Kullu muskirin haraamun” artinya : “Setiap yang menghilangkan akal itu adalah haram (HR. Bukhori Muslim)
“Laa dharaara wa la dhiraara” artinya : ”Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara seks bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS .
6. Amar ma’ruf nahi munkar yang wajib dilakukan oleh individu dan masyarakat.
7. Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina. Pelaku zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru muhshan dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum mati; dan penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas yaitu pemilik media porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari, backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan dibubarkan.

Solusi Kuratif
Orang yang terkena virus HIV/AIDS, maka tugas negara untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka. Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhori ). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).40

Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas,39 perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Selama karantina seluruh hak dan kebutuhan manusiawinya tidak diabaikan.
b. Diberi pengobatan gratis.
c. Berinteraksi dengan orang – orang tertentu di bawah pengawasan dan jauh dari media serta aktifitas yang mampu menularkan.
d. dilakukan upaya pendidikan yang benar tentang HIV-AIDS kepada semua kalangan disertai sosialisasi sikap yang diharapkan dari masing-masing pihak/kalangan (komunitas ODHA/OHIDA, komunitas resiko tinggi, komunitas rentan)
e. dilakukan pendidikan disertai aktivitas penegakan hukum kepada ODHA yang melakukan tindakan yang ’membahayakan’ (beresiko menularkan pada) orang lain
f. Pembinaan rohani, merehabilitasi mental (keyakinan, ketawakalan, kesabaran) sehingga mempecepat kesembuhan dan memperkuat ketaqwaan. Telah diakui bahwa kesehatan mental mengantarkan pada 50% kesembuhan.25
g. Dilakukan pemberdayaan sesuai kapasitas
Di sisi lain, jika selama ini penyakit seperti HIV/AIDS belum ditemukan obatnya maka negara wajib menggerakkan dan memberikan fasilitas kepada para ilmuwan dan ahli kesehatan agar secepatnya bisa menemukan obatnya.

Jalan Menuju Terwujudnya Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Perspektif Islam
a. Upaya Jangka Pendek
• Melakukan telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi strategi penanggulangan HIV-AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi UNAIDS) di satu sisi, dan mulai memperkenalkan solusi Islam sebagai strategi alternatif penanggulangan HIV-AIDS yang seharusnya mulai diambil pada sisi yang lain
• Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada individu stakesholder yang muslim (KPA, MPA, Medis, paramedis, dll) level daerah/lokal
• Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada tokoh-tokoh muslim yang menjadi simpul-simpul umat
• Penguatan aqidah, keimanan dan konsekuensi untuk berhukum dengan sistem Islam
• Pembinaan ummat secara ideologis (aqidah, syari’ah dan dakwah) untuk memperjuangkan tegaknya Islam kaffah

b. Upaya Jangka Menengah
• Mulai memblow-up hasil telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi strategi penanggulangan HIV AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi UNAIDS) ke masyarakat dan media
• Mulai memblow-up solusi Islam sebagai strategi alternatif penanggulangan HIV-AIDS yang seharusnya diambil ke masyarakat dan media
• Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada instansi stakesholder (KPA, MPA, Medis, paramedis, dll) level daerah/lokal hingga pusat
• Memulai aktivitas mengoreksi penguasa tentang kebijakan dekstruktif
• Memulai aktivitas mengoreksi pihak legislatif akan perundang-undangan yang menjadi bagian kebijakan dekstruktif
• Mengingatkan masyarakat luas dan pemerintah akan bahaya NGO-NGO komprador
• Mengingatkan NGO-NGO ‘Komprador’

c. Upaya Jangka Panjang
• Secara terus menerus mengungkap kebobrokan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme-sekulerisme dalam semua bidang dan konspirasi global di belakangnya
• Secara terus menerus mengupayakan lahirnya pemahaman dan kesadaran umat (masyarakat) akan Islam sebagai solusi problematika kehidupan mereka dalam seluruh aspek kehidupan menggantikan sistem kapitalisme-sekulerisme yang nyata-nyata telah membawa kerusakan kehidupan
• Mengupayakan terwujudnya sebuah kekuatan politik –pada saatnya nanti- yang bisa menghadapi konspirasi global negara-negara neoimperialisme dan multi national corp di negeri-negeri Islam yaitu kekuatan Daulah khilafah Islamiyyah (negara yang akan menyatukan seluruh potensi umat dan menerapkan sistem Islam sebagai sistem kehidupan secara kaaffah) dengan dukungan umat.

Kesimpulan
Mendudukkan masalah:
1. HIV-AIDS adalah Penyakit yang muncul dan menyebar karena adanya penyimpangan perilaku. Kalaupun ada kasus yang terjadi BUKAN karena adanya/melakukan penyimpangan perilaku adalah karena kasus primernya ‘dibiarkan’ atau tidak tertangani dengan baik.
2. Akar masalah tingginya HIV-AIDS di Indonesia adalah multi sector: mulai dari level individu (kualitas keimanan & control diri yang lemah, integritas kepribadian yang rendah, penyakit wahn, dsb), level masyarakat (tatanan kehidupan yang sekuleristik-materialistik, budaya hedonis, control social yang lemah, dsb), level Negara (kebijakan yang tidak populis, hak-2/kebutuhan mendasar warga Negara yang terabaikan, pemiskinan structural, system hukum yang lemah, birokrasi korup, lemah terhadap tekanan/intervensi asing, dsb)  merupakan persoalan yang kompleks yang tidak hanya melibatkan sector kesehatan tetapi juga pendidikan, ekonomi, hukum, pemerintahan, religiocultural, sehingga upaya penyelesaian yang harus diambil juga harus multi sektoral, multidisipliner.
3. paradigma berfikir yang digunakan untuk menyusun strategi penanggulangan haruslah paradigma berfikir ideal, visi/misi ideal dengan target ideal berdasarkan konsep normative ideal dengan menjadikan realitas kerusakan yang ada sebagai obyek perubahan. BUKAN paradigma berfikir yang menjadikan realitas sebagai sumber konsep sehingga yang terjadi adalah ‘mengalahkan idealisme’ dengan realita rusak yang ada.
4. Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga saat ini, maka prinsip penanganan terpenting adalah PUTUSKAN mata rantai dengan UPAYA PENCEGAHAN.
5. Upaya pencegahan yang dilakukan haruslah hingga bertarget ideal : 0% kasus baru. Dilakukan dengan cara:
a. Mencegah kemunculan perilaku beresiko/penyimpangan perilaku sejak dini.  Harus lahir generasi-generasi baru yang tidak melakukan free sex/ngedrugs. Tanggung jawab ini justru lebih melibatkan sektor non kesehatan. Dengan mewujudkan keshalihan individu dan jama’iy (masyarakat). Dilakukan mulai dari pendekatan ‘edukasi’ yang bersifat seruan, mewujudkan sistem kehidupan yang kondusif bagi lahirnya generas-generasi baru yang ‘baik’, hingga ‘pemaksaan’ dalam bentuk menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang menapaki/membuka jalan ke arah terjadinya penyimpangan perilaku.
b. Mereka yang saat ini secara de facto adalah orang-orang yang melakukan penyimpangan perilaku/ perilaku beresiko harus dibikin BERHENTI dari penyimpangan perilakunya sekarang juga, dan tidak akan kembali lagi melakukan penyimpangan perilaku. Tanggung jawab ini pun ‘masih’ lebih banyak melibatkan sector non kesehatan untuk melakukan. Dilakukan mulai dari pendekatan edukasi yang bersifat seruan, mewujudkan dukungan system seperti memastikan kebutuhan mendasar WN terpenuhi, hingga ‘pemaksaan’ dalam bentuk menjatuhkan sanksi tegas bagi siapa saja yang tidak mau tobat/berhenti
c. Mereka yang saat ini terbukti terinfeksi harus ditangani dengan ‘tepat’ dan menutup kemungkinan terjadinya penularan dari mereka yang terinfeksi kepada mereka yang sehat. Tanggung jawab ini melibatkan sector kesehatan, namun juga sector non kesehatan. Dilakukan dengan membangun kewaspadaan terhadap penularan HIV-AIDS melalui edukasi ke semua kalangan

Kritik Islam Terhadap Stranas 2007-2010
1. Masih sarat dengan asumsi-asumsi dan permakluman terhadap penyimpangan perilaku yang menjadi sebab muncul dan berkembangnya HIV-AIDS ini. Contoh: asumsi bahwa perilaku menyimpang tidak akan pernah bisa dihilangkan, prostitusi tidak bisa dihapuskan, dsb sehingga seringkali idealisme dikalahkan oleh asumsi tadi. Misal kampanye perilaku seks sehat: tidak bisa tegas dengan hanya memberi opsi Abstinensia/puasa seks sebelum menikah, tetapi selalu bernuansa ‘kalau bisa’ dengan memberikan pilihan lain ‘kalau tidak bisa’. “Jangan ngeseks bebas’ kalau bisa, kalau tidak bisa “setialah/jangan ganti-ganti pasangan/mitra seks” (lepas dari halal-haramnya), kalau tidak bisa setia ‘jangan lupa pakai kondom’. Kalau bisa berhentilah dari narkoba suntik, kalau tidak bisa ‘pakailah jarum suntik sendiri-sendiri jangan bergantian’, dan sebagainya
2. Tidak memiliki visi/misi dan target ideal untuk melahirkan generasi baru yang ‘bersih’ dari hal-hal yang mengarah pada kemunculan perilaku beresiko. Andalan strategi pencegahan bertumpu pada upaya edukasi yang ‘hanya’ bersifat seruan dan minus upaya mewujudkan system dan kebijakan kondusif maupun kebijakan yang bersifat memaksa. Di sektor hulu: andalan pelaku adalah para pendidik, agamawan, LSM sementara negara ‘kurang jelas’ perannya.
3. Terkait dengan upaya merubah perilaku beresiko menjadi perilaku aman juga sangat absurd dan bersifat aman semu. Misal seseorang yang tidak bisa menghentikan kebiasaan bergonta-ganti pasangan seks (beresiko) diupayakan dirubah menjadi perilaku seksnya lebih ‘aman’ dengan mewajibkan kondom. Seseorang yang masih pake narkoba suntik supaya lebih aman diberi jarum suntik steril gratis. Sementara upaya intervensi perubahan perilaku (BCI=behaviour change intervention) hanya bertumpu pada seruan dan minus pemaksaan oleh negara.
4. Pelaku utama penangulangan adalah LSM dan masyarakat. Sehingga terjadi ketidakefektifan karena:
– keterbatasan kapasitas LSM dan masyarakat dalam hal kewenangan. Kewenangan yang dimiliki hanya bersifat seruan dan paling tinggi pemberian sanksi yang bersifat sosial saja, yang mana akan tidak efektif ketika bertemu dengan kasus-kasus yang membutuhkan pemaksaaan oleh sistem/negara.
– keterbatasan dana sehingga tidak dipungkiri seringkali LSM atau masyarakat mendapatkan dana dari ‘asing’ yang seringkali pula tidak ‘steril’ dari maotivasi politis tertentu mereka.
– Tidak menyinggung/menyentuh upaya mewujudkan sistem pendidikan, ekonomi, hukum, birokrasi, sosial budaya kondusif
5. Paradoks kampanye anti diskriminasi ODHA: perjuangkan HAM segelintir orang, Abaikan HAM orang banyak/masyarakat luas, ketika yang disebut sebagai ‘diskriminasi’ tersebut hakikatnya adalah ‘penanganan yang tepat’
6. Kampanye Anti diskriminasi ODHA seringkali diiringi upaya mereduksi pemahaman bahwa HIV-AIDS adalah penyakit yang muncul karena penyimpangan perilaku, ada upaya mengaburkan fakta bahwa sebenarnya efek spiral itu pun terjadi berawal dari adanya penyimpangan perilaku yang tidak segera ‘tertangani dengan baik’.
Wallahu A’lam Bish Showab.

——————————————————–
Daftar Pustaka
1. Holmes KK et al.Sexual Transmitted Diseases.Ed 3th. New York:McGraw-Hill, 1999.
2. Brooks, GF et al. Medical Microbiology.Ed.20th. Terjemahan.EGC:Jakarta, 1995.
3. WHO. An Orientation to HIV/AIDS Counselling. A Guide for Trainer. Regional Office for South-East Asia. New Delhi, 2002.
4. Murray, P.R., Rosenthal, K.S., Pfaller,M. A. Medical Microbiology, fifth edition. Elsevier Mosby. 2005.
5. Ganiswarna , S. G. Rianto S, F. D. Suyatna, Purwantyastuti dan Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. 2003. Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.
6. Direktorat Jenderal. P2MPL-DepKes. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagai ODHA. DepKes RI. Jakarta, 2003.
7. Tjokronegoro A, Djoerban Z dan Matondang C. S. Seluk Beluk AIDS yang Perlu Anda Ketahui. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1992.
8. UNAIDS:Estimeted number of persons living the HIV/AIDS at the end of 2005 in USA.
9. WHO. HIV/AIDS Strategic Framework for WHO South-East Asia Region 2002-2006. Regional Office for South-East Asia.New Delhi, 2002.
10. KPAN. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, 2003.
11. KPAN. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, 2007.
12. AIDS Bunuh 25 juta orang. Jawa Pos, 5 Juni 2006.
13. Sexual Health Exchange. www. Sexualhealthexchange. 2004/3-4.
14. CDC. Global Summary of The AIDS Epdemic December 2006.
15. Priohutomo S. Kebijakan Pengendalian HIV/AIDS. Dirjen P2PL-Depkes RI. Seminar TB-HIV Sahid Jaya Hall. 11-12 Desember 2006.(hand out).
16. AIDS Setelah Dua Dekade. Ledakan HIV/AIDS sudah terjadi di Indonesia.Republika. 27 Mei 2007.
17. Rohaniawan Akan Bantu Atasi HIV/AIDS. Koran Tempo, 5 Mei 2007.
18. Info KesPro. Berita Aids yang Menyesatkan. Radar Jember, 11 Desember 2006.
19. Kompas 24 Mei 2007. “Mudah Hidup Dengan ODHA Perempuan.”
20. Djauzi,S dan Djoerban, Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar.Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2002.
21. Aditiawati, P. HIV/AIDS. Diskusi HIV/AIDS. ITB. Bandung, 2006. (handout).
22. Depkes RI. Profil Kesehatan Reproduksi. Depkes RI. Jakarta, 2003.
23. Anonim. Apa sih HIV/AIDS itu? (booklet edukasi HIV/AIDS). The Global Fund. Jakarta, 2005.
24. Anonim. IMS itu epong sih ne? The Global Fund. Jakarta, 2005
25. Hawari, D. 2006. Global Effect, HIV/AIDS, Dimensi Psikoreligi. Balai Pustaka-FKUI. Jakarta.
26. Anomalous Fatigue Behavior in Polysoprene,” Rubber Chemistry and Technology, Vol. 62, No:4, Sep.-Okt. 1989.
27. Lytle, C. D., et al., “Filtration Sizes of Human Immunodeficiency Virus Type 1 and Surrogate Viruses Used to Test Barrier Materials,” Applied and Environmental Microbiology, Vol. 58, No: 2, Feb. 1992.
28. Vesey, W.B., HLI Reports, Vol. 9, pp. 1-4, 1991.
29. Collart, David G., M.D., op. cit.
30. Weller S, Davis K. Condom effectiveness in reducing heterosexual HIV transmission (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2,. Chichester, John Wiley & Sons. UK, 2004
31. Kompas 7 Februari 2007.
32. Hak perempuan harus terpenuhi. Media Indonesia. 15 November 2006.
33. WHO (2002) The Safety and feasibility of female condom reuse:Report of a WHO consultation, Geneva,Januari 28-29. 2006 Planned Parenthood. File://H:hiv%20forum/the%20female%20condom.htm.
34. Kiser, P et al. A Moleculer Condom Against AIDS. Online Monday, Dec. 11, 2006, ini the Journal of Pharmaceutical Sciences.
35. Terapi Metadon. Mejauhi Kematian Dini Akibat narkoba. Kompas 16 Januari 2007.
36. Hawari, D. Terapi (detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantrn) Mutakhir (Sistem Terpadu) Pasien NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lain). UI Press. Jakarta, 2004.
37. An Nabhani T. 2003. Peraturan Hidup dalam Islam (Terjemahan). Pustaka Thoriqul Izza. Bogor.
38. Al Badri, A. A. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. GIP. Jakarta, 1992.
39. Al-Faruqi IR dan Al-Faruqi LR. Atlas Budaya Islam. Mizan. Bandung, 1994.
40. Akbar, A. 1988. Etika Kedokteran Dalam Islam. Pustaka Antara. Jakarta.

Read more

Local News