Sisi Gelap BPJS Kesehatan

0
2791

Oleh: LM HTI

Kontroversi atas fatwa keharaman BPJS Kesehatan oleh MUI membuat peran badan tersebut kembali disorot. Beroperasi sejak awal tahun 2014, hingga awal Agustus 2015, badan ini mampu menarik hingga 149 juta lebih peserta. Banyak pujian atas sistem layanan kesehatan yang dijalankan badan ini, namun tidak sedikit yang mengeluhkan bahkan mengecamnya.

BPJS Kesehatan merupakan metamorfosis dari PT Askes (yang sebelumnya menjadi lembaga asuransi kesehatan PNS dan Polri/TNI) dan PT Jamsostek (yang antara lain menjadi lembaga asuransi kesehatan pekerja swasta). Baik UU SJSN dan UU BPJS yang menjadi dasar berdirinya lembaga ini merupakan produk yang digodok dengan bantuan sejumlah konsultan asing seperti GIZ (Jerman), Ausaid (Australia), International Labour Organisation (ILO) dan ADB yang mendanai pembuatan model sistem jaminan sosial tersebut. Kehadiran konsultan asing tentu dimaksudkan agar Indonesia dapat mengikuti model pengembangan asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan di negara-negara tersebut.

Dibandingkan dengan model sebelumnya, layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS dipandang mampu membantu rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan murah bahkan gratis. Berbagai masalah yang terjadi di lapangan seperti antrian panjang, penolakan hingga pembuangan pasien dianggap masalah teknis yang wajar bagi badan yang masih terbilang muda ini. Namun demikian, sejatinya banyak sisi ‘gelap’ yang bersifat sistemik pada badan tersebut.

Mengalihkan Tangggung Jawab Negara kepada Rakyat

Salah satu tugas mendasar Pemerintah adalah menyediakan layanan publik kepada rakyatnya. Dengan adanya BPJS tanggung jawab tersebut dialihkan kepada rakyat. Buktinya, rakyat diharuskan membayar iuran atas layanan yang semestinya disediakan oleh Pemerintah. Memang, Pemerintah memberikan subsidi, namun itu hanya kepada mereka yang dianggap tidak mampu yang diistilahkan dengan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pada APBN-P 2015. Alokasi anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS pada APBN-P 2015 hanya sebesar Rp 20,3 triliun triliun. Angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin yang mencapai 88,2 juta jiwa dengan nilai PBI perorang sebesar Rp 19.225 perorang selama setahun.

Sebaliknya, mereka yang tidak dapat membuktikan dirinya miskin baik karena dipandang mampu secara finansial dengan kriteria yang sangat subyektif ataupun karena terbentur masalah administrasi, tidak berhak mendapat subsidi dan harus membayar premi jika ingin mendapatkan layanan BPJS. Bahkan di dalam buku yang diterbitkan oleh WHO, Social Health Insurance; A Guidebook for Planning, ditegaskan agar subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada lembaga publik yang mengelola asuransi kesehatan harus diminimalkan sehingga independensi lembaga tersebut yang merupakan keunggulan utamanya tetap terjaga.1

Mengubah Hak Rakyat Menjadi Kewajiban Rakyat

Kepesertaan dalam BPJS Kesehatan bersifat wajib. Dengan demikian BPJS telah mengubah status layanan kesehatan yang menjadi hak rakyat menjadi kewajiban yang yang harus mereka tunaikan. Bentuknya adalah kewajiban untuk menjadi peserta dengan keharusan membayar iuran. Celakanya lagi, iuran tersebut menjadi bagian dari dana ‘gotong-royong’ yang digunakan untuk meng-cover pembiayaan kesehatan peserta lainnya.

Target Pemerintah pada tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia telah menjadi peserta BPJS. Sebagaimana yang tertuang dalam UU, sanksi akan diberikan kepada mereka yang tidak mendaftar pada batas yang telah ditetapkan. Setiap peserta diwajibkan untuk membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mereka yang tidak masuk kategori miskin diwajibkan membayar minimal Rp 25.500 perbulan. Jika terlambat maka mereka akan didenda 2% dari nilai iuran. Bahkan nilai iuran dan denda yang berlaku saat ini sewaktu-waktu dapat dinaikkan oleh Pemerintah jika diminta oleh BPJS.

Pelayanan Diskriminatif

Layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS juga dibedakan berdasarkan jenis iuran dan kepesertaan mereka. Orang-orang miskin yang menjadi penerima bantuan iuran (PBI) dari Pemerintah maupun mereka yang hanya mampu membayar premi yang paling rendah akan mendapatkan kelas fasilitas kelas III. Adapun PNS/TNI/Polri berhak mendapatkan layanan kelas II hingga kelas I berdasarkan jabatan dan tingkat kepangkatan mereka. Pekerja swasta dan penduduk yang lebih mampu juga bisa memilih kelas yang lebih tinggi. Memang, dalam aturannya pelayanan sama-sama diberikan oleh penyedia layanan kesehatan. Namun, sedikit-banyak kondisi ruangan sangat berpengaruh terhadap kenyamanan pasien.

Pengkastaan ini tak ayal menyebabkan penumpukan jumlah pasien di kelas III. Maklum, jumlah penduduk yang berpenghasilan menengah bawah di negeri ini masih sangat besar. Keterbatasan fasilitas, beban kerja tenaga kesehatan (dokter, perawat, dll) yang berlebihan, ditambah dengan manajemen yang buruk, membuat layanan kesehatan golongan ini menjadi tidak optimal. Dalam banyak kasus pasien BPJS terkesan dianaktirikan dibandingkan pasien yang membayar tarif non BPJS.

Bernuansa Bisnis

BPJS mendorong pelayanan kesehatan oleh penyedia layanan kesehatan (klinik, puskesmas, rumah sakit) untuk menitikberatkan efisiensi biaya ketimbang mutu pelayanan. Agar pembayaran klaim BPJS kepada penyedia layanan kesehatan dapat ditekan, maka penyakit yang ditanggung dibatasi. Penyakit karena wabah, misalnya, tidak ditanggung. Metode pembiayaan juga dibuat sehemat mungkin disertai harapan agar tenaga kesehatan tetap menjaga mutu pelayanan. Meskipun demikian, model pembayaran yang diberlakukan tersebut harus memberikan insentif yang menarik bagi penyedia layanan kesehatan khususnya swasta sehingga mereka mau berinvestasi di bidang ini.2

Saat ini metode pembiayaan yang diadopsi BPJS adalah metode proaktif; jenis tindakan, obat dan bahan habis pakai untuk suatu penyakit telah ditetapkan tarifnya dalam bentuk paket. Paket-paket tersebut dikompilasi dalam perangkat lunak yang disebut Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s). Implementasi INA-CBG’s sendiri didanai oleh Australian Agency for International Development (AusAID).

Metode tersebut diklaim paling efisien dibandingkan metode pembayaran lainnya dalam menekan biaya pengobatan. Meskipun demikian, kualitas yang diperoleh juga lebih rendah dibandingkan dengan beberapa metode lainnya.3

Metode tersebut membuat fleksibilitas pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan menjadi terbatas. Dokter, misalnya, dituntut untuk menyesuaikan layanan kesehatan dan obat sesuai dengan paket yang telah ditetapkan dalam software tersebut. Bahkan jika perlu layanan kesehatan perkasus harus ditekan semaksimal mungkin, seperti: tidak melakukan pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan, tidak memberikan obat yang dibutuhkan, membatasi fasilitas dan waktu pelayanan kesehatan bagi pasien, menyegerakan proses rujukan ke layanan kesehatan lainnya hingga menolak pasien secara halus.

Aneka kasus pun terjadi seperti: pasien mengeluarkan biaya tambahan seperti menebus obat yang dibutuhkan karena tidak tercakup dalam paket yang ditetapkan dalam INA-CBGs; obat hanya ditanggung dalam rentang waktu yang lebih singkat dari semestinya; pasien harus pulang sebelum sehat karena biaya paket INA-CBGs yang diberikan kepada dia telah habis dan sebagainya. Semua ini dilakukan semata-mata agar biaya pelayanan yang diberikan tidak melampai batas yang dapat diklaim ke BPJS. Beruntung jika bisa lebih rendah sehingga keuntungan penyedia layanan kesehatan semakin besar.

Asuransi Sosial untuk Menutupi Kelemahan Kapitalisme

Konsep BPJS merupakan asuransi sosial (social insurance) yang didanai melalui kontribusi peserta—selain subsidi Pemerintah—berdasarkan prinsip-prinsip asuransi. Ia bukan jaminan negara atas kebutuhan dasar rakyatnya yang murni didanai oleh APBN. Peserta/rakyat melindungi diri mereka dari berbagai risiko seperti cacat, sakit, kematian dan pensiun dengan membayar premi secara reguler kepada badan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Sistem jaminan sosial sejatinya lahir akibat kegagalan negara-negara kapitalis dalam menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya. Oleh karena itu, solusi yang ditempuh adalah rakyat harus ikut berkontribusi untuk membiayai jaminan sosial yang akan mereka dapatkan. Sistem ini mulanya dicetuskan pada tahun 1883 oleh Kanselir Jerman, Otto Von Bismarck, untuk mencegah meluasnya pengaruh Marxisme yang dicemaskan akan mengambil-alih kendali Jerman. Pekerja yang memiliki kekuatan yang berpengaruh dibujuk dengan ide pensiun dan jaminan sosial.4

Dalam kenyataannya, penerapan sistem ini membuat beban yang harus dipikul oleh rakyat tidak hanya pajak, namun juga iuran asuransi sosial. Di Indonesia, dengan adanya BPJS, selain membayar pajak penghasilan yang berkisar antara 5-30%, mereka juga harus membayar iuran. Ini belum berbagai jenis pajak lainnya seperti PPN sebesar 10% dari setiap transaksi barang kena pajak. Di negara-negara Barat, yang menjadi kiblat asuransi sosial negara ini, bahkan nilai kontribusi rakyat sangat tinggi. Di Jerman, misalnya, rata-rata mencapai 39,5% dari penghasilan yang terdiri dari pajak penghasilan sebesar 19,1% dan kontribusi jaminan sosial sebanyak 20,4%.5

Menutupi Kelemahan Pemerintah

Kehadiran BPJS juga akan menjadi tameng untuk menutupi kelemahan Pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan yang prima kepada rakyatnya. Selama ini alokasi anggaran untuk bidang kesehatan amat minim dibandingkan dengan bidang lainnya. Pada APBN-P 2015, anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya Rp 51.3 triliun atau 2,6% dari belanja APBN-P yang mencapai Rp 1,984 triliun. Bandingkan dengan biaya untuk membayar cicilan bunga utang Pemerintah pada periode yang sama yang mencapai Rp 155,7 triliun.

Dampak dari rendahnya anggaran Pemerintah di bidang kesehatan membuat pengembangan infrastuktur dan kualitas layanan kesehatan menjadi sangat terbatas. Sebagai contoh, dari 63 rumah sakit umum pemerintah daerah di tingkat provinsi hanya tujuh yang masuk dalam kategori rumah sakit Kelas A. Ini mengindikasikan fasilitas dan ketersedian tenaga kesehatan antar provinsi masih sangat timpang. Akibatnya, tidak jarang pasien rujuk harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Di sisi lain, kesenjangan tersebut menjadikan beban rumah sakit yang menjadi tujuan rujukan semakin besar.

Anggaran yang rendah membuat biaya operasional (capitation fee) Puskesmas dan rumah sakit milik Pemerintah menjadi sangat terbatas. Biaya operasional yang rendah berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien termasuk kegiatan yang bersifat preventif menjadi kurang maksimal. Dampak lainnya, insentif bagi tenaga kesehatan sangat minimalis, sementara beban kerja semakin besar. Akibatnya, sebagian mereka tidak dapat bekerja secara optimal. Kelemahan Pemerintah ini kemudian menjadi lahan empuk bagi investor swasta. Rumah sakit swasta tumbuh dimana-mana. Dengan kehadirian BPJS, status rumah sakit Pemerintah ataupun swasta tidak lagi penting sepanjang BPJS bersedia memberikan profit yang menggiurkan kepada mereka. Dengan demikian, peran negara dalam menyediakan layanan kesehatan akan semakin minimal.

Mobilisasi Dana untuk Investasi

Dalam kamus industri, asuransi dikenal hukum large of number. Dengan prinsip ini, semakin besar jumlah peserta asuransi maka taksiran biaya dapat diperkirakan dengan lebih akurat. Dengan demikian, badan pengelola asuransi dapat menetapkan berapa besar nilai premi yang dapat menghasilkan keuntungan maksimal.

Ini pula yang menjadi prinsip dalam BPJS. Memang, pada tahun 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit. Pendapatan iuran badan tersebut hanya Rp 40,72 triliun, sementara pengeluaran untuk biaya pelayanan kesehatan mencapai Rp 42,65 triliun.6 Ini terjadi karena jumlah peserta dan iuran yang mereka bayarkan belum optimal dibandingkan dengan pengeluaran BPJS. Namun, sejalan dengan berjalannya waktu, apalagi dengan adanya sanksi bagi mereka yang belum terdaftar dan juga pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran klaim maka dana yang dapat dikumpulkan badan ini akan sangat besar. Jika perlu, badan ini dapat mendesak Pemerintah untuk menaikkan biaya iuran wajib peserta.

Surplus dana tersebut kemudian akan menjadi keuntungan bagi perusahaan yang dapat diperbesar nilainya dalam bentuk investasi terutama di sektor finansial, seperti ditanam di pasar modal dalam bentuk pembelian saham dan obligasi serta diendapkan di bank-bank yang menawarkan suku bunga deposito paling memikat. Pendahulu BPJS, PT Askes dan PT Jamsostek, telah membuktikan hal ini. Di berbagai negara, dana asuransi publik yang dikelola oleh badan Pemerintah bahkan menjadi pelaku utama investasi di sektor finansial. Meskipun demikian, tidak sedikit dari lembaga-lembaga tersebut merugi lantaran terseret krisis sebagaimana yang terjadi pada tahun 2008 silam. Pemerintah akhirnya didorong untuk melakukan bailout yang tentu—lagi-lagi—menggunakan dana dari publik. [LM-HTI]

Catatan kaki:

1         Charles Normand & Axel Weber (2009), Social Health Insurance; A guidebook for planning, Germany: WHO, GTZ, ILO, ADB, hlm. 54.

2         Normand & Weber, ibid, hlm. 82.

3         Lihat: Charles Normand & Axel Weber (1994), Social Health Insurance; A guidebook for planning, WHO , hlm. 77.

4         Robert Service (2010), Comrades!: A History of World Communism, Cambridge: Harvard University Press, hlm. 41.

5         OECD (2015), Taxing Wages 2015, Paris: OECD Publishing.

6         Laporan Pengelolaan Program Tahun 2014 & Laporan Keuangan Tahun 2014 (Auditan). Http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip/detail/367.

LEAVE A REPLY