Kapitalisme Pencetak Generasi Rapuh, Islam Bangun Generasi Tangguh

0
654

sumber gambar : https://www.vice.com/en/article/bnj754/why-mental-health-disorders-emerge-in-your-early-20s

dr. Staviera A. (Tim Media Healthcare Professionals for Sharia)

Sebuah penelitian kesehatan mental pada remaja dengan judul IndonesiaNational Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) merilis hasil yang cukup mencengangkan. Didapatkan bahwa satu dari tiga remaja (34,6%) usia 10-17 tahun di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental selama 12 bulan terakhir di tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa kurang lebih sebanyak 15,5 juta remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental.[1]

Masalah kesehatan mental yang paling banyak ditemukan pada remaja adalah kecemasan (26,7%) , gangguan pemusatan perhatian (10,67%), diikuti depresi (5,6%)[2].  Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dari angka sebelumnya di tahun 2018, dimana gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala  depresi  dan  kecemasan  untuk  usia  15  tahun  ke  atas  mencapai  sekitar  6,1%  dari  jumlah  penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang[3].

Kondisi seperti ini mengancam generasi muda. Masalah kesehatan mental dapat mengganggu fungsi sosial remaja sehari-hari, mulai dari fungsi sosial dalam keluarga, teman sebaya, sekolah / pekerjaan, dan stress personal. Dampak selanjutnya adalah penurunan kualitas akademik dan performa belajar, penurunan kualitas hidup, hingga beresiko terhadap penyalahgunaan zat & obat terlarang serta perilaku seks beresiko berujung pada kehamilan tidak diinginkan.[4] Terdapat pula resiko gangguan mental menetap hingga usia dewasa.  

Tak hanya terjadi di Indonesia, masalah ini mulai menjadi beban global semenjak berapa dekade terakhir. Angka kejadian kecemasan pada remaja di Wisconsin, Amerika Serikat, yang pada awalnya di tahun 2012 sebesar 34% menjadi 44% di tahun 2018[5]. WHO mengutip data dari Global Health Data Exchange bahwa sebanyak 1 dari 7 anak usia 10-19 tahun di dunia mengalami masalah kesehatan mental[6]

Data menunjukkan bahwa masalah ini makin membesar, masif dan mengancam. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran masalah ini sudah bukan individual saja namun telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan penanganan level sistemik. Perlu dicari akar masalahnya serta tatalaksana yang tepat untuk menanganinya

Masalah Kesehatan Mental pada Remaja : Apa dan Darimana?

Masalah kesehatan mental (mental health issue) adalah gangguan fungsi berpikir dalam menghadapi stressor dalam kehidupan. Kelainan dalam hal ini akan menyebabkan hambatan dalam proses berpikir, kesulitan mengelola emosi, dan gangguan perilaku yang signifikan dalam hidup seseorang[7]

Salah satu contoh masalah kesehatan mental yang paling sering ditemui adalah kecemasan. Cemas (anxiety) sebenarnya adalah hal yang normal, yaitu merupakan rasa takut terhadap hal mengancam yang ditakutkan akan datang (padahal belum jelas / pasti). Dapat disertai dengan gejala-gejala fisik yang dialami ketika merasa ketakutan, seperti pusing, sulit tidur, keringat dingin, sulit berkonsentrasi, dan lain sebagainya. Gejala kecemasan ini dapat didiagnosis sebagai gangguan kesehatan mental apabila menetap selama 6 bulan atau lebih, tidak dapat dikendalikan oleh pasien, dan menyebabkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi harian yang dianggap penting oleh pasien[8].   

Dari segi faktor internal, masalah kesehatan mental dapat muncul akibat rendahnya resiliensi (daya lenting) seseorang yang dibangun dari perspektif (cara pandang / cara berpikir). Perspektif seseorang akan memengaruhi bagaimana ia memandang suatu kejadian dalam kehidupan, apakah kejadian itu merupakan distress (kondisi yang tidak nyaman yang menjebak, suasana negatif), atau eustress (kondisi yang mengembangkan individu, berdampak positif)[9].

Apabila ia memandang sebuah kejadian sebagai eustress maka dapat dikatakan bahwa proses berpikirnya berjalan baik dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Sebaliknya, jika proses berpikir seseorang selalu terjebak dalam distress, maka ia akan mengalami kecemasan kronis. Kemampuan berpikir untuk menyikapi kejadian dalam hidup lalu beradaptasi dengan kejadian tersebut, itulah yang disebut resiliensi

Masa remaja (10-19 tahun) adalah masa dimana terjadi pematangan otak dari segi biologis, pematangan emosional dan psikologis. Remaja yang masih mencari jati diri rentan terhadap resiliensi yang rendah, dimana persepsi tentang tujuan hidup, identitas diri, keyakinan, harapan, belum mengakar kuat. Generasi muda justru lebih banyak terjebak dalam hedonisme, yaitu mengejar kesenangan duniawi / materi semata, daripada berpikir filosofis untuk meningkatkan resiliensi.

Salah satu teori yang menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan adalah teori eksistensial. Seseorang yang tidak memiliki tujuan hidup yang jelas akan lebih rentan mengalami krisis eksistensial, yang dapat berlanjut menjadi Gangguan Cemas Menyeluruh (GCM). Hal ini semakin mendukung banyaknya kecemasan terjadi pada remaja (bahkan sampai dewasa) masa kini yang mengalami krisis jati diri, lebih banyak mengikuti tren tanpa tujuan hidup yang jelas.

Faktor Eksternal : Penerapan Mabda Kapitalisme

Adapun secara eksternal, dapat dipengaruhi oleh stressor yang bersumber dari luar individu. Isu ancaman resesi ekonomi, contohnya, memberikan sebuah momok bagi generasi muda terkait isu inflasi, kenaikan harga, meningkatnya pengangguran, penurunan profit bisnis, dan lain sebagainya[10]. Belum lagi tuntutan materiil lainnya yang diberikan kepada “generasi sandwich”, yang menilai nilai / value generasi muda hanya dari materi semata.

Sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, meniadakan Tuhan dari kancah persaingan kehidupan dunia, memperburuk pandangan ini. Manusia digiring untuk bersaing secara bebas, menentukan peraturan sendiri, membuat kebijakan sendiri. Padahal hal terebut bukanlah fitrah manusia yang memiliki berbagai keterbatasan. 

Sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari sekulerisme, memiliki pandangan laissez faire atau “biarkan saja (pasar itu berjalan) -tanpa peran pemerintah” , yang menjadi landasan pasar dan persaingan bebas[11]. Dari sini lahirlah “survival for the fittest” atau hukum rimba, dimana yang kuat makin kuat dan yang lemah akan tersingkir. Bayangkan jika individu-individu dengan resiliensi rendah menerjunkan diri ke jagat raya sistem kapitalisme dengan kerimbaannya. Tidak heran jika mental breakdown ditemukan dimana-mana.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan mental di Amerika Serikat dalam 15 tahun terakhir, naik dengan signifikan bersamaan dengan penerapan kebijakan-kebijakan ekonomi yang makin kental dengan suasana neoliberalisme, seperti minimalisasi sector publik, pencabutan subsidi, dan upah minimum.. Sistem ekonomi neoliberal dianggap bertanggung jawab atas munculnya berbagai masalah sosioekonomi seperti meningkatnya pengangguran, stagnansi gaji pegawai, kenaikan harga, pemotongan subsidi sosial, kesenjangan, serta kemiskinan anak, yang berkaitan dengan meningkatnya kasus gangguan mental[12],[13]. Ketika orangtua fokus ‘mencari uang’ untuk mendapatkan materi, maka pendidikan dan kelekatan dengan anak pun berkurang. Hal ini menyebabkan lahirnya individu dengan resiliensi rendah, sehingga terus berputar menjadi lingkaran setan.

Selain itu, budaya individualisme dalam ideologi neoliberalisme juga berkaitan dengan gangguan mental. Individualisme memunculkan pandangan bahwa pencapaian materiil seseorang adalah tanggung jawab dirinya sendiri, tanpa faktor lain yang dapat memengaruhinya. Hubungan sosial, aktivitas dan bantuan sosial, serta solidaritas justru dianggap sebagai beban penghambat kemajuan. Hal ini berkaitan dengan munculnya kecemasan, depresi, insekuritas, yang lebih lanjutnya berkembang menjadi berbagai bentuk gangguan mental[14].

Beberapa strategi telah diambil oleh negara-negara maju untuk menangani hal ini, contohnya di Inggris dilakukan pelatihan 10.000 konselor Cognitive Behavioral Therapy (CBT), atau pembentukan Komite Kesehatan Mental di Kanada. Namun hal ini juga dikritisi karena hanya memberikan solusi kuratif dan cenderung menyerahkan penanganan untuk level individu saja. Tidak menuntaskan masalah dari akarnya yaitu penerapan sistem ekonomi neoliberal[15].

Di Indonesia, program untuk mengentaskah masalah kesehatan mental sudah dicanangkan namun masih belum memadai. Terdapat program-program yang dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yaitu Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang sudah memiliki 257 unit yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia[16]. Selain itu, Kementrian Kesehatan juga menyusun rencana kegiatan empat tahunan sebagai langkah strategis.

Terdapat 23 landasan hukum mulai dari undang-undang hingga kepmenkes, termasuk di dalamnya UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun masih ditemukan banyak kendala seperti anggaran yang selalu menjadi lagu lama, pelayanan kesehatan jiwa dan deteksi dini yang minim,  serta pemerintah pusat dan daerah yang belum sinkron dalam penanganan masalah kesehatan mental.

Dalam rencana kegiatan tersebut, dicanangkan beberapa target yang akan disasar sampai tahun 2024. Target utamanya adalah peningkatan deteksi dini, meningkatkan capaian layanan kesehatan jiwa untuk ODGJ berat, penderita depresi dan gangguan mental emosional >15tahun, serta meningkatkan rehabilitasi medis untuk penyalahguna NAPZA[17]. Target-target ini memang diperlukan untuk mengentaskan masalah kesehatan mental, namun masih dalam tataran kuratif. Belum ada solusi yang menyorot ke arah pencegahan, atau mencoba menuntaskan akar masalah yang bersifat sistemik.

Membangun Resiliensi ala Islam

Apabila ingin memandang Islam sebagai pemecah masalah sampai ke akarnya, maka harus melihat Islam sebagai sebuah ideologi paripurna. Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT, mengatur hubungan individu dengan Allah, dirinya sendiri, dan orang lain. Dengan kata lain, Islam bukan hanya mencakup ibadah ritual, melainkan sebuah ideologi.

Ideologi, termasuk di dalamnya cara pandang mendasar tentang kehidupan (aqidah), adalah hal penting dalam membangun resiliensi seseorang. Eksistensi diri dan tujuan hidup adalah hal yang wajib dicari, sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 190-191:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Aqidah wajib didapat dari proses berpikir dan dipahami secara mendalam. Selanjutnya, Aqidah harus menjadi pemikiran yang produktif, yaitu mempengaruhi perilakunya. Bukan pemikiran yang overthinking. Jawabannya memuaskan akal dan sesuai fitrah manusia, yaitu menghamba kepada Allah. Memposisikan dirinya sebagai hamba Allah, dan derajatnya yang tertinggi ditentukan oleh ketaqwaan kepada-Nya. Bagaimana meraih derajat taqwa, semuanya ada di dalam ideologi Islam.

Konsep ketuhanan Allah di dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia dengan sifatnya yang serba terbatas (mahduudah). Memberikan porsi yang tepat akan sejauh mana manusia harus berusaha, namun ada juga wilayah yang diluar kuasa manusia yang dibahas dalam topik Qodlo & Qodar. Begitupun dengan konsep Idrak Sillah Billah selalu mengingatkan manusia bahwa mereka tidak pernah sendiri, namun selalu senantiasa ada Allah dan kekuatanNya dalam mengarungi dunia ini.

Tentu saja konsep ini sia-sia dan tidak bisa diterapkan apabila negara beserta masyarakat setempat menerapkan paham Sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sekulerisme yang melahirkan ekonomi kapitalis neoliberal mengesampingkan peran Tuhan dalam kehidupan, termasuk konsep qodo & qodar, rizqi, ujian & musibah, serta berbagai syariatNya seperti zakat, ta’awun, dsb. Seluruh nasib manusia dibebankan pada pundak manusia itu sendiri.

Aqidah dan syariat yang tergabung dalam ideologi Islam, pertama-tama ditanamkan melalui pendidikan keluarga. Di dalam Islam ditekankan pentingnya pendidikan anak di dalam keluarga, baik dilakukan oleh ayah dan ibu, salah satunya tercantum dalam hadits :

Telah menceritakan pada kami adam telah menceritakan pada kami Ibnu Abi Dzi’b dari al-Wahri dari Abi Salamah b. Abdul Rahman dari Abu Hurairah ra berkata: Bersabda Nabi Saw “setiap bayi yang dilahir dalam keadaan suci maka orang tuanyalah yang mempengaruhinya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana ia tumbuh dan berkembang sampai jadi kakek-kakek.”

(HR. Bukhari No. 456).

 Selain memberikan nafkah materil, ayah dan ibu memiliki fungsi yang sekarang sering terabaikan, yaitu menanamkan ideologi Islam.

Tentu saja anak tidak selamanya tinggal bersama keluarga. Islam juga memastikan masyarakat dan negara juga kondusif menanamkan ideologi Islam pada anak. Sistem pendidikan memberlakukan kurikulum dan metode talaqiyyan fikriyyan untuk penanaman ideologi Islam disesuaikan dengan fase umurnya. Diikuti dengan negara yang menerapkan aturan sesuai ideologi Islam, sehingga masyarakat pun terkondisikan dengan visi hidup dan perilaku yang Islami.

Pada masa kini sering ditemukan krisis identitas remaja muslim. Mereka telah memiliki dasar-dasar ideologi Islam yang ditanamkan mulai dari kecil oleh keluarga, atau di sekolah Islam. Namun ketika terjun ke masyarakat, terjadilah culture shock, yaitu syok dan kebingungan ketika menemukan perbedaan drastis antara teori & standar Islam dengan standar masyarakat & negara yang begitu sekuler. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan individu, keluarga dan sekolah saja tidak cukup.  Ideologi Islam harus dipahami dan diterapkan hingga level masyarakat dan negara.

Mencabut Sistem Kapitalisme – Neoliberalisme : Biang Kerok Wabah Gangguan Mental

Berbagai kajian telah menemukan bahwa meledaknya angka masalah kesehatan mental merupakan ekses dari penerapan sistem ekonomi neoliberalisme. Apabila ingin sungguh-sungguh menuntaskan masalah kesehatan mental, maka sistem ini perlu dicabut sampai ke akarnya dan diganti dengan sistem yang lain.

Islam adalah ideologi paripurna, yang didalamnya terdapat sistem ekonomi dengan peraturan rinci dan menyeluruh. Mulai dari pengaturan kepemilikan yang proporsional, yaitu membagi kepemilikan individu, umum, dan negara. Konsep ini memungkinkan adanya pertumbuhan ekonomi di masyarakat, dengan tetap memiliki batasannya agar tidak muncul kesenjangan serta dampak negatif lainnya sebagaimana dalam sistem neoliberalisme yang telah dijelaskan di atas.

Tugas pemerintah bukanlah semata wasit yang menjamin terjadinya persaingan bebas sebagaimana dalam sistem kapitalisme neoliberal. Pemerintah / penguasa adalah pihak utama yang dibebankan tanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, terutama yang bersifat primer. Serta mendukung terpenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier (kamaliyah).

Islam memandang bahwa masyarakat adalah suatu jamaah yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan dan aturan. Bukan sekedar kumpulan individu sebagaimana pandangan sistem neoliberalisme, yang tumbuh dari falsafah sekulerisme. Pemikiran, perasaan dan aturan Islam mengondisikan suasana ta’awun di dalam masyarakat.

Setiap individu wajib mengusahakan perbaikan kondisi dirinya, sebagaimana QS Ar-Ra’du ayat 11. Namun dirinya bukanlah satu-satunya penentu kehidupan. Ada kuasa Allah sebagai pemegang qadla, begitupun ada kebutuhan-kebutuhan yang merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya. Akses untuk pendidikan formal dan kesehatan, ketersediaan pangan yang dapat diakses masyarakat, kestabilan harga, merupakan tanggung jawab negara. Bahkan negara juga perlu menjamin adanya strategi penanaman aqidah kepada umat, sehingga dampaknya akan tercipta resiliensi yang kuat pada generasi muda.

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan mental adalah sebuah masalah kesehatan masyarakat global, sehingga harus dipandang sebagai permasalahan yang bersifat sistemik. Maka dari itu, diperlukan solusi yang sistemik pula untuk menuntaskannya. Selain tatalaksana yang bersifat kuratif dan individual, diperlukan perubahan sistem hidup (ideologi) masayarakat. Islam adalah ideologi yang tepat untuk menggantikan neoliberalisme yang merupakan faktor resiko terjadinya masalah kesehatan mental secara massif.


[1] Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Bloomberg Hopkins School of Public Health, Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS): Laporan Penelitian. (Yogyakarta: Pusat Kesehatan Reproduksi, 2022), hlm. xviii

[2] Ibid, hlm 19

[3] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Nasional Riskesdas 2018. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta

[4] Schlack R, et al. The effects of mental health problems in childhood and adolescence in young adults: Results of the KiGGS cohort. J Health Monit. 2021 Dec 8;6(4):3-19.

[5] Parodi KB, et al. Time trends and disparities in anxiety among adolescents, 2012-2018. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 2022 Jan;57(1):127-137.

[6] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health#:~:text=It%20is%20estimated%20that%203.6,and%20unexpected%20changes%20in%20mood.

[7] https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders

[8] American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition. (Arlington, VA: American Psychiatric Association, 2013)

[9] Brulé, Gaël & Morgan, Robson. Editorial Working with stress: can we turn distress into eustress?, dalam  Journal of Neuropsychology & Stress Management, No. 3, 26 Februari 2018 hlm. 1-3.

[10] https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_865256/lang–en/index.htm

[11] Klein, Sherwin. “The Natural Roots of Capitalism and Its Virtues and Values.” Journal of Business Ethics, vol. 45, no. 4, 2003, pp. 387–401. Accessed 25 Sept. 2023

[12] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8145185/

[13] https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/bjso.12438

[14] https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/bjso.12438

[15] https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953609002135 

[16] https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/4675/kemen-pppa-program-healthy-adolescent-thrive-hat-kuatkan-layanan-puspaga-atasi-kesehatan-mental-remaja

[17] Ditjen P2P Kemenkes, Rencana Aksi Kegiatan 2020-2024 Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Jakarta: Ditjen P2P Kemenkes, 2020), hlm 20

LEAVE A REPLY