Trauma Pasca Kekerasan Anak

0
1592

Oleh: Isna Rahmawati Retnaningsih (Anggota HELP-S)

Trauma Pasca Kekerasan Anak (Cermin Gagalnya Fungsi Negara Melindungi Anak)

Berita kekerasan pada anak yang terjadi di Sragen di awal tahun 2016 kemarin membuka kembali luka lama terhadap angka kekerasan anak yang sebelumnya sempat menurun pada Tahun 2015. R (14) siswi SMP menjadi korban kekerasan oleh tetangganya K (50), istri dan juga adiknya. Kasus yang menuai kecaman oleh berbagai pihak ini dipicu oleh biadabnya perbuatan K dengan mengarak korban keliling kampung tanpa menggunakan busana. Aksi simpati dari masyarakat sekitar pun berdatangan pada korban dan keluarganya. Setelah sebelumnya rencana digelar aksi 1000 sandal untuk korban meskipun akhirnya ditertibkan oleh Pihak Kepolisian, kunjungan dari warga bahkan luar kota Sragen pun semakin banyak.

Hingga saat ini kondisi R, masih sangat labil dan membutuhkan perhatian khusus untuk mengatasi trauma hebat yang dialaminya. Kini dia tinggal sementara bersama Sugiyarsi, seeorang pensiunan PNS yang juga merrupakan aktivis Women Crisis Center atau Pusat Pelayanan Penanganan Persoalan Pempuan Anak (P4PA) di Blimbing, Sambirejo Sragen. Kondisi psikis R sangat tertekan, dia tidak mau berangkat sekolah atau berada di lingkungan kampungnya karena malu. Saking tertekannya dia sempat menggores lengan kirinya untuk mencoba bunuh diri.

Trauma psikis sulit untuk didiagnosa

Dampak psikologis anak yang mengalami kekerasan secara umum berupa trauma. Manifestasi dari tauma itu dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lainnya sampai dengan ada yag membenci dirinya sendiri.

Tak jarang gangguan mental yang dialami oleh masa dewasa juga dipengaruhi oleh kekerasan yang dialaminya di masa kecil dan hal ini tentu sulit untuk dihilangkan. Kekerasan psikis memberikan dampak yang cukup serius pada anak ke depannya. Mulai dari bulimia nervosa (memuntahkan kembali makanan), penyimpangan pola makan, kecanduan alkohol dan obat-obatan hingga dorongan untuk bunuh diri. Berbeda dengan trauma fisik yang bisa diidentifikasi, trauma psikis lebih sulit untuk di diagnosa. Hal ini terjadi karena tidak adanya bekas yang nyata sperti luka fisik. Trauma psikis meninggalkan bekas yang tersembunyi yang akhirnya termanifestasikan dalam beberapa bentuk seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lngkungan sampai percobaaan bunuh diri.

Jika trauma psikis sudah terjadi, hal ini kan menjadi pelik untuk ditangani. Perlu upaya yang komprehensif untuk mengatasi trauma ini. Karena sulit di diagnosa dan sulit ditangani maka tidak heran bekas luka itu akan terbawa hingga mereka dewasa. Tak jarang pelaku kriminal atau yang mengalami gangguan mental pada saat remaja atau dewasa memiliki latar belakang kekerasan pada masa kecilnya. Selain itu dampaknya juga bisa jadi ketidaksiapan menghadapi masa depan untuk terjun di masyarakat pun dialami oleh mereka.

Banyak faktor yang berpengaruh

Kasuskekerasan pada anak terjadi karena beberapa faktor penyumbang hingga hal itu terjadi. Mulai dari konflik sosial horizontal dan vertikal, policy dan kewajiban negara (pembangunan) yang tidak mendahulukan kepentingan terbaik dan memberikan yang terbaik kepada anak, keluarga yang kurang melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, masyarakat yang belum atau kurang menyadari kedudukan dan hak-hak seorang anak, penegakan hukum yang tidak memberikan keadilan bagi anak, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan kedudukan anak dalam keluarga, masyarakat dan negara berada pada kelas bawah yang pada gilirannya mengantarkan pada munculnya perasaan tak bersalah manakala akan atau setelah melakukan kekerasan terhadap anak.

Beberapa aspek yang berdampak langsung pada kekerasan dunia anak-anakdiantarnya ; pertama, Orang Tua. Para orang tua mestinya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan biarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Orang tua harus menyadari betul bahwa anak yang dilahirkannya memiliki hak yang include di dalamnya yang harus mereka penuhi. Bukan justru anak diperlakukan seenaknya karena merasa memiliki hak penuh atas anaknya.

Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak seharusnya seorang anak dibebani kewajiban mencari nafkah untuk dirinya (atau bahkan keluarganya).

Kedua, Guru. Di sini peran seorang guru dituntut untuk melihat bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan.Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak. Sehingga guru memahami perannya yang urgen dalam mendidik anak yang berbagai macam karakter dan latar belakang

Ketiga, Masyarakat. anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat sekitar dia hidup. Untuk itu diperlukan kesadaran juga kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak kita ini. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai satsiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu ini akan berpengaruh paa pembentuk mental dan pribadi anak. Menjadi tanggung jawab penyelenggara siaran TV untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.

Keempatpemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Bahwa orang tua berkewajiban menyayangi, mendidik dan melindungi anak-anaknya, itu benar. Namun ini bukan berarti, negara lantas melepas tanggung jawabnya. Untuk membumikan Konvensi-Konvensi yang telah diratifikasi, selain pengembangan sistem hukum formalnya, dibutuhkan juga perubahan yang sifatnya struktural. Adalah hal yang mustahil berharap masyarakat menyadari arti penting hak-hak anak jika disaat yang sama ternyata negara dan elit-elit politik masih belum memiliki sensitivitas terhadap persoalan anak. Padahal negara adalah pemegang kunci dalam pemenuhan hak-hak anak. Dapat dikatakan bahwa tidak terpenuhinya hak anak secara optimal karena tidak ada penjaminan yang jelas oleh negara.

Upaya Negara : Masih sebatas Wacana dan Retorika

Meskipun negara melakukan upaya-upaya penanganan setelah kasus kekerasan pada anak atau mulai meratifikasi RUU Perlindungan anak, namun upaya ini dinilai tidak cukup. Hal ini senada dengan pernyataan Asrorun Niam Sholeh (Ketua KPAI) menilai bahwa dari tahun ke tahun masih terjadi peningkatan kejadian kekerasan anak. Meskipun pada tahun 2015 terjadi penurunan, namun jumlah pelaku bertambah. Hal in bisa saja terjadi karena belum tentu semua kasus tidak luput dari pelaporan.

Negara gagal melindungi anak bangsa dari ancaman kekerasan anak jika hanya mengatasinya dari aspek ‘kuratif’ saja tanpa menjamah aspek ‘preventif’ yang justru aspek penting dalam membendung hulu dari kekerasan anak. Diantaranya kebijakan negara yang masih longgar terhadap peredaran film-film, media dan hal-hal yang berbau kekerasan atau pornografi yang menjadi pemicu tindak kekerasan. Hal ini tentu membutuhkan peran inter-sektoral dalam mengatasi kekerasan anak ini. Misal peran dari KPAI, Kementerian Pendidikan, Kementerian Komunikasi dan Informasi dan pihak-pihak lainnya. Termasuk dari peran negara menjamin tercukupinya lapangan pekerjaan untuk menopang perekonomian setiap keluarga. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pemicu kekerasan pada anak salah satunya adalah kemiskinan, seperti yang diungkap oleh Kak Seto.

Jika kita menginginkan generasi masa depan tumbuh dengan lebih baik, sangatlah wajar apabila anak-anak harus mendapatkan perhatian. anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya di bawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Karena kita sadari kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas, bahkan masa depan anak-anak kita.

LEAVE A REPLY