Kasus Covid-19 Meningkat Tajam, Fasyankes Hampir Tenggelam?

Share

Melihat peningkatan jumlah kasus yang meroket ditambah angka kematian yang perlahan melambung tinggi, apakah fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) mampu menanggulangi hal ini?

Penulis: dr. Nisa Utami, Sp.PD

Kasus baru Covid-19 meroket dengan peningkatan hingga 110,52% hanya dalam lima hari pertama pada Februari. Pada 1 Februari, terdapat 16.021 kasus baru Covid-19. Jumlah ini terus meningkat secara eksponensial setiap harinya. Terdapat 33.729 kasus baru dalam 24 jam terakhir hingga Sabtu siang (5/2/2022). (kompas.com).

Penambahan jumlah yang fantastis ini menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 4.480.423 sejak diumumkan pertama kali pada 2/3/2020. Ahli epidemiologi Indonesia dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan jumlah kasus Corona di Indonesia kini sebenarnya 10 kali lipat dari angka resmi yang terlaporkan. (health.detik.com). Perbedaan ini karena keterbatasan kemampuan testing di Indonesia yang hanya mencapai 50—100 ribu/per hari.

Selain itu, perilaku masyarakat yang enggan memeriksakan diri untuk test usap jika hanya bergejala ringan, diduga menyebabkan kasus riil di lapangan sebenarnya jauh lebih tinggi.

Infeksi akibat varian Omicron juga terus bertambah. Kemenkes RI melaporkan, hingga 5/2/2022, terdapat 4.415 kasus konfirmasi Omicron, 22.285 kasus probable Omicron, dengan persentase konfirmasi lokal sebanyak 40,23%.

Transmisi komunitas Level 4 (very high) terjadi hampir di seluruh Jawa dan Bali dengan rata-rata penambahan 2.474 kasus probable Omicron pada minggu kelima (23—29/1/2022). Jumlah kasus Omicron yang terlaporkan ini pun tidak menggambarkan kasus riil di lapangan karena keterbatasan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS). Kemenkes RI membuat kebijakan WGS hanya 1.350/bulan untuk sampel dari rumah sakit dan 300/bulan untuk sampel dari daerah.

Angka Kematian Meningkat

Infeksi varian Omicron ini cenderung disepelekan karena sebagian besar pasiennya bergejala ringan. Berdasarkan penelitian Professor Ahli Virus dan Penyakit Infeksi asal University of Hongkong, Dr. Michael Chan Chi-wai, Omicron berkemampuan menggandakan diri (replikasi) 10 kali lebih rendah pada jaringan paru dibandingkan varian Delta sehingga ditengarai tingkat keparahannya juga rendah.

Namun, yang perlu diingat, Omicron mampu bereplikasi 70 kali lebih tinggi hanya dalam waktu 24 jam pada bronkus (pipa saluran napas utama) dibandingkan varian Delta. Hal ini dapat menyebabkan virus varian Omicron menjadi makin infeksius karena ada mekanisme adaptasi setelah banyak terjadi interaksi.

Selain itu, respons imunitas tubuh setiap orang berbeda-beda terhadap infeksi virus. Ada ancaman terjadinya Badai Sitokin yang dapat menyebabkan kematian akibat disregulasi respons imun terhadap infeksi virus varian ini. Bagi orang yang memiliki komorbid atau belum dapat divaksin, ancaman kematian akibat varian Omicron tetap ada.

Berdasarkan laporan Kemenkes RI, dari 21 Januari hingga 4 Februari 2022 sudah terdapat 588 pasien meninggal, 46,3% terkonfirmasi Covid-19, 53,7% meninggal sebelum diketahui hasil tes usap dengan status probable.

Walaupun laporan kasus kematian akibat varian Omicron “baru” dua orang (data kemkes.go.id), bisa jadi kenyataan di lapangan lebih dari itu mengingat keterbatasan pemeriksaan WGS.

Melihat peningkatan jumlah kasus yang meroket ditambah angka kematian yang perlahan melambung tinggi, apakah fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) mampu menanggulangi hal ini?

Fasyankes Mulai Kewalahan

Peningkatan kasus baru Covid-19 ini membuat fasyankes kewalahan. Berdasarkan Laporan Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes RI, hingga 5/2/2022, hanya 75% dari 3.114 rumah sakit di Indonesia yang melayani pasien Covid-19. Dari ketersediaan total tempat tidur sebanyak 392.280, hanya 20% yang tersedia untuk pasien Covid-19.

Data RS Online Yankes Dinas Provinsi memperlihatkan saat ini sudah 1.011 RS yang sedang merawat pasien Covid-19. Persentase keterpakaian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) untuk pasien Covid-19 harian di Indonesia terus meningkat. BOR di DKI Jakarta saja sudah mencapai 63%, menyusul RS di wilayah Jabodetabek lainnya yang mencapai 20—60%.

Walaupun gejala penyakit sebagian besar ringan, ternyata pemakaian ruang intensif (ICU) untuk pasien Covid-19 sudah mencapai 10%. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abraham Wirotomo menuturkan, pihaknya menerima laporan bahwa warga Jakarta mulai kesulitan mencari rumah sakit. (bisnis.com). Hal ini membuktikan fasyankes di Indonesia sudah mulai kewalahan menghadapi lonjakan kasus beberapa hari ini.

Butuh Strategi Penanganan Komprehensif

Saat lonjakan kasus yang eksponensial belakangan ini, sementara keterpakaian tempat tidur di RS sudah mulai penuh, perlu strategi penanganan yang komprehensif. Ini mengingat kemampuan varian Omicron dapat menginfeksi 70 kali lebih cepat yang dalam hitungan minggu saja peningkatan kasus sudah akan mencapai puncaknya.

Strategi penanganan pemerintah sejauh ini masih seputar testing, tracing, dan isolasi. Dalam tingkat pelayanan umum, pemerintah mendorong konversi tempat tidur untuk pasien Covid-19 dan ketersediaan obat-obatan. Akan tetapi, strategi ini masih seputar penanganan di hilir semata, artinya belum ada upaya lebih untuk penanganan di sisi hulu.

Untuk mengumumkan masuknya Indonesia ke gelombang ketiga saja, sempat terjadi kesimpangsiuran berita, padahal peningkatan kasusnya sudah sangat nyata. Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 saja masih menjadi pilihan terakhir. Hal ini terlihat dari pernyataan Menko Marves Luhut yang akan akan memulai melakukan pengetatan ketika kasusnya melebihi 500 dan 1.000 kasus per hari. (kompas.com, 20/12/2021).

Sekarang, setelah kasus mencapai puluhan ribu sekalipun, pengetatan kegiatan tidak juga diberlakukan. Secara tidak langsung, ini menunjukkan keberpihakan pemerintah yang lebih mengutamakan ekonomi. Padahal, jika strategi yang dipilih tidak komprehensif dari hulu ke hilir, kerugian nyawa dan materi yang terjadi akan lebih tinggi lagi.

Sistem Islam, Solusi Hakiki Menghadapi Pandemi

Ketiadaan upaya komprehensif dalam menghadapi pandemi saat ini adalah potret suram sistem pemerintahan kapitalisme yang diambil sebagai pengaturan kehidupan bernegara. Kapitalisme menjunjung tinggi asas kebermanfaatan, keputusan yang lebih menguntungkan secara ekonomilah yang akan diberlakukan.

Jika lockdown total diterapkan, sektor perekonomian tidak berjalan. Di situlah pemerintah seharusnya mengambil alih penghidupan rakyatnya—sesuai mandat UUD 1945 terkait karantina—yang jelas akan mengeluarkan biaya besar.

Segala strategi yang dikeluarkan pun terkesan asal-asalan akibat terbiasa mengambil solusi pragmatis yang mengutamakan asas kepraktisan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan sistem kehidupan Islam. Dalam Islam, tanggung jawab utama dan kewenangan mengatur setiap hal menyangkut hajat hidup orang banyak ada pada pemerintah.

Penguasa juga harus menyadari, mereka akan dimintai pertanggungjawabannya atas setiap nyawa rakyatnya yang melayang akibat tidak me-riayah dengan baik. Pelayanan kesehatan dalam Islam mengutamakan perkembangan ilmu pengetahuan dan nyawa manusia, bukan keuntungan ekonomi semata.

Selain perilaku menjaga kebersihan sebagai bagian dari protokol kesehatan, prinsip lockdown dan karantina juga menjadi bagian dari ajaran Islam. Strateginya pun begitu komprehensif karena didukung sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan. Ini karena islam mengatur ranah kebijakan publik sekalipun.

Walhasil, sistem kehidupan Islam merupakan solusi menghadapi pandemi. Sudah saatnya kita melakukan perubahan mendasar dengan mengambil sistem kehidupan Islam sebagai pedoman. Solusi yang Islam tawarkan sudah teruji dapat menyelamatkan negeri kala pandemi. Lebih khusus lagi, ketika menerapkan aturan Islam dalam setiap segi kehidupan, Allah pasti akan menurunkan kemaslahatan. Wallahualam. [MNews/Gz]

Sumber: https://muslimahnews.net/2022/02/06/1362/

Read more

Local News