sumber gambar : http://www.cnn.com/interactive/2020/health/coronavirus-us-maps-and-cases/
oleh : apt. Aulia Yahya
Anggota Healthcare Professionals For Sharia (Help-S)
Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulawesi Selatan
Meningkatnya kasus Covid -19 beberapa hari terakhir ini sebenarnya sesuatu yang sudah diprediksi jauh hari sebelumnya. Sinkronisasi antara kebijakan pemerintah serta perilaku masyarakat dalam merespon potensi tersebut tentu menjadi faktor penentu yang dominan.
Di sisi pemerintahan, kapasitas satu negara dalam hal ini kemampuan kontrol atas sistem perawatan kesehatan dan administrasi publik akan berkontribusi nyata terhadap tanggapan pemerintah terhadap Covid-19.
Rumusannya sederhana. Tidak ada strategi yang akan berhasil sepenuhnya tanpa seperangkat kebijakan sosial yang kuat. Kesemuanya dirancang untuk memastikan individu dan bisnis kecil mampu mematuhi aturan pembatasan.
Pandemi Covid-19 menjadi parameter dalam menyoroti isu ketidaksetaraan dalam akses terhadap perawatan kesehatan dan kemampuan orang untuk dapat tinggal di rumah demi melanjutkan pekerjaan yang mereka lakukan. Kemiskinan, jenis kelamin, keterampilan pekerjaan dan status imigrasi telah menjadi faktor-faktor yang menentukan siapa yang lebih rentan terhadap infeksi di masyarakat.
Terlebih masing-masing negara memiliki perbedaan besar dalam membentuk kebijakan sosial yang mereka rancang untuk mengelola krisis dan mendorong pemulihan ekonomi sebagai antisipasi dampak pandemi yang bisa diprediksi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Di fase-fase awal penyebaran Covid – 19 di Indonesia dinilai tidak siap dalam menghadapi badai pandemi. Malahan di awal, pemerintah Indonesia melalui para petingginnya terkesan “menyepelehkan” pandemi Covid -19 dengan dalih Covid – 19 tidak akan masuk ke Indonesia.
Barulah ketika Maret 2020, setelah adanya dua kasus ibu dan anak yang terkonfirmasi positif Covid – 19, pemerintah secara tertatih-tatih mulai melakukan upaya pengendalian penyebaran virus Covid – 19 melalui seruan kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah, serta kampanye pembatasan sosial (social distancing), hingga pada level kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Bahkan pada saat itu, sekira Agustus 2020 lalu, dalam salah satu artikel yang diterbitkan oleh Al Jazeera berjudul Endless first wave: How Indonesia failed to control coronavirus, disebutkan bahwa Indonesia termasuk sebagai salah satu negara dengan pendekatan yang tidak ilmiah ketika menangani virus corona.
Dalam catatan penulis, kampanye penerapan perilaku sehat, yaitu selalu Memakai Masker, Mencuci Tangan Pakai Sabun dan Menjaga Jarak oleh Kementerian Kesehatan baru dimulai pada Agustus sampai November 2020. Untuk Kampanye Nasional Pakai Masker ini dilakukan mulai 10 Agustus – 6 September 2020, kemudian dilanjutkan dengan kampanye Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) pada 7 September – 6 Oktober 2020. Kampanye Jaga Jarak dimulai 7 Oktober – 6 November 2020. Adapun program vaksinasi COVID-19 di Indonesia baru mulai dilakukan oleh pemerintah pada Januari 2021 dengan secara simbolik pertama kali disuntikkannya vaksin buatan Sinovac kepada Presiden diikuti sejumlah pejabat, tokoh agama, organisasi profesi serta perwakilan masyarakat turut mengikuti vaksinasi.
Langkah pemerintah terkait vaksin yang terbaru pada bulan Juni 2021 ini adalah surat edaran Kementerian Kesehatan perihal percepatan pelaksanaan program vaksinasi nasional Covid – 19 dengan harapan kekebalan kelompok dapat segera tercapai.
Ada hal yang penting untuk dicatat bersama. Pemerintah sejak awal “ambigu” dalam mengatasi Covid -19. Kebijakan yang ditempuh tidak pernah fokus pada penanganan kesehatan. Hal ini nampak ketika pemerintah selalu coba mencari keseimbangan penanganan Covid -19 dari sisi kesehatan dan ekonomi. Akibatnya, dalam mengatasi pandemi Covid-19 selalu tarik ulur seperti bermain layang-layang untuk mencapai keseimbangan sisi kesehatan dan sisi ekonomi. Mudik dilarang, tapi arus masuk TKA dan turis dari negara asing tetap dibuka lebar. Pembatasan ketat aktivitas ibadah serta kerumunan warga, namun longgar untuk aktivitas pariwisata, pengunjung pusat perbelanjaan dan aktivitas ekonomi lainnya.
Aspek penindakan juga demikian. Sanksi sosial hingga sanksi hukum tampak tidak merata. Ada ketidaksamaan perlakuan hukum ketika pelanggaran terjadi, bahkan terkesan tebang pilih. Jika yang melakukan adalah oknum penguasa, keluarga pejabat, partai politik pendukung penguasa, maka akan aman-aman saja. Beda ketika pelanggaran tersebut dilakukan oleh masyarakat awam, individu-individu, hingga sampai kepada pertimbangan latar belakang pandangan politik dan afiliasi pada kelompok dan golongan tertentu, maka sanksi yang diberikan cukup keras mengarah ke tindakan hukum yang berlebihan.
Di sisi lain, secara umum kesadaran masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid sudah dari dulu juga sangat memprihatinkan. Berdasarkan penelitian atau survei yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) Pusat September 2020 lalu, sekitar 44 juta jiwa penduduk Indonesia tidak percaya Covid-19 dan tidak yakin dirinya bisa tertular Covid-19. Jumlah penduduk Indonesia yang tidak percaya Covid-19 tersebut mencapai 16 % dari sekitar 268 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa sikap apatis tentang bahaya Covid-19 tersebut membuat orang enggan mematuhi protokol kesehatan Covid -19.
Ketidak-pedulian warga masyarakat terhadap 3M dan melakukan isolasi mandiri membuat potensi penularan Covid-19 di masyarakat akan tetap tinggi seperti terjadi di beberapa negara besar, yang kebanyakan gagal mengatasi pandemi Covid-19 karena masyarakatnya tidak percaya adanya Covid-19 bahkan cenderung pada pandangan bahwa pandemi Covid – 19 adalah rekayasa.
Jika sinergitas negatif seperti ini dibiarkan terus berlangsung, maka upaya memutus mata rantai penyebaran Covid – 19 di Indonesia akan tetap menemui jalan buntu [ ].