Oleh: Nonik Sumarsih, S.Si (Aktifis Dakwah Kampus Surabaya)
Pandemi Covid-19 atau Corona memang telah menimbulkan krisis multidimensi. Bahkan, menurut Henry Kissinger, mantan Menlu AS bahwa tatanan dunia global tidak akan lagi sama setelah pandemi Corona. Saat Corona mewabah, krisis sektor ekonomi langsung terasa bahkan sekelas negara adigdaya Amerika. Para pemimpin negara pun berusaha untuk mengupayakan agar wabah ini segera berakhir.
Keinginan yang sama ini juga diungkapkan oleh presiden RI, Ia menegaskan bahwa kurva COVID-19 harus turun pada bulan Mei 2020, dengan cara apa pun sesuai dengan target yang ditetapkan. Memang beberapa saat yang lalu pihak pemerintah telah mengklaim pandemi COVID-19 berhasil dikendalikan. Klaim tersebut didasari dari kurva penurunan kasus baru beberapa hari terakhir dan tingkat kesembuhan pun mengalami kenaikan.
Sayangnya, klaim kurva Covid-19 yang menurun ini diragukan oleh ahli epidemologi. Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) mengatakan hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi, meski sudah 68 hari setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan.
Kurva epidemologi merupakan alat visualisasi standar dan paling populer untuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian. Kurva ini diperoleh dari data jumlah kasus baru suatu daerah yang dipresentasikan dalam koordinat sumbu Y. Sehingga, diperlukan jumlah orang yang diperiksa sebelumnya. Semakin banyak pemeriksaan yang dilakukan kepada orang yang berisiko tertular Covid-19, maka kurva yang dihasilkan akan semakin baik sebab hal tersebut menjelaskan realitas yang sedang terjadi. Artinya, besaran jumlah orang yang akan diperiksa menentukan derajat kepercayaan dalam kurva epidemi (https://theconversation.com/08/05/2020).
Sedangkan sumbu X pada kurva epidemi adalah data terkait dengan patokan waktu analisis. Untuk kasus Covid-19, idealnya kurva epidemi menggunakan patokan tanggal orang terinfeksi, bukan tanggal mulai bergejala, apalagi tanggal kasus dilaporkan oleh otoritas. Seandainya terdapat 100% orang terinfeksi pada suatu hari, kemudian mereka semua diperiksa dan hasilnya diketahui pada hari yang sama, maka frekuensi kasus baru pada hari itu dibandingkan dengan hari sebelumnya menggambarkan laju infeksi harian (daily infection rate) yang sesungguhnya. Dan kurva epidemi tidak akan sama antara satu daerah dengan daerah yang lainnya.(https://theconversation.com/08/05/2020).
Namun, sampai saat ini pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus COVID-19. Sumbu Y kurva tersebut menjelaskan tentang jumlah kasus konfirmasi tambahan, sedangkan sumbu X -nya adalah tanggal pelaporan ke publik. Padahal jumlah kasus konfirmasi tambahan tidak sama artinya dengan jumlah kasus baru. Sehingga angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya. Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian. Sebab terdapat faktor lain yang sangat berpengaruh dalam kurva tersebut yaitu rentang waktu antara jarak dan sampel diambil dengan hasil pemeriksaan yang dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan.
Demi mencapai ambisi “menurunkan kasus covid-19 dengan cara apapun” bukan berarti dengan cara sembrono membaca data dan indikatornya. Tentu tindakan seperti ini akan mengancam keselamatan dan nyawa rakyat sendiri ditengah pandemi. Apalagi jika “kurva landai” dijadikan bahan kampanye sebagai sebuah keberhasilan pemerintah menekan penyebaran virus covid-19. Dan dijadikan sebagai legitimasi pelonggaran PSBB demi menyelamatkan ekonomi, tentu ini adalah sebuah kebohongan publik yang nyata.
Kebohongan memang menjadi karakter laten pemimpin yang dihasilkan dalam sistem Kapitalis. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk membuat citranya di depan publik menjadi baik, meski harus melakukan kebohongan yang sangat berpotensi membahayakan nyawa rakyatnya. Sebab cara pandang pemimpin dalam sistem Kapitalis adalah bagaimana mereka terus bisa berkuasa dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Inilah kesalahan mainset kepemimpinan dalam sistem kapitalis yang sebenarnya menjadi sumber kesengsaraan rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam (Khilafah), mainset pemimpin bukan hanya soal berkuasa di dunia melainkan juga ada pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, karakter kepemimpinan dalam Khilafah adalah pemimpin yang luar bisa sense of leadernya.
Khalifah tidak akan membahayakan keselamatan rakyatnya. Kesehatan yang dipandang sebagai kebutuhan dasar setiap warga negara akan dijamin pelayanannya oleh negara dengan kualitas terbaik. Negara Khilafah menyediakan layanan kesehatan bagi setiap individu rakyatnya baik itu muslim maupun non muslim, kaya atau miskin secara gratis.
Apalagi ketika terjadi pandemi seperti saat ini. Khalifah akan mengupayakan seluruh kemampuannya agar rakyat yang terdampak wabah bisa disembuhkan dan diselamatkan. Khalifah akan melakukan tindakan yang logis sesuai dengan qadar Allah agar wabah menurun. Khalifah akan memberlakukan upaya lockdown agar virus tidak menyebar ke daerah lain. Tak hanya itu, Khalifah pun akan menanggung kebutuhan logistik masyarakat wabah tanpa terkecuali. Pun Khalifah menyediakan pelayanan yang memadai, baik dari segi tenaga media profesional, peralatan medis, sampai obat-obatan. Warga yang sehat di daerah wabah akan diberlakukan protokol khusus sebagai upaya pemutus rantai penularan. Protokol khusus tersebut pun juga didukung dengan jaminan ketersediaan barang, obatan-obatan dan yang lainnya.
Para ilmuan didorong untuk mengembangkan berbagai penemuan sehingga dapat ditemukan obat ataupun vaksin yang relatif dapat menghentikan laju infeksi wabah. Sehingga Khalifah dapat memberikan kepada masyarakat secara gratis tanpa komersalisasi. Inilah jaminan kesehatan Khilafah saat terjadi wabah.