PSBB, Karantina Wilayah (lockdown); Bagaimana Mengatasi Wabah Penyakit Menurut Islam?

Share

Oleh: dr. Eko Budi S (member of HELP-Sharia)

Tulisan ini kami salinkan dari presentasi yang penulis sampaikan 20 April 2020 lalu dalam forum daring pekanan yang digelar oleh Sohib Surabaya di kanal My Sohib. Untuk memudahkan pemahaman, pemaparan materi dalam forum tersebut kami bagi menjadi beberapa bagian. Di akhir sesi forum, ada pertanyaan-pertanyaan yang cukup mengagetkan muncul dari live chat youtube.

Wabah Covid-19 merupakan wabah penyakit terutama saluran napas yang disebabkan oleh virus corona jenis baru (SARS-CoV-2). Serangan wabah oleh invisible soldiers ini merebak di Wuhan China sejak Desember 2019 dan dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Sampai 20 April 2020, virus ini telah menimbulkan kengerian di 213 negara dengan total kasus global sekitar 2.421.000 positif dan lebih dari 165.000 orang meninggal. Di Indonesia sendiri tercatat 6760 kasus dengan 590 kematian, di Jawa Timur tercatat 590 kasus dengan 54 kematian, dan di kota Surabaya tercatat 299 kasus dan 31 kematian.
Terkait upaya penanganan, DKI Jakarta sudah menerapkan PSBB hampir 2 pekan dengan hasil yang belum menyenangkan. Di Jatim sendiri ada 3 daerah yang bersiap akan memberlakukan PSBB, meliputi Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Situasi wabah dengan eskalasi yang masih terus meningkat tentu menyedihkan sekali apalagi umat Islam bersiap menjalani bulan Ramadhan.

Catatan Kritis Penanganan Wabah Covid-19 di Indonesia
Pertama, terlambat sekitar 2,5 bulan. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid19 di bawah BNPB tanggal 13 Maret 2020 saat virus ini sudah menyerang 69 negara dengan lebih dari 89.000 kasus dan 3.000 kematian. Padahal banyak negara lain yang lebih responsif melakukan containment, seperti Taiwan, Papua Nugini, Korsel, dan Vietnam.

Kedua, tampak meremehkan dan mengabaikan. Ini bisa dicermati dari banyak pernyataan pejabat tinggi negara yang bisa kita akses beritanya. Di sisi lain peringatan-peringatan terkait wabah dari para ahli misalnya dari Universitas Harvard masyarakat tampak diabaikan. Pada saat yang sama, tenaga kerja asing dari China sebagai negara asal virus terus berdatangan ke Indonesia.

Ketiga, pemerintah tampak tidak fokus pada wabah. Berbagai kebijakan yang berjalan di masa wabah justru menunjukkan fokus yang berbeda, misalnya tetap mendorong investasi dan pariwisata, pembangunan ibukota negara baru, pembahasan RUU Omnibus Law Cilaka, ekspor APD ke berbagai negara di tengah kelangkaannya bagi tenaga kesehatan, dan penyediaan alat deteksi virus yang sangat kurang.

Keempat, sistem informasi (data dan sebaran kasus) yang kurang jelas dan kurang terbuka. Perkiraan IDI dan FKM Universitas Indonesia kasus kematian mencapai 2-4 kali lipat dari laporan resmi. Data dan sebaran ODP maupun PDP kurang jelas, sehingga awareness masyarakat juga kurang terbentuk. Kasus wabah ini menjadi fenomena gunung es di mana jumlah aslinya bisa mencapai 10 kali lipat yang terlaporkan.

Kelima, pebendungan wabah (containment) kurang agresif. Beberapa sisi ini bisa dilihat, misalnya edukasi publik yang kurang masif, tes masal (PCR ,rapid test) tidak tersedia, APD kosong sampai mengantarkan puluhan tenaga kesehatan meninggal dunia. UU no.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang isinya menjamin pemenuhan kebutuhan sehari-hari penduduk dan ternak di wilayah yang dikarantina, tidak dijalankan dan justru dibuat aturan baru PP no.21 tahun 2020 tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diejawantahkan dalam Permenkes no.9 tahun 2020 tentang PSBB, di mana yang mengusulkan PSBB adalah masing-masing daerah sesuai situasi wabah dan sesuai kemampuan finansial daerah, bukan lagi dari inisiatif dari pusat. PSBB menjadi kebijakan setengah-setengah dan antar daerah tidak serempak, akhirnya situasinya di lapangan lebih seperti blind war.

Keenam, dana wabah minimalis, hanya 405,1 triliun. Ini pun masih dibagi lagi yang langsung untuk wabah sekitar 75 triliun saja. Kebijakan ini dibentengi oleh Perppu no.1 tahun 2020. Dana ini tidak bisa disentuk BPK auditnya. Nominal dana wabah ini terbilang sangat kecil dibandingkan banyak negara lain.

Memang benar tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi ini, akan tetapi ada beberapa negara yang bisa dibilang cukup berhasil penanganannya, misalnya Taiwan, Korsel, Vietnam, Selandia Baru.

Solusi Islam Mengatasi Wabah Penyakit
Bagi seorang muslim, mengharapkan wabah ini segera berakhir adalah sesuatu yang sudah jelas. Di sisi lain ada fakta yang tak kalah menyedihkan, yaitu tatkala seorang muslim mengaitkan wabah penyakit atau problematika kemasyarakatan lain dengan solusi Islam, masih saja sebagian pihak bersikap skeptis dan meremehkan. Islam masih dianggap hanya agama ritual saja seperti agama lain. Ini adalah kesuksesan paham sekulerisme yang telah diinternalisasikan dalam pikiran umat Islam sejak usia dini dan telah mengkristal sampai kini. Sekulerisme yang telah memenjarakan tuntunan Islam pada ranah privat, menempatkan syiar-syiarnya di sudut-sudut masjid, dan me-lockdown aturan Islam dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Padahal Islam tidak pernah mengenal sekulerisme sejak kelahirannya. Islam adalah agama sempurna (QS. Al Maidah: 3) dan guidance nya komplit (QS. An Nahl: 89) yang terbukti menjadi solusi paripurna umat manusia.

Solusi Islam dalam wabah ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi personal yang ini mencakup beberapa kaidah:

Meningkatkan tawakal, ridho terhadap takdir (qadha’), dan sabar dengan musibah wabah yang terjadi. Hal ini akan menjadikan optimis dan imunitas tubuh terjaga.
Memperbanyak istighfar, doa, dan ketaatan ibadah.

Menjaga kesehatan dan kaidah pencegahan penyakit (asupan bergizi, olahraga, pakai masker, cuci tangan dengan sabun, physical distancing, stay at home).

Meningkatkan peduli sesama. “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat…Allah senantiasa menolong hambaNya selama dia itu suka menolong saudaranya” (HR.Muslim)
Kedua, dari sisi pemimpin. Penanggulangan wabah apapun memang menjadi tanggung jawab bersama semua pihak, dan kuncinya ada di tangan pemimpin politik. “Maka seorang pemimpin adalah pengurus bagi rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang diurusinya” (HR.Muslim).

Pemimpin (penguasa) adalah penanggungjawab utama berbagai urusan rakyatnya. Pemimpin lah yang memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani wabah. Karakter pemimpin sebagai pelayan rakyat (khadim umat) haruslah muncul. Yang harus dikerjakan adalah:

Fast response, sejak awal memonitor dan bertindak sesuai eskalasi yang terjadi sehingga tidak terlambat.

Serius, tidak abai, dan tidak meremehkan. Keselamatan nyawa tentu prioritas dibandingkan urusan harta (ekonomi). Istilah Jawanya pilih nyowo tinimbang bondho, harta hilang bisa dicari lagi sedangkan nyawa tidak dapat dibeli dengan segunung emas di Papua. “…dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (TQS. Al Maidah:32)

Karantina wilayah (lockdown), total maupun parsial. “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu” (HR. Bukhari). “Seseorang yang memiliki unta sakit jangan membiarkan unta tersebut makan dan minum bersama unta yang sehat” (HR.Ibnu Majah)

Dalam karantina, semua kebutuhan penduduk diurusi dan dijamin dengan prinsip at any cost. Sehingga penduduk tidak khawatir akan urusan perut dan pekerjaan. Hal ini sudah diterapkan 14 abad lampau di masa awal peradaban Islam. Menurut Profesor Craig Considince dari Rice University, konsep Islam ini adalah pionir di dunia dan tetap efektif hingga masa kini.

Terapkan protokol kesehatan terbaik dalam wabah yang meliputi prosedur deteksi dini, diagnosis, pencegahan, pengobatan pasien (SDM dan sarpras kesehatan), dan penelitian obat. Hal ini lagi-lagi dilakukan dengan prinsip at any cost.

Kerja sama erat dengan semua pihak (para pakar, tokoh masyarakat, tokoh agama, media), edukasi dan komunikasi publik masif dengan baik sejak awal dan data kasus bisa diakses terbuka dengan kemajuan teknologi informasi. Hal ini akan meningkatkan awareness publik.

Mendorong masyarakat untuk bertobat dari dosa dan banyak melakukan ketaatan kepada syariat Allah Swt. Artinya pemimpin memiliki visi akhirat yang kuat, di mana semua manusia akan kembali kepadaNya. Sesuai dengan janjiNya di dalam at Thalaq ayat 2, “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa seluruh negara di dunia ini, termasuk negara-negara maju, memprediksi pandemi ini bakal lama dan mereka kesulitan mengatasi wabah Covid-19? Jawabannya karena sistem kesehatan mereka tidak mempersiapkan diri untuk itu dan saat terjadi wabah tidak bertindak sebagaimana mestinya. Hal ini apabila dicermati memang merupakan konsekuensi alami dari negara dengan ideologi Kapitalisme, di mana negara akan berperan seminimal mungkin dalam urusan pemenuhan keperluan masyarakatnya, termasuk urusan kesehatan. Sehingga apabila kita menginginkan semua urusan kemasyarakatan termasuk kesehatan beres, maka mau tidak mau pemimpin harus mengambil syariat Islam untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kerahmatan bagi seluruh alam akan terwujud. InsyaAllah.

Referensi:
https://www.covid19.go.id/2020/04/25/infografis-covid-19-25-april-2020/
https://kawalcovid19.id/
https://covid19.who.int/

Read more

Local News