BANUASYARIAH.ID, BANJARMASIN – Sekjen Healthcare Professionals for Sharia dr. H. Fauzan Muttaqien, Sp.JP- FIHA membuat sembilan catatan yang disampaikannya dalam Focus Group Discussion bertema Menakar Tanggungjawab Penguasa dalam Penanganan Wabah Covid-19, gelaran Banua Syariah Channel, Ahad (18 Syakban 1441 H/12 April 2020) pagi.
FGD ini sendiri digelar online, diikuti secara live oleh peserta melalui aplikasi webinar Zoom dan disiarkan melalui channel Youtube Banua Syariah.
Menurut dokter spesialis jantung asal Banjarmasin ini, ketika berbicara tentang Covid-19, wabah yang melanda dunia ini, maka semua orang telah menjadi ahli. Tapi pertanyaannya, seberapa pedulikah kita? Karena itulah dalam forum yang disaksikan para tokoh, ulama dan cendekiawan Banua tersebut, ia menyampaikan sembilan catatannya.
Pertama tentang sebaran data. Saat ini di dunia (Ahad, 12/4/2020) jumlah kasus positif Covid-19 menembus angka 1.774.063, sebanyak 108.480 diantaranya meninggal dunia. Tertinggi di Amerika Serikat 529.484 kasus dan 20.469 meninggal. Bahkan hari Jumat (10/10) di AS terjadi 2.108 kematian.
Indonesia sendiri sampai hari ini sudah tercatat 3.842 kasus positif, meninggal 327 kasus, case fatality rate 8,5 persen.
Sedangkan Kalimantan Selatan, tercatat 29 kasus positif, 23 orang masih dalam perawatan, 4 orang meninggal dan 2 sembuh.
Kedua tentang gambaran waktu, infeksi Covid-19 terjadi akhir Desember 2019 di Wuhan, Hubei, China, dan sampai saat ini belum teratasi di China.
Sedangkan Indonesia pertama kali mengumumkan dua kasus positif corona pertama pada 2 Maret 2020. Terlambat 2,5 bulan dibanding negara lain. Adapun Kalsel 20 hari sesudahnya, pertama kali mencatatkan kasus positif pada 22 Maret.
Ketiga, setelah melihat peta penyebaran dan gambaran waktunya, maka pertanyaan berikutnya sampai kapan dan seberapa lama, dan kira-kira sampai berapa jauh korban yang akan terjadi.
Kalau melihat kondisi Indonesia, dengan tidak adanya lockdown dan penanganan yang baik oleh pemerintah, bisa jadi Indonesia akan mengalami apa yang namanya herd immunity.
Gambaran herd immunity, Indonesia dengan 271 juta jiwa, bila terjadi herd immunity maka akan ada 70 persen penduduk terinfeksi. Hitungan kasarnya 189 juta jiwa.
Dengan gambaran bahwa pandemi ini adalah sebuah gelombang yang terjadi bertahap, maka bila perhitungannya sepertiga kasus terjadi pada gelombang pertama, akan mengenai 63 juta jiwa. Dengan case fatality rate 8 persen, maka kasarannya bisa jadi akan ada 5 juta jiwa yang meninggal dunia.
Gambaran seperti ini sudah diperingatkan. WHO beberapa hari yang lalu sudah memperingatkan Indonesia, bahwa bila saat ini tidak ditangani dengan baik, maka bersiaplah.
Bila pada bulan Januari-Februari, episentrum pusat Covid-19 ada China, Maret-April ada di Eropa dan saat ini bergeser ke Amerika, maka bersiaplah beberapa minggu atau beberapa bulan ke depan, episentrum akan berada di Indonesia. Walaupun kemudian Indonesia sendiri tidak menanggapi dengan serius.
Poin berikut, Indonesia sebenarnya adalah negara yang terlambat (terinfeksi corona). Sehingga sebenarnya bisa banyak belajar dari negara lain. Namun ternyata fakta di lapangan menunjukkan ketidaksiapan Indonesia.
Apakah kita siap bila terjadi episentrum kegawatan Covid-19 berpindah ke Indonesia? Dengan gambaran ketersediaan bed (tempat di RS untuk menampung orang sakit). Jumlah bed di Indonesia yang kira-kira siap hanya 310 ribu.
Dan Menteri Kesehatan RI beberapa waktu lalu merilis ada 132 RS rujukan, dengan jumlah orang yang bisa dirawat hanya 40.800 orang saja.
Padahal idealnya dengan kondisi menghadapi wabah seperti Covid-19, setiap 1000 orang ada 5 bed. Ada Rasio 5:1000. Sedangkan Indonesia hanya 1,2:1000,
Belum lagi bicara ketersediaan ventilator, saat ini jumlahnya masih jauh dari standar. Padahal data menunjukkan 5-10 % pasien Covid-19 perlu ventilator.
Data selanjutnya, APD dan tenaga medis dan paramedis yang bersiap menghadapi ini. Ternyata jumlah sangat jauh dari yang diharapkan, bahkan sebagian akhirnya harus memproduksi sendiri.
Jangankan berbicara APD untuk masyarakat awam, untuk medis saja APD belum siap.
Padahal medis dan paramedis rentan sekali, mereka berpuluh kali lebih rentan terkena virus ini dibanding masyarakat awam.
Mereka ini benteng, pasukan utama di lini depan. Kalau mereka sudah patah dan terkalahkan, bersiaplah gelombang ini akan masuk ke masyarakat awam.
Masalah berikutnya, tentang data yang tidak terbuka. Berapa sebenarnya orang yang terinfeksi? Sampai saat ini banyak orang yang meragukan, apakah itu data riil. Bahkan IDI, sebagai catatan pada 1 April ketika data berbicara 1500-an, IDI memperkirakan sebenarnya kemungkinan besar sudah 7500-an. Artinya data riil saat ini bisa jadi lima kali lipat dari kondisi sebenarnya.
Kemudian tentang siapa sebenarnya yang sudah terinfeksi. Sehingga sulit untuk men-tracing, mencari orang-orang yang sudah kontak dengan orang yang positif, orang-orang ini bertebaran secara liar.
Delapan, yang kena sampai saat ini adalah dominan masyarakat menengah keatas, akan sangat berbahaya ketika sudah dominan masyarakat kelas bawah. Maka akan sulit menghadangnya, akan mudah menginfeksi berbagai macam kalangan.
Sembilan, ternyata tidak ada edukasi yang baik di masyarakat. Masyarakat sendiri tidak paham tentang virus ini, sehingga melakukan berbagai macam penolakan. Ini yang kita prihatinkan. Misalnya di Semarang, ada penolakan terhadap pahlawan corona, perawat yang meninggal dunia, pemakaman ditolak dimana-mana. Akhirnya suami sendiri yang sanggup memakamkan, setelah melobi beberapa pemakaman. Ada juga yang melempari orang yang terkena corona.
Edukasi yang tidak berjalan ini akan berimplikasi pada masalah sosial, ekonomi dan politik. Edukasi yang tidak baik ini, diawali dari kebijakan pemerintah yang terlihat gagap, tidak serius bahkan terkesan main-main dalam penanganan corona ini. []