(Ilustrasi : tempo.co)
Oleh : dr. Eko Budi (Member of HELP-Sharia)
Semua orang pasti menginginkan tubuhnya dalam keadaan sehat, karena tanpa kesehatan apa yang dimiliki seolah tidak banyak berarti. Kesehatan dimaknai sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan investasi jangka panjang, baik secara personal maupun bangsa. Tanpa derajat kesehatan yang baik, maka masa depan suatu bangsa menjadi suram, terancam lost generation.
Apabila berbicara derajat kesehatan, kita tidak akan bisa lepas dari sistem kesehatan yang dijalankan suatu negara. Sistem Kesehatan merupakan pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen dalam suatu negara secara terpadu dan saling mendukung untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sistem kesehatan sendiri juga tidak bisa lepas dari beberapa unsur daya dukung utama, yaitu sumber daya manusia kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan manajemen kesehatan. Keempat unsur ini di back-up oleh sistem ekonomi dan politik yang dijalankan suatu negara.
Sejak awal era milenium ketiga ini, negara-negara Barat dikabarkan memiliki sistem kesehatan terbaik menurut standar internasional, misalnya menurut standar WHO. Rangking 10 besar dari 191 negara menurut WHO tahun 2000 adalah Prancis, Italia, San Marino, Andora, Malta, Singapura, Spanyol, Oman, Austria, dan Jepang.
Sistem kesehatan di negara-negara yang dikabarkan maju dan berpenghasilan tinggi, misalnya di Eropa dan Amerika Utara pun masih bermasalah, meskipun tidak sebanyak di negara-negara berkembang. Masalah yang menonjol adalah pembiayaan kesehatan. Masih banyak di antara rakyat mereka yang belum tercover pembiayaan kesehatannya sehingga harus membayar sendiri biaya kesehatannya. Negara-negara ini secara politik menganut sistem demokrasi dan secara ekonomi menganut neoliberalisme. Dengan kata lain negara-negara ini berbasiskan ideologi Kapitalisme dalam pengelolaan urusan rakyatnya. Di dalam doktrinnya, Kapitalisme menekankan minimalnya peran (campur tangan) negara dalam mengurusi keperluan rakyatnya. Peran negara dilepaskan dan dialihkan ke pihak swasta, termasuk dalam pemenuhan kesehatan rakyat. Sehingga bisa dilihat bahwa peran asuransi menjadi dominan di sana, baik asuransi sosial (BPJS Kesehatan dalam konteks Indonesia) maupun asuransi swasta. Atau model pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pajak tahunan yang tinggi seperti di banyak negara Barat yang lain. Di negara kapitalis, pajak memang menjadi sumber utama pendapatan negara bersama dengan utang. Sehingga mengharapkan adanya kebaikan dan keadilan dalam urusan kesehatan dari negara Kapitalis adalah suatu kesalahan berpikir yang nyata. Masalah lain yang mereka alami misalnya ketidaksiapan menghadapi wabah seperti pandemi Covid-19, yang bisa kita saksikan dampaknya buruknya terhadap sistem kesehatan negara-negara maju saat ini.
Indonesia secara global menempati rangking ke-92 dalam sistem kesehatan. Sehingga bisa dikatakan derajat kesehatan kita rendah, apalagi jika dikuliti indikator-indikator dalam sistem kesehatan dan membandingkannya dengan negara-negara lain. Bagaikan pungguk merindukan bulan, sebuah peribahasa yang tepat untuk sistem kesehatan kita.
Di era kemajuan iptek global ini, sebagian besar manusia, baik para ilmuan maupun pemimpin, cenderung untuk membanggakan kemampuan dan capaian yang telah diraih. Padahal apabila berpikir sedikit lebih mendalam saja, akan tampak bahwa pemikiran (akal) manusia sangat terbatas. Produk pemikiran (akal) manusia tidak bisa digunakan secara general untuk semua manusia, termasuk dalam urusan kesehatan, karena bisa jadi tidak sesuai dengan fakta situasi di negara tertentu dan sesuai di negara yang lain. Standar kesehatan yang baik dan adil misalnya, terus terjadi tarik ulur argumentasi dan kepentingan dari berbagai negara. Yang paling mengemuka adalah dari aspek skema pembiayaan kesehatan.
Berikut ini, mari kita coba gambarkan secara ringkas sistem kesehatan yang “ideal”. Apabila ditelaah lebih jauh, sistem kesehatan itu meliputi dua sisi, yaitu tataran konsep (filosofis) dan tataran manajemen aplikatif (teknis). Secara filosofis, kesehatan termasuk kebutuhan dasar manusia yang sifatnya kolektif, bersama dengan pendidikan dan keamanan. Hal ini terdapat perbedaan dengan kebutuhan dasar manusia yang bersifat personal, yaitu pangan, sandang, dan papan. Untuk kebutuhan dasar yang sifatnya personal, maka secara alami pemenuhannya dilakukan oleh masing-masing individu secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Dan apabila masih juga belum terpenuhi, maka digunakan mekanisme lain untuk memenuhinya, termasuk sampai dilakukan oleh negara. Sedangkan kebutuhan dasar kolektif, maka ini adalah kebutuhan bersama dan upaya pemenuhannya dilakukan secara langsung oleh negara. Maknanya negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhannya, sedangkan individu juga didorong untuk memenuhi sebatas kemampuannya.
Oleh karena itu, penyelenggaraan jaminan kesehatan menjadi kewajiban negara karena ini merupakan konsekuensi adanya kepemimpinan dalam masyarakat. Negara tidak boleh lepas tangan atau mengalihkan kewajiban ini kepada pihak lain. Adanya jaminan kesehatan ini membawa konsekuensi berupa jaminan pemenuhan SDM kesehatan dan sarpras secara cukup, berkualitas, dan merata, serta pembiayaan yang adekuat. Rakyat tidak boleh diwajibkan membiayai kesehatannya sendiri, misalnya melalui skema asuransi, baik sosial maupun swasta. Rakyat tidak boleh diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mendapatkan layanan kesehatan, alias gratis. Semua pembiayaan ditanggung oleh negara, at any cost. Meskipun demikian, layanan kesehatan swasta dan pribadi tetap diperbolehkan berjalan.
Layanan kesehatan juga diberikan secara sama dan adil kepada semua warga negara (egaliter) dan tidak ditentukan oleh kemampuan finansial. Maknanya semua warga negara memiliki akses yang sama terhadap fasilitas kesehatan yang ada.
Selain itu konsep upaya kesehatan promotif dan preventif lebih diperhatikan dibandingkan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dalam arti, semua upaya kesehatan ini dikembangkan secara optimal dengan adanya skala prioritas.
Sedangkan dalam tataran manajemen aplikatif (teknis), maka hal ini lebih bersifat longgar dan adaptif, dengan mengambil standar-standar yang sudah terbukti bagus (evidence based). Misalnya standar manajemen rumah sakit yang baik, standar sistem informasi kesehatan, standar obat-obatan dan fasilitas kesehatan, model dan kurikulum pendidikan kesehatan, skema besaran gaji tenaga kesehatan yang tepat, standar etika dan penelitian kesehatan yang tinggi, standar pedoman diagnosis dan terapi mutakhir, dan sebagainya. Tataran ini meskipun lebih luas variasinya, namun lebih mudah dilakukan, misalnya dengan mengambil contoh yang sudah ada di negara lain yang dianggap terbukti berhasil baik.
Akhirnya, untuk mewujudkan konsep filosofis dan manajemen aplikatif (teknis) dalam sistem kesehatan ini membutuhkan keseriusan dari pemimpin politik serta para stakeholder kesehatan, dan apabila sudah bisa dijalankan dengan baik, maka hal akan menjadi kebaikan dan kebanggaan umat manusia. Secara riil, impian seperti itu bisa kita temukan faktanya dalam era emas peradaban Islam. Sikap yang open minded dan kejujuran ilmiah akan mengantarkan kita untuk menemukan sistem kesehatan paripurna. Goodluck! (bersambung)
Sumber referensi:
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 72 tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.
http://www.who.int/healthinfo/paper30.pdf
https://en.wikipedia.org/wiki/Health_system#International_comparisons
https://www.who.int/bulletin/archives/78(6)751.pdf