Oleh: dr. Eko Budi (Member of HELP-Sharia)
Mendengar kata wabah penyakit, umumnya langsung membuat kita menjadi “parno” alias muncul kekhawatiran dan ketakutan. Takut tertular wabah dan terdampak merebaknya wabah secara tidak langsung. Sepanjang perjalanan hidup manusia di bumi ini, sudah banyak kali terjadi wabah berbagai jenis penyakit di berbagai negeri yang terdokumentasikan di dalam buku. Mulai dari wabah cacar dan campak yang terjadi ratusan tahun sebelum Masehi, thaun (penyakit pes) zaman Umar bin Khattab ra menjadi khalifah, black death abad ke 13 masehi, flu Spanyol setelah Perang Dunia pertama, dan wabah lainnya. Wabah yang telah terjadi tentu membawa korban jiwa yang tidak sedikit. Telah mengantarkan kematian bahkan sampe ratusan juta jiwa. Naudzu billahi min dzalik.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (TQS. at-Taghabun:11).
Tentu kita mengimani bahwa tidak ada segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini kecuali atas izin dan kehendak Allah Swt. Sang Maha Pencipta nan Kuasa. Termasuk adanya wabah penyakit. Sebelum ditemukannya anti mikroba maupun anti virus, menjadi sesuatu yang wajar apabila korban yang jatuh sangat mengerikan, karena memang adanya keterbatasan ilmu, SDM, dan sarana pengobatan. Akan tetapi wabah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir “hanya“ merenggut puluhan ribu jiwa manusia, salah satu faktor pendobraknya adalah dengan adanya kemajuan peradaban iptek manusia. Tentu dengan seizin Allah Swt.
“Wahai segenap jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan sanggup menembusnya, kecuali dengan kekuatan” (TQS. Ar Rahman:33)
Sayangnya dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia zaman now kelewat pongah. Seolah bisa hidup 1000 tahun. Bagaimana kita lihat Burj Dubai mencakar langit, bom atom diproduksi, pengeboran minyak tengah laut menembus bumi, stasiun luar angkasa, pesawat tempur siluman, super computer, bayi tabung, kloning hewan, dan rekayasa gen sudah tidak asing lagi. Mereka merasa hebat, tak terkalahkan. Kemudian mereka berpikir dan ber tindak tanpa batas, karena tidak mau dibatasi oleh siapapun. Termasuk oleh Sang Pencipta mereka. Mereka turuti semua keinginan nafsu dan keserakahan dengan dalih kebebasan dan HAM. Menolak syariah-Nya yang mengatur sisi-sisi kehidupan. Terlalu!
Akhirnya, kepongahan manusia pun diuji hanya dengan partikel tak kasat mata bagai siluman, tiba-tiba sudah menginvasi dan menjajah tubuh manusia tanpa mereka ketahui asalnya. Sebuah makhluk Allah Swt yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Dialah sang virus corona yang kemudian diberi nama resmi SARS-CoV2 atau penyakit Covid-19. Sebuah partikel yang baru bisa terlihat dengan mikroskop elektron, berukuran 120 nanometer, dan baru berbahaya bagi manusia setelah masuk ke dalam sel manusia. Kemudian terjadilah wabah yang diawali di negara China yang tidak mengakui adanya Sang Pencipta, terus meluas dengan ganas melampaui batas-batas wilayah negara bangsa buatan manusia abad kemaren. Melampaui daya jangkau roket antar benua. Tak peduli suku, agama, ras, dan status sosial. Akhirnya 2 bulan lebih kemudian WHO memutuskan bahwa telah terjadi pandemi virus corona.
Hari ini semua manusia dibuat ngeri, takut terkena wabah. Semua pemimpin negara heboh karenanya, kecuali pemimpin yang lebih peduli kepentingan investasi dan ekonomi. Para tenaga kesehatan berjibaku melawan musuh yang tak terlihat dan sebagian telah menjadi korban, melengkapi ribuan korban yang telah jatuh dan terus bertambah. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Ternyata pongahnya manusia sirna seketika dihadapkan dengan salah satu makhluk Allah paling mungil. Obat untuk wabah corona belum kunjung ditemukan, meskipun sudah mulai ada harapan. Akal manusia sangatlah kerdil senyatanya. Akhirnya mereka meminta kepada Sang Pencipta untuk mengakhiri serangan makhluk super mungilNya ini, bagi yang masih mau menggunakan akal sehatnya. Manusia yang ketika mendapatkan kesusahan merasa dekat dengan Pencipta, namun kembali menjauh setelah hilang kesusahannya.
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan” (TQS. Yunus:12).
Padahal Sang Pencipta telah jauh hari mengingatkan manusia akan kedurhakaan mereka.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS. Ar Rum:41)
Pada titik nadir inilah semestinya manusia zaman now ini mengakui dengan jantan fitrah penciptaannya yang lemah, sangat terbatas, dan membutuhkan kepada sesuatu yang lain. Pada titik nadir inilah semestinya manusia zaman now ini mendekat kepada Sang Pencipta, dengan memohon ampunan seraya tunduk patuh terhadap semua ketentuanNya yang mengatur kehidupan mereka, bukan malah mendurhakaiNya. Yang dengan semua itu, Dia berkehendak mengangkat cobaan berupa wabah yang sedang mereka derita ini. Semoga. []