Sikap Negara Ketika Menghadapi Krisis dan Bencana

0
1865

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, MA (Dewan Penasehat HELPS)

Dalam setiap zaman, krisis dan bencana nyaris tak terelakkan. Tak terkecuali dalam sistem Khilafah. Pembedanya adalah sikap manusianya dalam menghadapi krisis dan bencana. Allah SWT. sendiri menyatakan, “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?”

Inilah yang diinginkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Dengan musibah yang Dia turunkan, Dia hendak mengingatkan dan menyadarkan kita, agar kita kembali kepada-Nya. Tunduk dan patuh pada keputusan dan hukum-Nya. Begitulah yang Allah tuturkan dalam Q.s. Thaha: 128, as-Sajdah: 29, Ibrahim: 44-45, Maryam: 98, al-An’am: 6, al-Ahqaf: 25-27, Saba’: 45, al-Mulk: 18, al-Hajj: 45-46 dan al-An’am: 10.

Kembali kepada Allah

Berdasarkan nas-nas di atas, ketika bencana melanda, yang pertama-tama dilakukan oleh para penguasa, khususnya Khalifah sebagai kepala negara adalah melakukan evaluasi menyeluruh. Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana solusinya?

Negara Khilafah yang menerapkan hukum Islam secara kaffah tetaplah negara manusia, bukan negara malaikat. Kepala negara dan para pejabatnya juga manusia biasa, bukan para malaikat. Karena itu, bisa saja terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh manusia yang tidak maksum itu. Di sinilah, evaluasi dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran. Jika pun terjadi, pelanggaran tersebut segera diselesaikan. Sebab, inilah yang menjadi sebab datangnya bencana.

Evaluasi bisa dilakukan pada tiga kategori: Pertama, sistem. Kedua, masyarakat. Ketiga, individu. Pada tataran sistem, secara umum, Negara Khilafah telah menerapkan hukum Islam secara kaffah. Pada konteks sistem, tentu tidak ada yang salah dengan sistem Islam. Namun, harus diingat, bahwa sistem ini diimplementasikan oleh manusia. Nah, potensi kesalahan dalam penerapan sistem itu datang dari sini. Sebagai contoh, bai’at adalah sistem pengangkatan Khalifah adalah sistem yang benar. Tetapi, dalam implementasinya bisa terjadi pelanggaran, sebagaimana yang dilakukan Mu’awiyah ketika mengambil bai’at untuk anaknya dengan paksa. Cara seperti ini bisa menyebabkan lahirnya penguasa yang tidak kredibel, yang bisa menjadi pangkal bencana.

Karena itu, saat terjadi bencana kekeringan, kelaparan dan wabah, ‘Umar bin al-Khatthab banyak melakukan muhasabah dan bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Akibat kemarau yang sangat panjang, Madinah pun mengalami kekurangan pasokan makanan. Harga barang melambung, karena besarnya permintan, sementara pasokannya tidak ada. Sebagai kepala negara ‘Umar tidak melakukan penetapan harga, tetapi dengan menyuplai pasokan makanan dari Irak dan Syam ke Madinah, sehingga harga normal kembali, dan kebutuhan rakyatnya pun terpenuhi.

Sebaliknya, ketika wabah ganas menyerang wilayah Syam, ‘Umar pun berangkat ke sana dan menyelematkan sebanyak-banyaknya penduduk Syam yang bisa diselematkan, dipindahkan ke tempat yang aman, seperti Madinah. Termasuk Wali Syam, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah, yang saat itu sakit akibat serangan wabah, meski nyawanya akhirnya tak terselamatkan. Abu ‘Ubaidah berkata, “Apakah Anda hendak lari dari Qadar Allah?” Dengan tegas, ‘Umar pun menjawab, “Andai saja yang bicara bukan Anda [sahabat Nabi]. Kita lari dari satu Qadar Allah menuju Qadar Allah yang lain.”

Hanya saja, sistem yang diterapkan oleh negara Khilafah ada yang berupa hukum syara’, dan ada yang berupa hukum ijra’i. Sebagai contoh, menghindari bahaya hukumnya wajib, baik itu badai, banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Tetapi, bahaya tersebut tidak bisa dihindari, kecuali dengan sistem peringatan diri [early warning], termasuk analisis BMKG. Penerapan sistem peringatan dini dan analisis BMKG ini bagian dari hukum ijra’i. Maka, baik hukum syara’ maupun hukum ijra’i ini sama-sama pentingnya dalam menjauhkan diri dari bahaya.

Jika negara menerapkan hukum Islam, dan dengan pasti menyatakan bahwa menghindari bahaya hukumnya wajib, tetapi negara tidak menerapkan sistem peringatan diri [early warning], termasuk analisis BMKG dalam konteks bencana alam, maka negara dianggap melakukan kelalaian. Ini juga merupakan bentuk kemaksiatan yang bisa menyebabkan terjadinya bencana, sebagaimana jatuhnya Crane di Masjidil Haram, setelah diterjang badai hingga melukai dan menewaskan 180 an calon jamaah haji.

Masyarakat dan Individu

Bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah tidak hanya dilakukan oleh Khalifah dan penguasanya, tetapi juga oleh masyarakat dan individu. Kemaksiatan yang dilakukan di tengah masyarakat juga bisa mengundang bencana. Sebagai contoh, sikap abai masyarakat terhadap sampah, penebangan hutan, dan lain-lain. Begitu juga sikap rakus dan tamak individu juga bisa menjadi penyebab bencana. Kasus lumpur Lapindo adalah contoh nyata. Semuanya ini merupakan bentuk kemaksiatan yang bisa mengundang bencana.

Karena itu, baik negara, masyarakat maupun individu harus melakukan muhasabah. Setelah menyadari kesalahan dan dosanya, barulah mereka bisa kembali ke jalan Allah. Hanya saja, ini membutuhkan edukasi dan kepemimpinan.

Masyarakat akan bergerak jika mendapatkan edukasi dan keteladanan dari pemimpinnya. Saat menghadapi bencana, sebagai kepala negara, ‘Umar terjun langsung di tengah masyarakat. Hidup bersama mereka, bahu-membahu dengan mereka. Memikul sendiri makanan dari Baitul Mal untuk rakyatnya. Selama 2 tahun, beliau pun tak mau makan keju dan mentega, padahal itu merupakan makanan favoritnya.

Sikap ini berhasil membangun kebersamaan, dan sikap ta’awun di tengah masyarakat, di antara sesama mereka. Meski mereka sama-sama saling membutuhkan, tetapi tetap bisa mendahulukan orang lain. Tidak berebut, apalagi saling bunuh-membunuh karena berebut makanan. Inilah yang dikatakan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf kepada ‘Umar, “Betapa beda keadaan, karena keberkahan kepemimpinanmu? Tidakkan engkau perhatikan bencana dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa Jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini. Mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah. Mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa lalu.”

Masyarakat dikuatkan mental dan jiwanya untuk tunduk, ridha dan tawakkal kepada Rabb-nya. Pada saat yang sama, mereka ditempa untuk tidak menyerah. Itulah yang disampaikan ‘Umar kepada Abu ‘Ubaidah al-Jarrah dan penduduk Syam saat ditimpa wabah, “Kita lari dari satu Qadar Allah menuju Qadar Allah yang lain.” Secara kolektif, mereka pun diajak untuk memohon kepada Allah, dengan shalat dan munajat. Bahkan, ‘Umar secara khusus mengirim surat kepada penduduk Syam dan Irak untuk mendoakan penduduk Madinah saat ditimpa bencana. Begitu juga sebaliknya, ketika Syam diserang wabah.

Dengan demikian, mental dan jiwa tadi juga menjadi mental dan jiwa individu. Maka, individu-individu masyarakat ini mempunyai ketundukan, ridha dan tawakkal kepada Allah SWT. Mereka pun bersabar, dan lebih banyak mengingat Allah SWT. Begitulah seharusnya, ketika negara menghadapi krisis dan bencana.

LEAVE A REPLY