Oleh: dr. Wiwik Rahayu, M.Kes (Dosen Farmakologi FK UR)
Gonjang – ganjing masalah vaksinasi selalu hangat untuk diperbincangkan karena permasalahan vaksinasi selalu berulang kembali, ditandai dengan berbagai peristiwa akibat vaksinasi yang terjadi didalam negeri maupun di luar negeri. Sikap masyarakat terhadap vaksinasi juga beragam, ada yang setuju terhadap vaksin (provak), ada yang menolak vaksin (antivak) dan ada juga yang prochoise. Perbedaan sikap masyarakat ini menjadi indikator bahwa vaksinasi masih menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai di negeri ini.
Mereka yang setuju vaksin memiliki pertimbangan bahwa vaksin terbukti secara ilmiah dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga bermanfaat bagi kesehatan.
Mereka yang menolak vaksin memiliki pertimbangan bahwa masih ada vaksin yang mengandung bahan yang haram atau terkontaminasi dengan najis, vaksin justru menimbulkan penyakit yang berbahaya, adanya kapitalisasi vaksin dan adanya isu konspirasi atau depopulasi.
Sedangkan golongan yang prochoise, mereka memandang bahwa vaksinasi bukan segalanya bagi kesehatan, masih banyak cara lain yang berperan untuk mencegah terjadinya suatu penyakit diantaranya dengan pola hidup yang sehat, makanan yang bergizi, lingkungan yang sehat, dan lain – lain, sehingga bebas memilih untuk menentukan cara yang terbaik bagi kesehatannya dan vaksinasi hanya salah satu diantaranya.
Saya tidak akan membahas perbedaan ketiga sikap masyarakat tersebut. Sebagai seorang muslim mestinya tidak ada kebingungan dalam menentukan sikap, karena Allah dan Rasul-Nya telah memberikan solusi untuk setiap permasalahan manusia dan memberikan panduan atas setiap perbuatan kita dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan naluri manusia, begitu juga sikap kita terhadap vaksinasi.
“Dan kami turunkan Al – Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri ” (QS. An – Nahl : 89)
Vaksinasi adalah suatu tindakan memasukkan vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi merupakan tindakan pencegahan (preventif) tetapi dalam menghukuminya para ulama memasukkan ke dalam tindakan pengobatan, karena pengobatan juga mencakup preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Hukum asal berobat para ulama berbeda pendapat, hukum berobat yang saya ambil dan saya amalkan adalah sunah, sehingga vaksinasi tersebut hukumnya juga sunah. Hukum sunah bagi vaksinasi berlaku jika vaksinnya halal, tetapi jika vaksinnya haram maka hukum vaksinasi dengan vaksin yang haram adalah makruh artinya lebih baik kita menghindarinya meskipun jika tetap melakukan vaksinasi dengan vaksin yang haram juga tidak akan berdosa. Sedangkan jika vaksinnya berbahaya bagi kesehatan (dharar) maka hukum vaksinasi dengan vaksin yang berbahaya adalah haram artinya harus kita tinggalkan vaksin tersebut.
Dengan demikian sikap kita terhadap vaksinasi bisa berubah tergantung kepada Hukum Syara terhadap vaksin tersebut. Jika vaksinnya halal dan tidak berbahaya terhadap kesehatan maka sikap kita adalah provaksin, jika vaksinnya membahayakan kesehatan maka sikap kita adalah antivaksin, sedangkan jika vaksinnya haram sebaiknya kita menghindari atau memilih cara yang lain untuk pencegahan penyakit tersebut.
Dunia kedokteran menerapkan prinsip pengobatan rasional. Adapun kriteria obat rasional secara umum adalah efektif, aman, terjangkau dan saya menambahkan dengan satu kriteria lagi yaitu halal.
Efektif artinya obat atau vaksin tersebut terbukti dengan penelitian memiliki efek yang nyata. Klaim khasiat suatu obat atau vaksin harus bisa dibuktikan dengan penelitian baik uji preklinik maupun uji klinik , bukan hanya pembuktian secara empiris saja.
Sedangkan aman berarti obat atau vaksin tersebut terbukti tidak menimbulkan dampak merugikan yang berarti bagi pasien jika digunakan dalam rentang dosis terapi. Mengharap obat atau vaksin tanpa efek samping memang tidak mungkin karena tidak ada obat (termasuk obat herbal) yang memiliki efek tunggal, tetapi hendaknya efek samping yang timbul harus seminimal mungkin.
Oleh sebab itu pengobatan yang dilakukan haruslah pengobatan individu karna respons individu terhadap obat berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Terjadinya variasi respons individu terhadap obat dipengaruhi oleh faktor – faktor internal maupun eksternal dari pasien. Dengan kata lain untuk meningkatkan efek dan meminimalisir efek samping maka pengobatan haruslah tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat cara pemberian.
Terjangkau artinya obat atau vaksin mampu diakses oleh seluruh masyarakat dengan mudah tanpa syarat apa pun. Sedangkan halal berarti vaksin tidak mengandung bahan yang haram atau terkontaminasi dengan yang najis.
Pertanyaannya adalah mungkinkan vaksinasi rasional itu ada dalam sistim sekarang, yang didominasi oleh kapitalisme sekuler ?
Vaksin yang ada sekarang ini kebanyakan adalah vaksin yang irrasional karena masih belum memenuhi kriteria tersebut. Jika vaksin tersebut rasional tentunya tidak akan banyak menimbulkan masalah dan tidak akan terjadi gonjang – ganjing seputar vaksinasi di tengah masyarakat karena vaksin sejatinya adalah hasil dari sains dan teknologi yang bersifat universal, tidak ada kaitannya dengan Aqidah atau pandangan hidup tertentu, sehingga siapa pun boleh menggunakannya dan mengembangkannya.
Peredaran vaksin tidak bisa terlepas dari riset dan industri farmasi. Riset membutuhkan dana yang sangat besar dan kapitalislah yang berada dibalik riset itu, mereka membiayai kebutuhan riset tersebut. Begitu juga industri farmasi yang memproduksi vaksin dikuasai oleh perusahaan mereka dengan hak paten yang mereka miliki, sehingga sangat wajar jika tujuan utama mereka adalah mencari keuntungan dari pada mengutamakan kesehatan masyarakat. Halal dan haram vaksin tersebut tidaklah penting bagi mereka.
Industri vaksin kini telah menjadi bisnis raksasa yang hanya menguntungkan segelintir orang yaitu para kapitalis (pemilik modal), bahkan mereka mampu mendominasi pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Sebagai contoh, betapa sering kita menyaksikan KLB terhadap suatu penyakit direspons secara cepat oleh pemerintah dengan program vaksinasi, seolah – olah tidak ada cara lain lagi untuk mengatasi masalah tersebut selain vaksinasi. Namun ketika terjadi masalah akibat vaksinasi misalnya terjadi kelumpuhan, kecacatan atau bahkan kematian pada pasien, pemerintah tidak segera mengoreksi industri farmasi, sebaliknya justru terkesan menyalahkan masyarakat. Ini menjadi bukti bahwa negara tunduk terhadap kepentingan kapitalis dibandingkan dengan kepentingan kesehatan masyarakat.
Kapitalisasi obat termasuk vaksin adalah hal nyata yang tidak bisa dipungkiri lagi dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat dunia.
Dengan demikian sesungguhnya kapitalisme sekulerlah yang menjadi akar permasalahan sekaligus biang kerok atas terjadinya irrasional vaksin, sekaligus penyebab gonjang – ganjing vaksinasi di Indonesia dan dunia.
Oleh sebab itu tidak ada alasan lagi bagi kita berharap kepada kapitalisme sekuler ini, seharusnya segera kita tinggalkan sistem ini dan beralih kepada Islam.
Kenapa Islam sebagai solusinya? Ya, karna Sistim Islam dengan syariat-Nya telah di desain oleh Allah sebagai satu – satunya sistim yang pasti mampu menciptakan Rahmatan lil alamin, dan telah terbukti selama 12 abad mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh masyarakat tanpa memandang suku, ras, agama dan bangsa.
Dalam sisitim Islam, kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat sehingga pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh negara, riset dan industri farmasi juga harus dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu pembuatan obat dan vaksin semata – mata hanya untuk tujuan kesehatan masyarakat bukan profit oriented, dengan demikian akan terwujud vaksinasi yang rasional bahkan terwujud pelayanan kesehatan yang rasional.
″Jikalau sekiranya penduduk negeri – negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.″ (QS. Al-A’raf: 96).