Industrialisasi Sportainment

0
1251

Aulia Yahya

Perwakilan Healthcare Professionals for Sharia (HELP-S) wilayah Jepang

 

 

“Olah raga untuk kesehatan, dulunya.Olah raga untuk prestasi, menyusul setelahnya.

Olah raga untuk hiburan, katanya kini”

Tapi jangan salah, disebalik penyelenggaraan sebuah event olah raga juga sejatinya adalah sebuah bisnis besar, bahkan menjelma menjadi sebuah industri raksasa  mesin peternakan uang. Agent, club, company, iklan produk, sponsorship, EO, ticketing event, merchandise, hingga game judi pun ada silih berganti bersinergi memutar uang para penikmat dan penggila olahraga.

Taruh contoh perhelatan Piala Dunia yang baru saja berakhir kemarin. Sebagai tuan rumah, Rusia mengklaim Piala Dunia bakal mendongkrak perekonomian nasional dari US$ 26 miliar menjadi US$ 31 miliar atau dari Rp 364 triliun menjadi Rp 434 triliun.

Demikian pula halnya FIFA.  Sebagai perbandingan saja, pada Piala Dunia 2014 saja, FIFA mampu menarik pendapatan sebesar US$ 4,8 miliar atau Rp 67,2 triliun. Termasuk di dalamnya  pendapatan dari penyiaran mencapai US$ 2,43 miliar atau Rp 34 triliun. Adapun penerimaan dari sponsor dan penjualan tiket yang masing-masing menghasilkan US$ 1,6 miliar dan US$ 527 juta. Pada Piala Dunia kemarin, FIFA diperkirakan meraih sekitar US$ 6 miliar (naik 25% dari 2014).

Bagi tim yang ikut berkompetisi, hadiah besar sudah menanti jika berhasil menuju puncak jawara. Untuk Piala Dunia tahun 2018 ini, total hadiah uang tunai yang disediakan adalah 400 juta dolar AS atau setara Rp 5,4 triliun. Dengan rincian, juara satu : 38 juta dolar AS (Rp 513 miliar), runner-up: 28 juta (Rp 378 miliar), peringkat ketiga: 24 juta (Rp 324 miliar), peringkat keempat: 22 juta (Rp 297 miliar).

Untuk kategori individu para pelakon Piala Dunia pun tentu kecipratan berkahnya. Pelatih Jerman, Joachim Low, misalnya, mendapat gaji tertinggi di antara pelatih peserta Piala Dunia 2018 dengan 4 juta Euro per tahun. Kemudian disusul Tite (Brasil) dengan 3,6 juta Euro, Didier Deschamps (Prancis) 3,5 juta Euro, Julien Lopetegui (Spanyol) 3 juta Euro, dan Stanislav Cherchesov dengan 2,6 juta Euro per tahun.

Pemain bintang apatah lagi. Sekedar contoh, seorang Messi, meskipun bulan-bulanan menjadi obyek bully internasional karena kiprahnya yang tidak gemilang, toh adalah pemain yang bergaji besar. Messi saat ini berpenghasilan 2 juta euro atau sekitar Rp 32,8 miliar per bulan. Demikian halnya dengan pemain lainnya baik sebagai pemain Timnas maupun sebagai pemain Club. Pendapatan Cristiano Ronaldo sebagai pemain bola mencapai 30 juta euro atau sekitar Rp 502 miliar per musim. Sebelas duabelas dengan Neymar, Pemain berusia 26 tahun itu, kurang lebih mengantongi 3,067 juta euro per bulan, setara Rp 51,6 miliar.

Yang tak kalah menggiurkan dari hajatan olah raga ini adalah industri judi yang seolah menjadi sisi mata uang yang tak terpisahkan. tiga pialang judi besar seperti IBCBET, SBOBET dan Singbet konon mampu menangani dana taruhan klien senilai US$ 2 miliar, setara Rp 23,2 triliun di kawasan di wilayah Asia, per satu kali pertandingan. Bayangkan saja jika laga total yang disajikan di satu kali Piala Dunia adalah 64 pertandingan hingga partai final, tentu jumlah taruhan akan semakin berlipat ganda.

Lalu penonton dapat apa ? Jamak orang senang kegirangan menyaksikan sebuah laga atau kompetisi pertandingan. Luapan adrenalin kepuasan jika jagoan yang diunggulkannya memenangi pertandingan. Sebaliknya, sumpah serapah bernada kuciwa jika justru kemenangan dipihak lawan terlebih lagi ia musuh seteru.

Kegirangan, kemurungan pasca sebuah pertandingan menjadi pilihan bagi yang ada di bangku penonton, atau di depan layar kaca. Sebatas puas, kecewa dan pacu adrenalin milik mereka. Sayangnya, setiap kelar sebuah pertandingan, ribuan bully bak peluru menghujam dunia maya, menyerang individu pemain, timnas maupun sesama penikmat bola. Tapi anehnya tak satupun yang berani menyoal mengapa negara sendiri belum bisa berlaga di pentas Piala Dunia.

Yah, Piala Dunia adalah sihir tersendiri, selain dijadikan ajang hiburan kesenangan dan pacu adrenalin yang tak seberapa, kebanggaan hanya akan sampai pada titik bahwa tim yang di unggulkan berhasil juara, meskipun sekali lagi itu timnas negara orang, bukan negara sendiri.

Lepas dari itu semua, para pelakon, pemilik, orang orang yang terlibat tetap untung besar. Mereka sukses menghibur sekaligus sukses meraup uang yang terhambur. Hal lumrah dalam industrialisasi sportainment, ciri khas peradaban kapitalis.

Pentas Piala Dunia telah berakhir. Harusnya kita jangan terlalu larut dalam euforianya. Ingat negeri ini lagi banyak masalah, musibah dari bencana alam, Rupiah anjlok, korupsi, kisruh Pilkada, pajak yang mencekik hingga harga BBM dan gas LPG yang kembali naik. Bukan untuk disoraki tapi untuk diawasi, dikritisi lalu diberikan solusi.

Iya, jangan sampai sibuk di gelaran Piala Dunia, lupa melaksanakan perintah-perintah Allah, untuk mengejar Piala Akhirat [ ].

LEAVE A REPLY