Oleh dr. Dina A. Fakhrina (Anggota HELPS)
Anak yang bertubuh pendek di masyarakat cenderung dianggap merupakan hal yang lumrah, sejalan dengan tidak tercengangnya kita ketika Telegraph merilis artikelnya bahwa Indonesia adalah negara dengan tinggi badan rata-rata terpendek di dunia. Padahal jika seorang anak bertubuh lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya (stunting), maka hal ini menjadi indikasi keterlambatan atau gangguan pertumbuhan. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan dari janin hingga anak usia 2 tahun. Definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2.00 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3.00 SD (severely stunted) pada kurva TB/U (tinggi badan menurut usia) atau PB/U (panjang badan menurut usia).
World Health Organization (WHO) menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat tahun 2013 adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan/perbaikan yang signifikan. Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa Tenggara Barat (45,3%) sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%).
Selain tubuh pendek, stunting juga menimbulkan dampak lain, baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek, yaitu pada masa kanak-kanak perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka panjang, yaitu pada masa dewasa timbul risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas.
Ketua Bidang Ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Dr. Atmarita, MPH mengatakan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif enam bulan sangat berisiko mengalami stunting. “Setelah usia enam bulan, berikan makanan pendamping ASI yang benar-benar diperhatikan nutrisinya,” katanya di Jakarta. Selain asupan gizi, kata Atmarita, stunting juga bisa ditimbulkan dari kondisi kesehatan perempuan sejak masih dalam konsepsi (pembuahan). Kondisi perempuan sehat itu bertinggi badan di atas 150 cm, tidak anemia, tidak memiliki penyakit, dan berat badan ideal atau indeks massa tubuh di atas 18,5.
Selain itu, dapat juga akibat penyakit infeksi dan penyakit bawaan yang mendasarinya sehingga asupan nutrisi yang diberikan tidak dapat masuk ataupun tercerna dengan baik. Adapun penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan, dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup, dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah, dan sebagainya.
Sedangkan di kalangan ahli ekonomi ada anggapan bahwa masalah kemiskinan adalah akar dari masalah kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan akses terhadap pangan di rumah tangga sulit dicapai sehingga orang akan kekurangan berbagai zat gizi yang dibutuhkan badan.
Secara umum beberapa faktor multidimensi berkaitan dengan balita kerdil yang dirumuskan oleh pemerintah adalah praktik pengasuhan yang tidak baik; terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan antenatal care (ANC), post natal, dan pembelajaran dini yang berkualitas; kurangnya akses ke makanan bergizi; serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi.
Pemerintah telah menyadari bahwa stunting merupakan suatu masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama lintas sektoral, sehingga telah banyak program dicanangkan. Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.
Dalam rencana programnya, pemerintah melakukan edukasi dan sosialisasi, memberi makanan tambahan dan suplemen, melaksanakan imunisasi, membangun infrastruktur air bersih dan infrastruktur sanitasi, serta memberi bantuan pada keluarga miskin.
Salah satu kebijakan nasional dalam upaya perbaikan gizi masyarakat tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bahwa upaya perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Selanjutnya, dalam rangka percepatan perbaikan gizi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gerakan ini mengedepankan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada 1000 HPK.
Alokasi dana yang digelontorkan untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif dalam kerangka penanganan stunting melalui berbagai kementerian pada tahun 2018 sejumlah 49.767,23 miliar.
Namun, dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah sejauh ini, nyatanya dari tahun ke tahun belum juga mencapai target. Walaupun hasil dari Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dirilis 25 Januari 2018 lalu menunjukkan prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun (Baduta) mengalami penurunan dari 21,7% (2016) menjadi 20,1 persen (2017). Hal ini karena masalah stunting ini selain kompleks juga sistemik, penyebabnya multi faktor dan muti dimensi serta berkaitan dengan masalah-masalah lainnya. Semua solusi yang digencarkan pemerintah pada akhirnya tidak akan menyelesaikan secara komprehensif karena solusi tersebut digencarkan di bawah sistem kapitalisme yang justru menjadi akar segala permasalahan di negeri ini.
Di era kapitalisme sekulerisme ini, sulitnya kehidupan ekonomi memaksa wanita keluar rumah hingga keluar dari fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bayt wa madrasatul ‘uula (ibu dan pengelola rumah tangga serta sekolah utama/pertama). Tidak heran untuk mewujudkan program ASI eksklusif saja susah, walaupun pemerintah sudah menggalakkan Ruang Ibu Menyusui di berbagai tempat publik termasuk tempat kerja. Belum lagi wanita-wanita karir yang dengan gelora emansipasi menjadi terobsesi berkarir setingginya dan berkiprah seluasnya di luar rumah hingga mengabaikan hak anak. Sehingga, pantas saja stunting melanda anak dari keluarga berbagai tingkat pendapatan.
Sungguh ironi, negeri yang menyandang sebutan zamrud khatulistiwa, yang membentang hamparan alam hijaunya, birunya lautnya yang luas, dan hidup beraneka jenis hayati di dalamnya, tetapi menyandang masalah gizi buruk ini.
Maka, selain ikut berpartisipasi mengurangi kasus stunting dan masalah gizi lainnya, penting untuk menggapai solusi dan perubahan yang mendasar dan sistemik, yaitu diterapkannya sistem Islam dalam kehidupan pemerintahan. Sistem Islam memandang pengentasan masalah gizi demi memenuhi kewajiban mengurus kebutuhan rakyat dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang mencoba mengentaskannya demi memiliki tenaga kerja yang sehat dan cerdas sehingga dapat berkontribusi terhadap perekonomian.