Oleh: Aulia Yahya, Apt
Anggota Healthcare Professional for Sharia (HELP-S), Jepang
Jika dahulu sebagian masyarakat percaya akan mitos, maka sekarang di era milenial, mitos tersebut seolah olah kalah bersaing dengan berita hoax. Demikian pula terjadi pada dunia kesehatan, selain mitos mitos yang tak kunjung usang, hoax pun kian melanda.
Merujuk Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong’, dimana berita hoax diterbitkan untuk membuat masyarakat percaya pada sebuah informasi, padahal kebenaran aslinya tak dapat dipertanggungjawabkan.
Kapan terakhir kali anda menerima pesan berantai yang isinya berupa info seputar dunia kesehatan dan kemungkinan besar info itu terkategorikan hoax di salah satu grup media sosial?
Bisa jadi pesan itu barusan anda terima, lalu serta merta dengan sekali klik, pesan tersebut kembali terkirim ke grup yang berbeda, melalui jemari anda ! atau besar harapan, pesan tersebut anda baca baik baik, isinya ditelaah, jika meragukan, maka akan diabaikan selayaknya “fake news”.
Tak sebegitu lama sebelum penulis membuat uraian ini, sebuah pesan berantai kembali muncul di percakapan grup salah satu jejaring media sosial. Konten pesannya tentang bahaya pengerasan otak dan sumsum tulang belakang akibat mengkonsumsi sejumlah minuman berenergi (disebut satu persatu merk-nya) yang mengandung pemanis buatan aspartame, plus mencatut nama dan jabatan profesi tertentu.
Ya, pesan berantai hoax ini sebenarnya sudah muncul sekian tahun lalu, bahkan sudah ada klarifikasi dan penjelasannya dari BPOM bahwa info tersebut tidak benar di tahun 2016 silam. Jejak digital penjelasan terkait hal ini dapat dilihat di http://ik.pom.go.id/v2016/qa/aspartam-dalam-minuman-berenergi. Sayangnya, informasi tersebut tidak semua pihak mencernanya. Buktinya, pesan hoax tersebut tak seutuhnya hilang, lenyap sesaat, lalu kembali viral dikemudian hari.
Ini hanyalah salah satu misal, di jagad media darling sana, berserakan informasi berkategori hoax, bak air bah yang melanda, konten konten pesan berantai yang tak pernah terhapus jejaknya itu kembali direproduksi dengan “sihir” kalimat komando “like and share”. Satu dua kali klik, informasi hoax kembali viral meski jauh hari sebelumnya sudah ada klarifikasi dan bantahan oleh lembaga yang mempunyai otoritas terkait hal tersebut.
Kurang Informasi, Korban Hoax
Sederhananya, pola penyebaran berita hoax kesehatan biasanya dilakukan secara tidak sengaja. Masyarakat yang kurang informasi mengenai hal terkait, karena merasa informasi tersebut bermanfaat, penting lagi mendesak, maka harus segera diberitahukan kepada orang lain. Dalam konteks ini, sebenarnya masyarakat yang terlanjur menyebar beragam info hoax, sama sekali tak punya niatan jahat ketika menyebarkan berita tersebut. Murni atas kepanikan dan perasaan emosional belaka. Kecenderungan ini lebih disebabkan karena berita tersebut dikemas provokatif, menggunakan kata serta kalimat bernada emosional dan dapat menimbulkan kecemasan.
Maka tak ayal, salah satu hoax terbanyak yang beredar di tengah tengah masyarakat adalah hoax seputar dunia kesehatan. Hoax kesehatan terselip diantara “genre” hoax lainnya yang begitu marak beredar, tarulah misalnya “hoax pembangunan” sebagai antiklimas dari “hoax yang membangun”.
Variant lain dari hoax kesehatan adalah iklan sejumlah produk kesehatan yang begitu bombastis. Jenis iklan kesehatan yang patut di duga hoax adalah jenis iklan yang bersifat superlatif (tingkat perbandingan teratas dengan kata yang menyatakan paling), serta disampaikan secara berlebihan. Disebutkan bahwa satu produk tersebut diklaim dapat menyembuhkan segala macam jenis penyakit, disertai sejumlah testimoni dari pengguna termasuk menghadirkan salah satu sosok dengan latar belakang profesi tertentu selaku endorser.
Dengan tingkat paparan sangat tinggi (terutama melalui media massa dan media sosial), iklan hoax kesehatan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “Halo Effect”, yakni penilaian sepintas terhadap suatu produk hanya dengan melihat iklan atau kemasan, tanpa disertai bukti ilmiah, dan bisa jadi produk tersebut justru malah tidak memiliki khasiat spesifik apa pun. Sebagai contoh, dulu ada sebuah produk “air kesehatan” yang merknya mirip dengan nama sebuah Band bergenre music Melayu, akhirnya dipersoalkan karena tak memiliki izin edar dari BPOM.
Perkaya Literasi
Perkara kurangnya informasi sejatinya dapat diatasi dengan membangun budaya literasi. Semakin kuat budaya literasi, nalar masyarakat akan semakin kuat pula. Karena dengan kemampuan menalar yang baik inilah, masyarakat dapat berpikir secara jernih dan kritis dalam memandang setiap perkara.
Memperkaya diri dengan literasi, akan menjadi filter efektif. Selain sebagai penangkal hoax di tengah era digital yang kebanjiran informasi, budaya literasi juga akan berkonstribusi positif pada bertambahnya wawasan, pengetahuan, dan cakrawala berpikir serta sikap yang lebih hati hati dalam meng”aamiin”kan sebuah informasi [ ].