Oleh: dr. Fauzan Muttaqien
Tidak terasa, bangunan organisasi Healthcare Professionals for Sharia telah menginjak usia sepuluh bulan. Sepuluh bulan? Ada yang istimewa dengan angka itu? Hmm.. tidak ada. Dan justru karena tidak ada yang istimewa dengan angka itulah, maka dipilih. Saya tidak terlampau suka dengan istilah peringatan satu tahun dan semisalnya. Apa istimewanya juga dengan angka satu tahun?
Sepuluh bulan. Bila anak manusia, berdasarkan perkembangan kognitif, perilaku, dan motorik, usia sepuluh bulan adalah saat belajar berdiri hingga berjalan, berbicara satu dua suku kata, dan.. entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia sedang belajar banyak mengenal benda-benda di sekitarnya, belajar berinteraksi dengan orang-orang sekeliling. Dan mulai menunjukkan fungsi sosialnya.
Untuk organisasi? Pun bisa jadi demikian pula. Saya ingat tahun lalu, di bulan-bulan ini, sebakda semangat ‘tolak pemimpin kafir’ yang memantik kebangkitan kaum muslimin. Terlebih terlibatnya seorang sahabat profesi kesehatan yang kemudian dibully “sang baginda Ahok” dan kroni. Menemuinya kala itu di antara maghrib dan isya di sebuah pojok yang kami anggap cukup aman dari sadapan kaum kotak-kotak. Meski tak tertulis rapi, antara kami akhirnya tergurat bait kesepakatan, “kalangan kesehatan mesti turun gunung”.
Tapi bagaimana membangunkan para “singa” dari gua-gua prakteknya? Bismillah, saya beranikan mendatangi mereka. Para tetua menyambut baik. Saya ‘matur’ kepada Prof IOM, ketua PB IDI mengutarakan ide membangun jejaring tenaga kesehatan muslim. Alhamdulillah, beliau memberi restu. Saya sambangi dr. Sugisman di serambi ruang operasi bedah jantungnya. Tak tertulis banyak oleh sejarah, padahal beliaulah tokoh pemrakarsa reformasi 98. Menimba banyak ilmu pergerakan dari beliau dan memutar koleodoskop bagaimana diawali dari mahasiswa kesehatanlah ternyata reformasi saat itu bergulir. Tak ketinggalan saya temui para ulama dan tokoh meminta wejangan dan nasihat. Kemudian menemui sahabat saya, ustadz Felix Y Siauw, menimba pengalaman bagaimana beliau membentuk jaringan #yukngaji. Bahkan, untuk menunjang usaha saya saat itu, tak lupa saya buat video amatir seruan kebangkitan bagi para profesional kesehatan. Berharap viral, namun malah urung dipublikasikan , 🙂
Atas saran bang Felix juga satu per satu saya hubungi rekan kesehatan yang saya pandang satu ide dan satu visi perjuangan. Saya jelas tak mungkin sendiri, dan saya bukan siapa-siapa. Berharap ketika seide sevisi bersinergi roda besar perubahan bakal terjadi. Sempat pesimis, karena awalnya hanya ketemu beberapa hitung jari, namun perlahan berkembang menjadi ratusan.
Lho kok sulit mencari? Bukannya tenaga kesehatan muslim jumlahnya ratusan ribu? Iya, tapi mereka yang memiliki visi dan juang yang kami gariskan masih minim, sporadis entah berada di belahan Indonesia sebelah mana.
Ibarat sebuah studi, kriteria inklusi dan eksklusi yang kami gariskan cukup ketat dan tegas. Dicari tak sembarang orang. Mereka yang berada dalam komunitas yang akan dibangun mesti profesional kesehatan muslim yang sepakat dan mau memperjuangkan tegaknya Islam secara kaaffah… setuju inti permasalahan kaum muslim termasuk problema kesehatan adalah akibat ditinggalkannya hukum Allah, dan setuju bahwa untuk menegakkan Islam secara kaaffah ya mesti dengan tegaknya Khilafah. Semua pasal-pasal kriteria inklusi dan eksklusi tadi menjadikan corak komunitas ini akhirnya berbeda.
Alhamdulillah, ternyata resonansi dakwah tiba merata hampir di seluruh pelosok Indonesia. Sahabat-sahabat dari Sumatra hingga Papua, bahkan peranakan Indonesia yang ada di negeri-negeri jiran bersedia satu forum bersama. Grup WA dibuat dr Aditya dari Banjarmasin, Ide nama dari dr Salman Nusa Tenggara, ide logo dilombakan kang Edlan dari Makassar dan dokter Nur dari Balikpapan. Website dibuatkan di Semarang, instagram dibuatkan di Kupang, facebook dibuatkan di Cirebon, Youtube dibuatkan di Tanjung, rekening dibuka di Banjarbaru, lalu dana awal dikumpulkan dari anggota grup WA seluruh Indonesia. Gotong royong yang indah, hingga akhirnya sepakat untuk berkumpul di Surabaya untuk deklarasi berdirinya organisasi yang disepakati bernama HELPS, Healthcare Professionals for Sharia.
12 Desember 2016, 12-12. Tanggal yang mudah diingat. Tapi saya lebih senang mengingat hari dimana kami berkumpul itu, di tanggal 12-2. 12 rabiul awwal, menggambil momen lahirnya nabi, hijrahnya nabi, dan wafatnya nabi. Saya memboyong sekeluarga pada hari yang mengesankan itu naik kereta ke Surabaya. Istri saya yang sedang hamil 6 bulan plus anak 2 tahun yang sedang diare dan demam. Masya Allah, pengorbanan saya tentu tak sebanding dengan rekan rekan yang lain yang mau menyempatkan diri hadir di hari istimewa itu. ada yang jauh-jauh datang dari Papua, dari Kalimantan paling utara, Sulawesi, pelosok sumatera dan lain-lain.
Bertambah haru ketika itu, karena kami tak memakan waktu untuk menyusun kepengurusan. Tanpa alot pemilihan terbentuklah sebuah struktur yang unik. Ketua bertahta di Jakarta, sekjend ada di Semarang, wakilnya ada di Banjarmasin, Bendahara di banjarbaru, Ketua kajian strategis di Surabaya, Ketua media di Cirebon, Ketua humas di Bandung, wakilnya bahkan di Natuna. Bagaimana bisa berkomunikasi dengan model seperti ini? Ah.. bismillah… Insya Allah, kita percayakan di bawah kepemimpinan dr. Syaharuddin, Sp.B, HELPS akan berhasil melewati masa tumbuh kembang awalnya tanpa ada gangguan infeksi atau temuan cacat kongenital.
Tentu saja hingga saat ini, bayi ini masih begitu mungil, masih belajar tumbuh, meniti kembang.
Ketika ada yang bertanya, kenapa perlu ada organisasi ini? Bukankah telah ada banyak organisasi serupa. Ada IDI, PPNI, ada BSMI, ada MER-C, ada MUKISI, PROKAMI, kenapa perlu ada HELPS lagi?
Saya tegaskan kenapa tidak? Justru model organisasi yang kami bentuk saat ini belum ada. Profesi kesehatan tanpa memandang beda dia dokter, perawat, farmasi, bidan, kesmas dan lainnya dengan visi menjadi rujukan umat dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan dalam tataran ideologi Islam kaffah belum ditemui. Di sini kami berkumpul untuk melakukan kajian sistem kesehatan Islam dalam tataran ideologis, mengungkap berbagai macam masalah kesehatan di negeri ini dan memberi solusi Islamnya, sembari menyebarkan ide itu di tengah kalangan kesehatan dan awam lewat beragam cara; lewat kunjungan silah ukhuwah, aksi sosial kesehatan, pelatihan-pelatihan, seminar, riset, berbagai media dan lainnya. Saya rasa ranah ini belum digarap. Sehingga sangat sah bila kami ‘membuka ladang’ yang baru ini.
Ada pula yang bertanya, apakah organisasi ini berafiliasi atau underbouw organisasi lain?
Saya jawab dengan tegas juga: Tidak. HELPS tidak berada di bawah organisasi manapun. Di sini, bisa jadi ada yang berkiprah di Muhammadiyah, NU, BSMI, MER-C, IDI, PPNI, Hizbut Tahrir, PKS, FPI, atau apapun itu…. kita menerima siapapun selama sesuai kriteria inklusi dan eksklusi tadi. Mereka mau membersamai di organisasi ‘bayi’ ini merupakan barakah bagi kami. Sehingga HELPS ke depannya bisa jadi lebih matang berkiprahnya.
Banyak beragam pertanyaan lain lagi, namun ada sebuah pertanyaan pamungkas yang jadi favorit saya: Yakinkah HELPS ini bisa bertahan? Jangan-jangan cuma seumur jagung, tidak lama lagi sepi, dan bubar jalan…
Untuk yang ini saya tercenung.
Kalau saya sendiri yang disuruh menjawab maka saya mungkin akan menjawab dengan lirih: tidak…. Bisa apa saya?
Tapi karena HELPS itu tersusun atas kata HELP dan S. HELP berarti menolong, S dalam bahasa inggris merupakan pelambang jamak. Maka kalau boleh saya maknai di HELPS kamu tidak sendiri, yang terjadi di HELPS adalah saling tolong-menolong, sinergi untuk mewujudkan visi. Lebih jauh, mengutip kata sambutan dari ketua umum HELPS, dr. Syaharuddin, Sp.B di acara silah ukhuwah nasional tenaga kesehatan muslim bulan Agustus lalu, HELPS itu merupakan pengejawantahan dari kalimat Allah dalam AlQur’an surah Muhammad ayat 7 “in tanshurullah yanshurukum, wa yutsabbit aqdaamakum”… HELPS itu bukan sekedar menolong biasa… tapi lahirnya dia dalam rangka HELP- Syariah, menolong agama Allah. Dan semoga dengan itu, Allah lah yang akan menolong orang-orang yang ada di dalamnya, serta memperkokoh kedudukannya.
HELPS sangat mengandalkan orang-orang yang berada di dalamnya untuk memajukannya. Dia, sesuai kesepakatan di Munas pertama, berbasis kepada daerah, bukan berbasis pusat. Sehingga dengan inisiatif teman-teman yang berada di daerah masing-masinglah, HELPS masih terus bisa berkiprah di usia sebelas bulannya ini. Masih terus sarat dengan acara aksi, edukasi, dan berbagai media informasi. Bahkan tanpa komando, teman-teman daerahlah yang bergerak sendiri.
Dan, kembali dalam rangka menjawab “Yakinkah HELPS ini bisa bertahan? Jangan-jangan cuma seumur jagung, tidak lama lagi sepi, dan bubar jalan…”
Saya hanya bisa menjawab: Rizki, jodoh, ajal, Allah yang menentukan. Kalau Allah pengen kami bubar ya berarti itu sudah qadha dari-Nya. Lagipula sejak awal kita tanamkan, kita tidak sedang berniat membesarkan organisasi ini. Yang ingin kita bersama besarkan adalah dakwahnya, Islamnya.
Karena yang sedang kita cari bukanlah sebuah kebanggaan kebesaran organisasi, tapi yang sedang kita buru adalah ridha dan jannah-Nya.