“Konsep berfikir” tegas Prof DR. Ing. Fahmi Amhar, “Inilah yang membedakan kedokteran islam tempo dulu dibandingkan dengan kedokteran barat pada saat yang sama”
“Dulu” beliau mencontohkan, “Pasien di Eropa bila sakit, hanya diingatkan tentang kematian. Tapi kedokteran Islam tidak cukup hanya itu. memang diingatkan tentang ‘kullu nafsin dzaa iqatul maut’.. tapi ya ndak cuma itu… contoh, suatu ketika di Andalusia seorang dokter melakukan anamnesis terhadap pasien.”
“Sakit perutnya?” tanya sang dokter
“Iya dok”
“Kemarin makan, minum?” tanyanya lagi
“Cuma sepotong roti dan air kendi dok”
“Roti tidak bikin sakit. Hmm, mungkin air minumnya. Darimana dapat airnya?”
“Dari sumur kota, dok”
Sang dokter berpikir sejenak
“Air sumurnya bersih”
“Hmm pasti air dari kendi. Buang deh kendinya, beli baru” tandasnya kemudian
“Wah jangan dok, ini milikku satu-satunya” tolak pasien
“lebih gampang cari kendi baru, daripada perut baru”
Saat sang pasien masih ngeyel, asisten dokter memecah kendi. Ternyata… ada kodok mati di dalamnya.
“Nah konsep berpikir ini lah yang membuat kedokteran Islam saat itu jauh mengungguli peradaban barat” simpul Profesor yang dikenal merupakan peneliti sejarah islam ini.
Prof. DR. Ing. Fahmi Amhar 23 Juli 2017 lalu dipercaya menjadi salah seorang narasumber dalam seminar Menggagas Kesehatan Islam yang digelar oleh HELPS. Seminar ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian acara silah ukhuwah nasional tenaga kesehatan muslim di gedong joang 45 Jakarta Pusat. Acara yang mengusung tema “Peran Tenaga Kesehatan Muslim untuk Kebangkitan Umat” itu dihadiri ratusan peserta tenaga kesehatan dari Aceh hingga Papua. Beragam acara mewarnai perhelatan akbar tersebut, mulai dari talkshow bersama tokoh-tokoh kesehatan yang menginspirasi, seminar menggagas kesehatan Islam, launching buku, hingga tausiyah dari ulama untuk tenaga kesehatan.
“Saat itu para dokter muslim tidak mencukupkan diri hanya pada pengobatan dengan bekam, habatussauda, madu saja. Mereka bahkan memelopori kaidah riset ilmiah, sementara pengobatan di dunia Barat masih berkutat pada takhayul yang berkembang. Umat Islam mempelopori berbagai macam penemuan di dunai kedokteran, mulai dari disinfektan, farmasi, matemeatika kesehatan, ilmu bedah dll… bahkan eksperimen terkontrol dan observasi klinis dimulai oleh para dokter-dokter muslim” jelas Prof Fahmi.
“Untuk meraihnya kembali, tentunya perlu ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran, jauh di atas bekam, madu atau habatus saudah, yang di abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun Nabawi.” Tutup beliau.[]