Oleh: dr. Muhammad Amin (DPP HELP-S)
Tahun 2004 merupakan tahun yang tak akan saya lupakan. Saat itu televisi tak henti-hentinya memberitakan tsunami di Aceh. Ribuan korban mulai dari anak-anak, remaja, hingga para manula diberitakan berjatuhan. Di antara mereka ada yang sudah wafat, ada pula yang mengumpul di tempat-tempat pengungsian. Tayangan lain, yang menusuk rasa kemanusiaan saya, tampak jenazah bergelimpangan dimana-mana, belum ada penanganan.
Para relawan diberitakan bergerak untuk memberikan pertolongan, tak ketinggalan tentu saja ormas Islam. Ada yang bergerak di bidang evakuasi jenazah, memberikan layanan informasi orang hilang, layanan kesehatan, pengiriman tenda, kantong jenazah, baju, popok bayi, dan sembako, hingga layanan mental recovery. Semua komponen anak bangsa bahu-membahu berkiprah ingin memberikan pertolongan yang terbaik bagi saudara-saudaranya di Aceh.
Tahun itu, saya dan istri baru pindah ke Samarinda Kaltim setelah menyelesaikan PTT di pedalaman. Kondisi keuangan betul-betul minimalis. Yah, maklumlah berapa sih pendapatan dokter umum saat itu.
Namun entah kenapa, jantung ini berdegup sangat kencang. Ya Allah, saya ingin sekali berangkat ke sana. Ingin sekali menjadi bagian dari mereka. Bergabung terjun menyatu dengan saudara-saudara yang ada di Aceh.
Ya Allah, apa artinya kemampuan medis yang saya miliki, kalau hanya untuk dianggurkan di sini, atau hanya untuk mendapat segepok uang usai melayani pasien di klinik. Ya Rabb, mudahkan saya ke sana.
Gayung bersambut, tidak menunggu lama, instruksi turun dari ketua HTI Kaltim, tenaga medis masih dibutuhkan di Aceh. HTI akan membentuk tim relawan di sana. Alhamdulillah. Oke… siapp komandan…!
Pertanyaan berikutnya, uangnya dari mana? Lalu bagaimana dengan keluarga yang harus saya tinggalkan?
Masya Allah, Allah memang Mahabaik. Tak lama ada jalan. Saya pamit dengan istri. Suasana mengharukan… saya tidak tahu apakah setelah ini saya bisa kembali… istri saya menyetujui dengan ikhlas keberangkatan saya. Gimana nggak ikhlas, dia kan juga ternyata ikut berangkat…. Enak aja ditinggal…. Saya kan juga dokter, dan pengen juga beramal shalih, katanya .
Dan masalah dana, Alhamdulillah salah seorang ustadz berkenan mendanai keberangkatan kami.
***
Alhamdulillah tibalah kami di Aceh sebagai relawan kesehatan. Di sana kami bekerja di beberapa titik pengungsian: di Banda Aceh, di Indrapuri, dan satu lagi .. saya sudah lupa namanya. Tim kami dari HTI ada yang bekerja di bagian medis, logistik, mental recovery, dll. Dengan peralatan seadanya kami bekerja siang dan malam bersama ribuan relawan anak bangsa lainnya dari berbagai ormas. Semuanya bekerja tak kenal lelah saling menguatkan, menerobos hujan lebat, lumpur yang masih berserakan, tempat menginap yang seadanya, dan bahkan rumor penculikan oleh kelompok GAM.
Kami tidak berfikir siapa yang lebih berjasa. Nggak lah… niat awal tertancap, semuanya karena Allah. Allah yang ngasih surga, bukan HTI, bukan ormas-ormas lain. Kami juga tidak berfikir bahwa suatu hari kelak ada yang mengungkit kami tidak berkontribusi positif untuk kebaikan negeri tercinta kami. Kami tulus ingin membantu saudara-saudara kami yang sedang diuji Allah dengan tsunami.
***
Dan saat ini, ketika ramai berita yang mengatakan HTI tidak punya kontribusi buat negeri kami, nurani saya terusik. Memori 2004 itu tiba-tiba menyelusup ke luar. Bukan! Bukan ingin meminta penghargaan! Sejak awal, sebagaimana yang sudah saya ungkapkan, saya dan relawan-relawan HTI yang lain, di tanggap bencana Aceh, atau tanggap bencana lain, atau di berbagai acara kami yang lain, tak pernah sebersit pun kami ingin mendapat pamrih bahkan sekedar puji. Ini semata untuk kebaikan bangsa…
Sungguh logika yang tak bisa diterima, Apakah keinginan baik kami untuk mewujudkan baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur itulah, maka kami semena-mena dituduh seperti itu? Apakah karena kami tidak menyetujui banyak kebijakan dzolim penguasa semacam menjual kekayaan alam kepada asing menjadikan kami layak diperakukan tak adil? Apakah karena kami meyakini dan memperjuangkan perbaikan negeri tercinta ini dengan syariah yang menjadikan kami hendak dibubarkan dengan semena-mena?
Kepada Pak Wiranto, Pak Tito, dan Pak Kumolo saya sampaikan bahwa jabatan yang Anda sedang sandang itu hanya sementara saja, tidak lama. Suatu saat nanti Anda akan mati, dipanggil Allah, dan dimintai pertanggung- jawaban atas apa yang Anda lakukan hari ini. Uang dan jejaring yang sedang Anda miliki itupun tidak akan berguna, karena akan dimiliki orang lain, dan tidak dibawa mati.
Demi Allah, biarlah Allah yang Mahaadil yang menilai dan bertindak terhadap kami dan anda.
#KamiBersamaHTI