Hukum Memanfaatkan Plasenta untuk Kosmetika dan Obat

Share

Oleh: Ust. Shiddiq Al Jawi

Plasenta (Jawa : ari-ari; Arab : al-masyiimah) adalah organ yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk janin dalam kandungan. Plasenta kaya akan kandungan darah, protein, hormon, dan zat lain. Plasenta dalam farmasi dan kosmetika selain berasal dari manusia juga berasal dari hewan mamalia, seperti sapi, kambing, dan babi.

Awalnya plasenta digunakan dalam farmasi, karena plasenta memiliki fungsi luas. Misal untuk terapi immunodefisiensi, kehilangan protein akut akibat luka bakar, infeksi bakteri, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, plasenta digunakan dalam pembuatan kosmetik, karena ekstrak plasenta dapat menjadi sumber protein yang berfungsi memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah degenerasi sel. Produk-produk kosmetika yang mengandung ekstrak plasenta antara lain sabun mandi, lotion pelembab kulit, krim pemutih wajah, dan bedak.

Menurut kami, hukum menggunakan plasenta untuk kosmetika dan obat dirinci sbb :
Pertama, menggunakan plasenta manusia untuk kosmetika hukumnya haram. Sebab plasenta manusia termasuk najis, sesuai kaidah fiqih : Kullu maa`i`in kharaja min al-sabilain najisun illa al-maniy (setiap cairan yang keluar dari dua jalan [dubur dan kemaluan] adalah najis, kecuali mani). (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/64). Padahal memanfaatkan najis dilarang oleh syara’, sesuai firman Allah SWT (artinya) : “Maka jauhilah dia [rijsun/najis] agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 90).

Najisnya plasenta ini adalah salah satu pendapat madzhab Syafi’i. Ada pendapat lain dalam madzhab Syafi’i yang menyatakan plasenta itu suci, tidak najis. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 37/282; Imam Nawawi, Al-Majmu’, II/563-564; Imam Syarbaini Khatib, Mughni Al-Muhtaj, I/130; Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, I/98).

Namun meski katakan tak najis, plasenta manusia tetap tak boleh dimanfaatkan. Sebab bagian tubuh manusia yang telah terpisah atau terpotong, misal tangan yang terpotong karena hukum potong tangan, hanya ada satu perlakuannya, yaitu ditanam (dikuburkan), bukan yang lain, sebagai penghormatan akan kemuliaan manusia (karamah al-insan). Jadi pemanfaatan plasenta manusia tidak boleh karena bertentangan dengan prinsip kemuliaan manusia. (QS Al-Isra` [17] : 70). (Imam Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, III/139; Al-Fahkhrur Razi, At-Tafsir Al-Kabir, II/89; Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi, II/229; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, V/117; Imam Nawawi, Al-Majmu’, III/139. Dikutip oleh Ahmad Syarafuddin, Al-Ahkam Al-Syar’iyah Li Al-A’mal Al-Thibbiyah, hlm. 102).

Kedua, menggunakan plasenta hewan untuk kosmetika hukumnya boleh, dengan 2 (dua) syarat; pertama, hewannya suci dan halal dimakan, seperti sapi. Maka tak boleh menggunakan plasenta dari hewan najis dan haram dimakan, seperti babi. Kedua, hewannya telah mati melalui cara penyembelihannya yang syar’i. Sebab organ yang terpisah dari hewan yang masih hidup, adalah bangkai yang najis. Dalilnya sabda Nabi SAW,”Apa saja bagian yang dipotong dari binatang ternak, sedang binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hadis no 3690, hlm. 1700; Imam Shan’ani, Subulus Salam, I/28).

Ketiga, menggunakan plasenta untuk kepentingan pengobatan (farmasi), hukumnya boleh (ja`iz), baik plasenta manusia maupun hewan, baik hewannya memenuhi dua syarat di atas maupun tidak. Sebab melakukan upaya pengobatan dengan zat yang najis, hukumnya makruh, tidak haram. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/116). Dalil kemakruhannya karena meski ada hadis yang melarang berobat dengan zat yang haram (HR Abu Dawud, no 3376), tapi ada hadis lain yang membolehkan berobat dengan zat yang najis, yaitu air kencing unta. (Shahih Bukhari, no 226; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 1/367). Wallahu a’lam.

Read more

Local News