(Tulisan ini disadur dari tulisan yang berjudul “Khilafah satu-satunya yang mampu mewujudkan kemandirian industri obat”, penulis Dr.Rini Safri , Ketua Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Oleh: drh. Murniati, MSi (Anggota HELP-S)
Kebijakan Neoliberal Industri Obat
Obat merupakan kebutuhan primer yang wajib dipastikan ketersediaannya dalam suatu negara. Negara harus memiliki industri farmasi sendiri untuk menghasilkan obat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Realitanya, industri farmasi Indonesia hanya cukup untuk mengcover 10 persen kebutuhan obat di Indonesia. Di antaranya, Kimia Farma yang memproduksi garam farmasi, Kalbe Farma yang membuat bahan baku bioteknologi, grup Dexa memproduksi bahan baku obat dari alam dan obat kanker, jenis vaksin terbaru oleh Bio Farma, dan Soho yang membuat bahan baku berbasis bahan alami.
Perusahaan farmasi saat ini banyak bergerak pada pembuatan obat jadi, yang bahan bakunya harus didatangkan dari negara lain. Indonesia mengimpor 90 persen bahan baku obat dari India, Cina, Amerika, Jerman, dan beberapa negara di Eropa. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mandiri.
Industri obat di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan baku obat (BBO) impor, yang menjadi persoalan serius yang melingkupi industri obat di negeri ini. Karena tidak saja mahal namun juga bertanggungjawab, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap buruknya akses masyarakat terhadap obat, yang saat ini sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Ini tercermin dari tingginya keluhan peserta JKN terkait akses obat.
Rezim Neo liberal hadir dengan konsep neolib Reinveting Government. Konsep subur bagi lokus (tempat) bercokolnya neokolonialisme. Tidak heran, pemandirian industri farmasi, sebagai kebijakan paling menonjol rezim pada bidang industri farmasi, sangat bernuansa neoliberal.
Sehubungan dengan itu, telah dirumuskan apa yang dinamakan dengan “Peta Strategi Kemandirian, Aksesibilitas dan Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan”, khususnya peta jalan pengembangan produksi BBO. Yaitu membuka kerjasama dengan asing dalam pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, demikian penjelasan Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr.dr.Nila F Mouluk. Sp.M (K). Hal ini juga telah ditegaskan dalam paket ekonomi jilid XI.
Ketidakmandirian industri farmasi termasuk ketergantungan yang sangat tinggi terhadap BBO impor (dari Cina, India dan Eropa) tidak saja membuat harga obat sangat mahal, namun juga menjadikan pengadaan obat di negeri ini didikte dan dikendalikan negara-negara kafir penjajah yang berlindung di balik hak paten dan ketentuan kufur lainnya.
Hari ini jutaan jiwa penduduk dunia terutama negeri-negeri muslim termasuk Indonesia, kesehatan dan jiwa mereka bergatung pada sejumlah industri farmasi besar, negara kafir penjajah. Di antaranya, Eli Lily dari Amerika berkantor di Puerto Rico dan 17 negara lainnya, Glaxo SmithKline berbasis di Inggris, Johson and Johnson perusahaan Amerika, Novartis AG perusahaan asal Swiss, Pfizer perusahaan Amerika, Astra Zeneca milik Britania, Sanovi berkantor pusat di Paris Perancis, Merck and Co perusahaan farmasi milik AS, dan Roche. Di Indonesi, ada tujuh perusahaan farmasi asing sebagai penguasa produksi obat paten.
Diantara kejadian paling fenomenal adalah pengadaan obat flu burung tahun 2015, ketika Indonesia menghadapi ancaman wabah flu burung yang mematikan, sebelum oseltamivir diproduksi CIPLA perusahaan farmasi milik India. Roche yang berkantor pusat di Basel, Swiss menjual tamiflu sangat mahal, Rp 200.000 perdosis. Bandingkan dengan buatan CIPLA hanya sekitar Rp 100 perdosis. Tidak cukup sampai di situ, Indonesia tidak berdaya ketika produk Roche ini tidak lagi ada di pasar.
Ketidakmandirian industri farmasi, pada penanggulangan TBC misalnya, membuat publik Indonesia tidak leluasa memanfaatkan inovasi terbaru yang penting bagi kesehatan jutaan penderita TBC di negeri ini. Akibat, negeri ini dihuni oleh penderita TBC ke dua terbesar di dunia. Hal serupa juga terlihat pada penggunaan ARV (Anti Retro Virus).
Tidak saja pada level produksi, korporasi juga pengendali rantai distribusi. Yang meliputi produsen – perusahaan besar farmasi, biasanya merangkap distributor – apotik maupun instalasi rumah sakit. Hal ini setidaknya tergambar dari ungkapan Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha sehubungan mahalnya harga obat. “Dari produsen ke distributor saja diperkirakan terdapat margin 30% dari harga obat awal, sedangkan harga di apotik sudah bertambah 70% dibandingkan dengan harga di tingkat penyalur“.
Lebih jauh lagi, korporasipun jadi pengendali perilaku dokter, pihak yang paling berwenang dalam penentuan obat yang dikonsumsi publik, meski tidak semua dokter. Sudah menjadi rahasia umum perselingkuhan industri farmasi dan dokter dan rumah sakit. Seringkali dokter meresepkan obat yang sesuai pesanan perusahaan farmasi. Tentunya ini dengan berbagai imbalan yang menarik.
Situs propublica.org, organisasi berita independen, yang membongkar aneka praktik yang merugikan masyarakat di Amerika, pada tahun 2010 menerbitkan serial bertajuk Dollar for Docs. Dinyatakan bahwa hingga akhir 2012, terdapat 15 perusahaan farmasi membayarkan dana bagi para dokter untuk kepentingan mempromosikan obat, riset, dan konsultasi mencapai US$2,5 miliar. Oleh karenannya tidaklah berlebihan mengatakan bahwa industri farmasi AS yang menguasai hajat publik Indonesia dan negeri-negeri muslim hari ini tentu juga melakukan hal yang serupa. Hasilnya tidak saja menguras kantong masyarakat namun juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat bahkan jiwa mereka.
Inilah buah pahit ketidakmandirian industri farmasi. Kesehatan bahkan nyawa masyarakat menjadi taruhan. Hal yang pasti ketika pemerimtah dan negara hadir dengan kebijakan neoliberal. Apa yang dikatakan sebagai peta jalan untuk mewujudkan kemandirian industri farmasi, ditegaskan pada paket ekonomi jilid XI bahwa yang dimaksudkan pemerintah adalah memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada asing kafir penjajah berinvestasi pada sektor hulu industri farmasi penghasil BBO. Sebelumnya asing hanya boleh berinvestasi untuk bahan baku obat 85%, dengan kebijakan ekonomi paket XI menjadi menjadi 100% bisa dikuasai asing.
Ini dilakukan agar para investor terdorong berinvestasi khususnya pada sektor industri farmasi penghasil BBO, sebagai upaya mengatasi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap BBO impor. Sejalan dengan kebijakan ini pada saat MenKo Perekonomian Darmin Nasution menerima kunjungan Menteri Pangan dan Pertanian Jerman, Cristian Schmidt beberapa waktu lalu meminta Jerman berinvestasi di industri BBO. Inggris, yaitu GSK Glaxo Smithkline berinvestasi dibidang industri farmasi dengan total nilai beserta industri lainnya US$ 19,02 miliar.
Investor asing baik mewakili negara maupun koporasi tentunya sudah memperhitungkan keuntungan politik dan ekonomi. Karena dalam dunia kapitalistik tidak akan pernah ada makan siang yang gratis. Terlebih-lebih lagi bila investor dari korporasi dan negara-negara kafir penjajah. Terlalu banyak fakta yang membutikan bahwa obat dan penyakit telah digunakan kafir penjajah sebagai sarana yang efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik mereka. Baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui lembaga multilateral seperti WTO (World Trade Organization) dan WHO (World Health Organization) dan World Bank.
Artinya, kebolehan asing berinvestasi kurang dari 100% saja telah menimbulkan persoalan serius, apa lagi bila hingga 100%. Kesehatan bahkan keselamatan jiwa masyarakat kian terancam. Jelas ini kebijakan primitif, bahkan tidak berlebihan sebagai bentuk kejahatan pemerintah terhadap masyarakat. Sistem rusak inikah yang hendak di telan mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia?
Negara Khilafah dalam mewujudkan Kemandirian Industri Obat
Kemandirian negara dalam industri obat merupakan perkara yang urgen dan mendesaknya Bukan hanya faktor kunci bagi kemampuan negara memenuhi hak publik terhadap obat, namun juga sangat penting bagi eksistensi negara. Pemerintah wajib hadir bersama konsep-konsep dan paradigma industri obat yang sohih, berpotensi dan berkarakter dalam memandirikan negara khusus dalam industri obat dan farmasi. Dialah konsep dan paradigma industri obat khilafah Islam. Terpancar dari aqidah Islam, terkandung dalam telaga kebenaran ilahi, yaitu Al Quran dan As Sunnah dan apa yang ditunjukan keduanya, yang terpenting di antaranya adalah:
Pertama, pemerintah dan negara wajib menerapkan politik industri berbasis industri berat. Karena pada faktanya kemandirian sesungguhnya negara dalam hal industri obat hanya mungkin terwujud bila mandiri dalam industri bahan baku obat. Sementara itu kemandirian industri bahan baku obat hanya terwujud ketika diterapkan politik industri berbasis industri berat. Berbasis industri penghasil mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku termasuk bahan baku obat.
Lebih jauh lagi semua jenis industri wajib berdiri di atas asas politik perang, termasuk industri obat dan farmasi. Agar timbul rasa takut pada kafir penjajah, dan agar dunia terbebas dari berbagai kejahatannya, kususnya pada bidang kesehatan. Allah swt menegaskan dalam QS Al Anfaal (8) : 60, artinya, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya
Kedua, diharamkan negara dan pemerintah menerima investasi dan pengelolaan modal asing. Termaktub dalam masyru’u dustuur, pasal 165, Investasi dan pengelolaan modal asing dilarang diseluruh Negeri, termasuk larangan memberikan hak istimewa kepada pihak asing. Karenanya investasi asing barapapun nilainya sama saja menfasilitasi neo imperialisme yang secara tegas diharamkan Islam. Allah swt berfirman dalam QS Al Maaidah (4): 141, yang artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
Ketiga, sehubungan dengan poin ke dua, pemerintah wajib meninggalkan secara total konsep batil neolib reinventing government, new public management,dan good governance. Baik konsep tentang peran negara hanya sebagai regulator (sterring pengarah– dari pada sebagai rowing pendayung, pelayan), konsep pembangunan PPPs (Public Private Partnership)/ KPS (Kemitraan Pemerintah dan Swasta), konsep anggaran berbasis kinerja dan yang lainya termasuk desentralisasi kekuasaan/otonomi daerah. Karena konsep-konsep ini semuanya menyalahi syariat Allah swt, disamping dipersiapkan untuk kehadiran dan dominasi investasi asing kafir penjajah.
Keempat, pemerintah bertanggungjawab langsung dan berwenang penuh dalam pembangunan industri. Mulai dari industri berat berupa industri mesin-mesin dan peralatan serta industri bahan baku termasuk bahan baku obat, sampai dengan industri obat-obatan itu sendiri. Ditegaskan Rasulullah saw, artinya ..Imam (Khalifah) raa in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya (HR Ahmad, Bukhari).
Kelima, pengelolaan kekayaan negara wajib dilakukan secara benar, sesuai syariat Islam, agar negara memiliki kemampuan finasial yang memadai menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya, yaitu untuk pembangunan proyek-proyek industri berat termasuk bahan baku obat dan industri obat-obatan. Salah satu sumber terbesar kekayaan negara adalah dari harta milik umum. Seperti barang tambang emas, bauxite,nikel, dan migas, yang jumlahnya berlimpah di negeri-negeri muslim.
Kelima, wajib digunakan konsep anggaran mutlak. Artinya, wajib diadakan negara sejumlah biaya yang memadai bagi kemandirian industri obat. Baik ada ataupun tidak ada kekayaan negara yang dialokasikan untuk pembiayaan industri obat. Mulai dari industri BBO hingga penghasil obat termasuk dana riset. Rasulullah saw menegaskan, artinya, Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Keenam, independen dari ketentuan dan aturan kafir penjajah. Termasuk yang melalui WHO, WTO dan lain-lain. Seperti aturan hak paten. Karena penjajahan apapun bentuknya diharamkan Allah swt. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS Al Maaidah ayat 141.
Inilah di antara konsep-konsep sohih industri obat khilafah. Penyehat sekaligus pembebas dunia dari kejahatan kafir penjajah khususnya pada bidang kesehatan. Kemandirian industri farmasi rahmat bagi seluruh alam. Tingkatannya jauh di atas kemandirian industri farmasi negara manapun hari ini, di Barat (AS dan Negara-Negara Eropa), dan di Timur seperti Cina, dan India. Kemandiran industri farmasi seperti inilah yang dibutuhkan dunia. Sehingga penerapan syariat Islam secara kaafah dalam bingkai khilafah rasyidah, adalah kebutuhan dunia disamping kewajiban. Sungguh Allah swt telah menegaskan yang artinya,Dan tidaklah Kami mengutus engkau ya Muhammad melain menjadi rahmat bagi seluruh alam (TQS Al Anbiya (21): 107).